Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kompasianival, Gelombang Covid-19, Multi-Bencana, Pilkada Serentak, dan Korupsi

10 Desember 2020   08:23 Diperbarui: 10 Desember 2020   09:56 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Foto liputan tentang seorang polisi yang melaukan proses pengiriman Surat Suara di Jawa Timur. Sumber : Reuters

Kompasianival yang Ditunggu

Kompasianival tentu dinanti para Kompasianer. Sayapun sudah set penanda waktu untuk bisa hadir di acara-acaranya. Namun, karena semua pekerjaan saya dilakukan dengan daring, jadwal kerja di rumah hampir selalu berderet sampai malam.

Sayapun akhirnya mengalah baru bisa hadir di sesi Webinar di hari kedua, yaitu Perspektif dengan tajuk "Belajar di Rumah Orang tua Terlibat" yang dimoderatori oleh COO Kompasiana kang Nurul.

Adapun narsum sesi itu adalah Mendiknas Mas Nadiem Makarim, Pak Giri Lumakto dan Mbak Yuska Putri. Suatu sesi menarik. Saya sempat menyapa beberapa Kompasianer yang hadir di sana. Pak Guru Ign Joko dan Bang Irfan, juga mbak Ari.

Di hari ketiga kompasianival, saya baru bisa menyelesaikan pertemuan melalui zoom di jam 19.40. Sayapun bergegas ke lokasi. Saat itu pengumuman pemenang Kompasiana Awards tangah berjalan. Pengumuman demi pengumuman dibacakan. Nama-nama itu muncul dan keseluruhan hasil adalah sebagai berikut.

Best in Citizen Journalism: Kartika Eka Hendarwanto

Best in Opinion: Bobby Steven Octavianus

Best in Specific Interest: Ozy Vebry Alandika

Best in fiction: Katedrarajawen

People Choice's Kompasiana 2020: Bobby Steven Octavianus

Best Community: KOMiK

Kompasiana of the Year adalah mbak Gaganawati Stegmann.

Lifetime Achievement adalah Kita semua.

Selain saya senang bisa menyapa beberapa Kompasianer yang hadir, saya menikmati pidato kemenangan mbak Gagana. Apa yang mbak Gagana sampaikan sangat keren. Harapannya untuk lebih banyak perempuan Kompasianer masuk nominasi Kompasiana Award adalah sangat baik.

Memang ketidakseimbangan jenis kelamin nominator cukup menyolok. Tiada perempuan di antara nominator Best in Opinion dan Best in Ficton. Kriteria seseorang untuk mendapatkan Kompasiana of the Year yang punya dedikasi tinggi terhadap Kompasiana, memberi pengaruh positif kepada seluruh Kompasianer serta mendukung kegiatan komunitas di sepanjang tahun 2020 , yang memang banyak bertumpu pada komunitas yang menggunakan media daring dinilai tepat.

Tentu sayapun tidak boleh tidak mengapresiasi kebaikan sesama kompasianer dan tim redaksi Kompasiana yang memberi kesempatan kepada saya, kompasienar relatif baru untuk menerima 'award' pada Kompasianival 2019. 

Menurut saya, suatu 'award' semestinyalah bukan suatu kebanggan sesaat, melainkan sebagai bagian dari refleksi tiap individu yang dititipi, tentang apa kita kerjakan dalam hubungannya dengan pemberi 'award'. Bagi saya pribadi, 'award' bahkan bukan tujuan. Hadir di Kompasianivalpun baru mulai tahun 2019. Secara pribadi, tulisan manusia dewasa mendarat dalam nilai hidup.  

Peristiwa itu tentu tidak saya lupakan karena saya memulai menulis dan produktif di Kompasiana justru pada situasi saya tidak dapat melakukan pekerjaan lain selain menulis, karena suatu disabilitas fisik selama lebih dari empat bulan. Oleh karenanya, 'award' adalah kejutan yang saya bahkan tak pernah impikan atau rencanakan. "What next"? Semua orang, termasuk Kompasianer, akan kembali ke kehidupan nyata, yang juga tak kalah dinamis. 

Kompasianival 2020 telah dilaksanakan. Dengan mendapat respons yang berbagai dan dalam suasana pandemi COVID-19 yang jumlah kasusnya masih terus meningkat, secara umum bisa dikatakan bahwa acara Kompasianival telah lancar dilaksanakan. Memang pandemi COVID-19 telah merubah tatanan kehidupan kita.

Bahkan dalam banyak hal, COVID-19 membolak-balik dan memporak-porandakan banyak situasi. Situasi kompleks pandemi COVID-19 ini, adalah menarik melihat tema diskusi yang digelar pada acara Kompasianival selama tiga (3) hari, misalnya terkait proses belajar daring selama pandemi COVID-19 dan bagaimana merespons pengangguran melalui Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial.

Kompasiana dalam Merespons Isu dan Dinamika Keluarga, Nasional dan Global. 

Kompasiana yang mengusung misi 'beyond blogging' ini tentu punya serangkaian kebijakan untuk bisa mengusung banyak pikiran dan ide, yang menurut saya tentu sekaligus tetap menerapkan misi yang sejalan dengan misi keseluruhan Grup Kompas.

Selain memfasilitasi rubrik Ekonomi, Fiksiana, Gaya HIdup, Hiburan, dan Humaniora, Olahraga, dan Politik, serta keberadaan Ruang Kelas dan Teknologi, juga mengangkat isu terkini seperti hadirnya vaksin Sinovac, kelompok dengan disabilitas yang belum mendapat akses bantuan sosial dan juga akses pekerjaan, 'reshuffle kabinet terbatas' yang muncul pada topik pilihan di minggu ini, Kompasiana punya kekuatan untuk mengangkat isu-isu yang mewakili dinamika sosial politik dan ekonomi di negeri ini.

Gerak komunitas, pada umumya dalam aspek literasi sudah kita kenal. Bravo untuk itu. Dan, bukan tidak mungkin, komunitas Kompasiana juga dapat menjadi 'beyond' isu literasi. Bisa saja, komunitas Kompasiana bahkan menjawab isu sosial melalui kerja nyata dan penggalangan gerakan sosial, kebutuhan solidaritas sosial dalam masa pandemi, yang telah alami berubahnya tatanan sosial ekonomi.  Mengapa tidak? 

Pada akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang, Kompasiana adalah bagian dari media, salah satu pilar demokrasi Indonesia. Ya, kesadaran kita bahwa Kompasiana adalah media alternatif untuk menjadi pilar demokrasi yang membanggakan adalah harapan kita. Dan, karenanya, kemampuan Kompasiana untuk mengangkat isu dan perdebatan atas persoalan dan proses demokratisasi di negeri ini melalui pemikiran lintas generasi menjadi sangat kritikal. 

Negeri ini baru saja menyelenggarakan perhelatan Pilkada serentak pada 9 Desember kemarin, bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Internasional. Ini semestinya bukan kebetulan yang biasa.

Ini merupakan penanda penting tentang betapa keduanya adalah isu dalam pilar demokrasi yang perlu kita amati dan jaga. Keduanya bukan hanya sekedar topik yang Kompasianer perlu respons untuk memenangkan poin dan K-rewards, karena keduanya seharusnya bukan ritual demokrasi biasa.

Pasalnya Indonesia yang mencatat tingkat positif infeksi COVID-19 sebesar 13%, jauh lebih tinggi dari batas 5% yang WHO gunakan sebagai batas, serta tingkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di Asia Tenggara ini telah menyelenggarakan Pilkada serentak yang melibatkan lebih dari 100 juta pemilih. Dikhawatirkan akan terjadi klaster baru Pilkada. Juga, banyak media nasional dan internasiol menuliskan dinamika Pilkada serentak dan gerakan anti korupsi di Indonesia saat ini.

Pilkada yang melibatkan pencalonan yang dinyatakan oleh Alzaeera.com dan Bllomberg.com sebagai lahirnya era dinasti kepemimpinan dengan keterlibatan sekurangnya 20% adalah dari dinasti kepemimpinan di tingkat lokal. Pilkada ini melibatkan pencalonan keluarga terdekat presiden Jokowi, yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang mencalonkan diri menjadi walikota Solo, dan juga Bobby yang mencalonkan diri menjadi Walikota. 

Yoes Kenawas, candidate doctor pada Northwestern University di Amerika serkiat menyebutkan setidaknya terdapat 146 kandidat dari kalangan dinasti berbagai pemimpin politik Indonesia.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, menyatakan bahwa tahun ini menggambarkan kegagalan parti politik untuk merekrut pimpinan daerah yang berasal dari kader internal partai. Banyak calon pimpinan daerah bukanlah berasal dari mereka yang punya keterkaitan erat dengan masyarakat pemilih.

Tentu saja ini menjadi 'santapan' media. Pilkada juga melibatkan sembilan dari 34 provinsi memilih gubernurnya. Ini tentu bukan hal kecil. Angka ini meningkat dari jumlah candidat berjumlah 52 orang di tahun 2015. Ia juga menyebutkan bahwa tren ini menunjukkan bahwa ruang bicara masyarakat sipil di Indonesia makin sempit. (Aljaeera.com, 8 Desember 2020).

Sementara itu, turunnya prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi yang lesu setelah Revisi Undang-undang KPK di akhir tahun 2019 dan berita tertangkapnya dua menteri untuk isu yang sangat politikal, yaitu korupsi sumber daya alam dan korupsi atas dana bansos memancing komentar dan perdebatan yang disinyalir banyak pihak sebagai penangkapan bermuatan politik.

Situasi di dalam negeri memang bukan hanya soal hangat dan viralnya di media, tetapi pelik implikasinya bagi warga. Ribuan masyarakat di area gunung Merapi, Semeru, dan Lewotolok dan juga di wilayah bencana banjir di Medan dan di Jawa Barat terpaksa harus mengungsi.

Keluhan warga miskin dan rentan, termasuk mereka yang mengidap pesoalan kesehatan jiwa yang kronik, lansia, dan perempuan yang dilacurkan, yang belum mendapatkan dukungan Bansos. Ini merupakan PR tersendiri bagi pemerintah, yang telah pusing dengan urusan pencegahan dan penanggulangan COVID-19.

Belum lagi soal diterimanya kepulangan Habib Riziq yang bukan hanya disoroti menciptakan keramaian politik, tetapi juga membawa serta isu penyebaran COVID-19 atas klaster baru akibat berkerumum. Kemampuan negara untuk bisa melakukan tanggap bencana jadi ujian berat.

Isu HAM diangkat beberapa pihak, baik dalam kaitannya dengan PILKADA yang tetap dilakukan, meskipun protokol kesehatan diyakinkan KPU untuk dilakukan di masa tanggap COVID-19 maupun soal pemenuhan hak warga, dengan menggunakan prinsip 'no one left behind' seperti pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Secara pribadi saya merasa ngeri melihat kita telah berada pada bulan ke 10 masa pandemi COVID-19, sementara tingkat kedisiplinan yang rendah di antara anggota masyarakat untuk mengenakan masker dan potokol kesehatan sangatlah rencah.

Kompasiana 'beyond blogging' saya maknai bukan hanya Kompasiana yang memfasilitasi kegiatan para blogger untuk menulis, tetapi juga kegiatan komunitas yang tumbuh bersamanya, dan lebih luas, Kompasiana sebagai media, yang punya peran sebagai salah satu pilar demokrasi negeri ini.

Dan, Kompasianival 2020 yang bertema "Mulai dari Kita" yang ingin mengajak blogger dan netizen untuk melihat cara pandang, yang tidak hanya berfokus pada menanti bantuan, dan menuntut orang lain melakukan perubahan, tetapi memulainya dari diri sendiri dan komunitas di sekitarnya perlu pula dimaknasi sebagai bagian dari kita, dan berangkat dari  kita, untuk menjaga media sebagai pilar demokrasi.

Tantangan keberadaan Kompasiana sebagai media yang harus tetap 'hidup' dan mandiri tentu menjadi pemikiran mereka yang mengelola media ini. Arah dinamika politiik dan ekonomi media ini tentu juga merupakan satu hal yang Kompasianer mungkin alami dan rekognisi. 

Selamat atas dilaksanakannya Kompasianival. Semangat Kompasianer untuk terus menulis, berkomunitas, saling berbagi hal keseharian soal kesehatan, makanan, hiburan, hobi untuk membantu menjalin kekuatan agar tetap sehat dan 'waras' merespons Pandemi COVID-19 yang tidak ringan. Kompasianival bukan hanya ajang pesta dan tapi juga refleksi. 

Harapan untuk memfasilitsi dialog dan tetap kritis menjaga demokrasi dan terus menjadi media yang mengajak semua generasi menggunakan akal sehat dan bijak tidaklah kalah penting.

Pada akhirnya, kitapun perlu realistis. Kita tidak bisa berharap bahwa Kompasiana dapat menjawab semua kebutuhan dan aspek kehidupan, karena Kompasiana adalah media komunitas. Kita semua mengharapkan Kompasiana sebagai media yang demokratis, tetapi bukan  diniatkan sebagai koperasi anggota Kompasianer.  Meskipun demikian, jaya tidaknya Kompasiana memang juga ditentukan oleh gerak (dan semangat) Kompasianer. 

Terimakasih kepada redaksi Kompasiana dengan nahkoda kepemimpinan COO Nurulloh. Harapan agar Kompasiana menjadi 'beyond blogging' yang sehat dan demokratis serta mampu menjawab masanya, termasuk masa pandemi COVID-19 ini akan menjadikan Kompasiana relevan. 

Terimakasih sahabat  kompasianer.  

Mari berangkat dari kita. Dan itu bisa kita lakukan di manapun kita berada. Bisa berangkat dari Kompasiana, dan bisa kita lakukan di manapun kita berada dan dalam komunitas apapun, termasuk di luar Kompasiana. Kita adalah warga masyarakat sipil (yang nyata), dan bumi pertiwi berharap kita menjaganya. 

Tetap sehat dan semangat di masa Pandemi COVID-19. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun