Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tertangkapnya Edhy Prabowo, Pucuk Gunung Es Korupsi

26 November 2020   15:53 Diperbarui: 27 November 2020   09:46 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iceberg (Photo: Time.com)

Edhy Prabowo Tertangkap KPK

Media memberitakan tentang tertangkapnya Edhy Prabowo oleh KPK. Kompas.com menuliskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Juga dilaporkan bahwa terdapat tujuh (7) orang yang diberitakan jadi tersangka dalam kasus tersebut. Penangkapan itu terjadi di bandara, setibanya Edhy Prabowo dari kunjungan kerja ke Hawaii.

Bersamaan dengan hal tersebut, diberitakan bahwa mandate untuk melakukan tugas sebagai Menteri KKP adalah diberikan kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, melalui penunjukkan oleh Mensesneg Pratikno untuk menggantikan Edhi Prabowo. Tautan youtube dari penangkapan Edhy Prabowo dan penunjukkan Luhut Binsar Pandjaitan selaku Dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi KKP, maka Menteri Sekretaris Negara (tentunya atas restu Presiden RI) menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim, demikian Kompas.com menulitskan petikan surat edaran tersebut.


Tidak Adil Membandingkan Edhy Prabowo dengan Susi Pudjiastuti 

Belum lama ini saya menuliskan tentang bu Susi Pudjiastuti, tentang prestasi kerja luar biasa yang diacungi jempol para pemimpin dunia dan juga aktivis lingkungan dari berbagai belahan dunia. Susi Pudjiastuti memang perempuan yang luar biasa. Saya pengagumnya, luar dan dalam. Susi Pudjiastutipun menjadi 'champion' pada upaya mengembalikan kejayaan maritime serta keberlanjutan ekosistem Indonesia, khususnya di bidang maritim dan kelautan. Tulisan itu ada pada tautan ini.

Pagi tadipun saya memposting suatu harapan pada kembalinya seorang Susi Pudjiastuti di FB. Cukup banyak kawan yang berharap sama. Tentu saja. Namun, sebagai bagian dari refleksi diri, sayapun merasa tidaklah bijaksana saya membandingkan Edhy Prabowo dengan Susi Pudjiastuti. Sudahlah, tidak perlu kita diskusikan terlalu dalam.  Namun, pendek saja saya akan menulis.

Susi lahir sebagai menteri ketika sistem ekonomi dan politik mendukungnya. Saat itu Presiden Jokowi berada di garda depan dalam penunjukkan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan. Kebijakan Susipun didukung Presiden Jokowi. Bahwa selanjutnya Susi tidak lagi melanjutkan tugas sebagai menteri, saya kira itu sepenuhnya ada pada kebijakan Presiden Jokowi. Analisis dan dugaan bahwa sistem dan angin politik telah berubah pada masa Kepresidenan Jokowi diangkat berdasarkan pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang lahir kemudian, yang dinilai tidak pro pada upaya mempertahankan keyayaan maritim dan kelestarian ekosistem lautnya.

Kalau kemudian kita membandingkan dengan Edhy, rasanya kita salah posisi. Beberapa saat yang lalu, misalnya Edhy membincang soal tarik-tarikan antara 'prosperity', dalam kemakmuran dan arti pertumbuhan ekonomi, dengan 'sustainability' atau keberlanjutan dan kelestarian, dan melihat saat ini isu kemakmuran dan pertumbuhan perlu didahulukan dibandingkan dengan kelestarian. Dari sini saja saya melihat adalah salah bila terus membandingkan bu Susi dengan pak Edhy. Ini kita bicara soal visi dan kapasitas pemimpin yang berbeda. Selain mereka pada tingkat yang berbeda, mereka lahir pada situasi politik yang berbeda. Jadi, untuk urusan perbandingan, saya harus cukupkan sampai di sini.

Mencukupkan diskusi yang membandingkan Susi dengan Edhy bukan berarti menutup diskusi soal sistem politik ekonomi dan persoalan korupsi di Indonesia.

Citra dan Kinerja KPK Pasca revisi UU KPK, Sistem Politik Negeri, dan Isu Puncak Gunung Es Korupsi di Indonesia 

Penangkapan Edhy Prabowo mungkin saja pantas menjadi perhatian kita. Banyak laporan dan juga tulisan di media yang menyebutkan bahwa kasus korupsi yang sistemik di negeri ini memang terus ada, selain juga terdapat perdapatan tentang kasus korupsi yang sifatnya individual dan yang dianggap sebagai budaya. Mungkin saja kasus Edhy Prabowo nampak tidak biasa karena kasus ini muncul setelah masa tidur nyenyak KPK pasca revisi UU KPK. Ditambah citra KPK yang merosot karena kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Ketua KPK ketika diketahui menggunakan transportasi udara yang sewanya cukup mahal untuk perjalanannya, sementara perjalanan itu bisa dilakukan dengan opsi lainnya.

Memang, banyak kasus korupsi yang dinilai kasat mata, termasuk petty corruption, tapi hal seperti ini seperti didiamkan dan dianggap sebagai bagian dari budaya. Pada saat yang sama cukup banyak persoalan pemberian wewenang yang dinilai berlebihan, yang diberikan melalui lahirnya kebijakan dan perundangan yang membuka akses pada eksplorasi sumber daya alam, yang punya potensi membuka ruang korupsi di masa depan. Sebut saja

Dalam hal meningkatnya kasus korupsi yang terjadi sebagai bagian dari implikasi situasi dan sistem politik yang membuka ruang pada penyalahgunaan wewenang dalam mengakses sumber daya, termasuk sumber daya alam, ini pernah jadi diskusi ketika terjadi proses revisi UU No 4 2009 tentang Minerba. Usulan revisi pasal 165 mengundang reaksi karena pasal yang memberikan hukuman pidana kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan IUP, IUPK, IUPR telah terbukti efektif mencegah terjadinya tindak pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di sektor pertambangan.

Sayangnya Undang-undang tersebut telah direvisi dan disahkan dengan menyisakan pekerjaan rumah yang berat dalam hal penyelamatan kekayaan kita dan juga upaya penanggulangan korupsi. Bahkan revisi undang-undang itu dianggap mencederai kepercayaan masyarakat kepada pemimpin negara karena dilakukan dengan senyap pada masa pandemi COVID-19.

Keberpihakan revisi UU Minerba yang dinilai lebih berat kepada korporasi tinimbang pada keutuhan ekosistem kita menuai kritik, misalnya pada 1) pasal 169A yang memungkinkan perpanjangan ijin konsesi tanpa lelang; 2) pasal 43 yang tidak menyebutkan keharusan pelaporan mineral ikutan yang sebetulnya menyimpan potensi kekayaan negara; 3) pasal 45 yang menyebutkan mineral tergali pada masa eksplorasi tidak kena royalty; dan 4) Pasal 169A Ayat 1 yang memberikan jaminan perpanjangan dan kelanjutan operasi kontrak. Selain menguntungkan perusahaan kelas kakap, UU Minerba yang baru ini akan melanggengkan pengerukan minerba. Dampak ikutan seperti kerurasakan lingkungan dan dampak pada kesehatan masyarakat juga berpotensi terjadi.

Terdapat pandangan yang kritis dari sosiolog Nia Elvina terkait kecenderungan masyarakat Indonesia untuk meniru siapa yang mereka panuti. Ada aspek 'Patron-client relationship' yang menjadi bagian penting dari apa yang terjadi di negeri ini. (the Jakarta Post, 17 Agustus, 2020). Harapan pada perubahan terkait korupsi saat ini sangat bergantung pada kemauan elit negeri untuk mau menjadi panutan kepada publik, warga Indonesia. Lembaga penegak hukum dan partai politik harus menjalankan perannya dengan baik dalam melawan korupsi. Korupsi telah terjadi dalam kaitannya dengan proses pemilihan umum dan pilkada sudah sering terjadi. 

Akhir-akhir ini cukup banyak terdapat beberapa perundangan yang melaju untuk disetujui dan 'hanya' memberi ruang judicial review. Artinya, di masa menanti antrian judicial review, begitu banyak sumber daya alam kita yang punya potensi dieksplorasi dan dieksploitasi dengan bebas.

ICW menilai kebijakan yang berat berfokus pada pembangunan infrastruktur, dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi juga berpotensi pada maraknya korupsi. Sub-kontrak pada pekerjaan infrastruktur sering berlapis, dan ini sulit dipantau. Apalagi di masa pandemi ketika aparat pemerintah dan masyarakat punya keterbatasan untuk memantau pembangunan tersebut. Seperti diketahui, dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur meningkat menjadi Rp 423,3 triliun sejak 2016 sampai 2020. Juga, melalui Menko Ekonomi Airlangga Hartarto, Pemerintah menambah pembangunan proyek strategis dari 223 buah dengan 89 proyek infrastruktur baru senilai 1.422 tiriliun.  

Juga, masih besarnya peran perusahaan BUMN dalam mengelola pembangungn infrastruktur tampaknya masih juga menyisakan kasus korupsi. Ini dapat dipahami. Dari pengalaman di Indonesia, bagaimanapun, terdapat 'previlidge' bagi BUMN dalam proses tender proyek besar. KPK telah menangkap beberapa mantan pegawai BUMN, antara lain dari Waskita Karya dan Nindya Karya karena kasus korupsi pembangunan infrastruktur yang terjadi antara tahun 2005 sampai 2018 (the Jakarta Post, 28 Juli 2020). Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur, KPK telah melaporkan terdapat dugaan 26 kasus korupsi pada proyek infrastruktur yang dikelola BUMN (the Jakarta Post, 22 Juli 2020). 

ICW menilai bahwa KPK masih tampak enggan menangkap pelaku kasus korupsi di sektor eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Padahal, kasus korupsi di sektor sumber daya alam ini dilaporkan JP Morgan mencapai 6,03 Triliun di tahun 2019.  Ini jauh lebih tinggi, sekitar empat  (4) kali lipat dari nilai kasus korupsi di sektor perbankan, dua belas (12) kali nilai korupsi di sektor transportasi, sekitar enam puluh (60) kali dari nilai korupsi di pemerintahan, dan sekitar tujuh puluh (70) kali lipat dari nilai korupsi pada proses pemilu (The Jakarta Post, 22 Juli 2020). 

Foto : ICW dari the Jakarta Post
Foto : ICW dari the Jakarta Post
Dengan beberapa hal di atas, saya mencegah diri saya secara pribadi untuk kaget bila terdapat kasus korupsi atau kasus penangkapan beberapa pihak oleh KPK. Selain kasus korupsi memang begitu banyak, banyak kasus korupsi dan penangkapan tersangka korupsi yang berkelindan dengan isu politik, dan ini juga sudah dianggap menjadi hal yang biasa di Indonesia. Jadi, apakah saya harus kaget? Sedih dan kecewa, tetapi tidak kaget. 

Persoalan makin menurunnya kedaulatan rakyat yang bergeser pada kekuatan partai politik yang korup dikhawatirkan akan meningkatkan kasus-kasus korupsi. Di masa pandemi, kedaulatan rakyat menyempit karena situasi mencegah mobilitas rakyat untuk bergerak. Sementara itu, akses pada keterlibatan rakyat pada proses pengambilan keputusan dan pengesahan peraturan dan perundangan makin kecil. Perhatian semua pihak ditujukan pada persoalan tanggap COVID-19. Rakyat juga sibuk memikirkan kesulitannya mendapatkan pendapatan untuk hidup sehari-hari. 

Kasus Edhy Prabowo hanyalah akan menjadi satu contoh kasus dari gunung es keruwetan sistem politik dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Wajarlah bila masyarakat menjadi tidak percaya pada demokrasi. Dan, pada akhirnya, kita punya pertanyaan besar apakah kita masih bisa menepati janji kita kepada anak cucu kita untuk menjaga kekayaan negeri ini.

Pustaka: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun