Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tertangkapnya Edhy Prabowo, Pucuk Gunung Es Korupsi

26 November 2020   15:53 Diperbarui: 27 November 2020   09:46 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : ICW dari the Jakarta Post

Memang, banyak kasus korupsi yang dinilai kasat mata, termasuk petty corruption, tapi hal seperti ini seperti didiamkan dan dianggap sebagai bagian dari budaya. Pada saat yang sama cukup banyak persoalan pemberian wewenang yang dinilai berlebihan, yang diberikan melalui lahirnya kebijakan dan perundangan yang membuka akses pada eksplorasi sumber daya alam, yang punya potensi membuka ruang korupsi di masa depan. Sebut saja

Dalam hal meningkatnya kasus korupsi yang terjadi sebagai bagian dari implikasi situasi dan sistem politik yang membuka ruang pada penyalahgunaan wewenang dalam mengakses sumber daya, termasuk sumber daya alam, ini pernah jadi diskusi ketika terjadi proses revisi UU No 4 2009 tentang Minerba. Usulan revisi pasal 165 mengundang reaksi karena pasal yang memberikan hukuman pidana kepada pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam mengeluarkan IUP, IUPK, IUPR telah terbukti efektif mencegah terjadinya tindak pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di sektor pertambangan.

Sayangnya Undang-undang tersebut telah direvisi dan disahkan dengan menyisakan pekerjaan rumah yang berat dalam hal penyelamatan kekayaan kita dan juga upaya penanggulangan korupsi. Bahkan revisi undang-undang itu dianggap mencederai kepercayaan masyarakat kepada pemimpin negara karena dilakukan dengan senyap pada masa pandemi COVID-19.

Keberpihakan revisi UU Minerba yang dinilai lebih berat kepada korporasi tinimbang pada keutuhan ekosistem kita menuai kritik, misalnya pada 1) pasal 169A yang memungkinkan perpanjangan ijin konsesi tanpa lelang; 2) pasal 43 yang tidak menyebutkan keharusan pelaporan mineral ikutan yang sebetulnya menyimpan potensi kekayaan negara; 3) pasal 45 yang menyebutkan mineral tergali pada masa eksplorasi tidak kena royalty; dan 4) Pasal 169A Ayat 1 yang memberikan jaminan perpanjangan dan kelanjutan operasi kontrak. Selain menguntungkan perusahaan kelas kakap, UU Minerba yang baru ini akan melanggengkan pengerukan minerba. Dampak ikutan seperti kerurasakan lingkungan dan dampak pada kesehatan masyarakat juga berpotensi terjadi.

Terdapat pandangan yang kritis dari sosiolog Nia Elvina terkait kecenderungan masyarakat Indonesia untuk meniru siapa yang mereka panuti. Ada aspek 'Patron-client relationship' yang menjadi bagian penting dari apa yang terjadi di negeri ini. (the Jakarta Post, 17 Agustus, 2020). Harapan pada perubahan terkait korupsi saat ini sangat bergantung pada kemauan elit negeri untuk mau menjadi panutan kepada publik, warga Indonesia. Lembaga penegak hukum dan partai politik harus menjalankan perannya dengan baik dalam melawan korupsi. Korupsi telah terjadi dalam kaitannya dengan proses pemilihan umum dan pilkada sudah sering terjadi. 

Akhir-akhir ini cukup banyak terdapat beberapa perundangan yang melaju untuk disetujui dan 'hanya' memberi ruang judicial review. Artinya, di masa menanti antrian judicial review, begitu banyak sumber daya alam kita yang punya potensi dieksplorasi dan dieksploitasi dengan bebas.

ICW menilai kebijakan yang berat berfokus pada pembangunan infrastruktur, dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi juga berpotensi pada maraknya korupsi. Sub-kontrak pada pekerjaan infrastruktur sering berlapis, dan ini sulit dipantau. Apalagi di masa pandemi ketika aparat pemerintah dan masyarakat punya keterbatasan untuk memantau pembangunan tersebut. Seperti diketahui, dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur meningkat menjadi Rp 423,3 triliun sejak 2016 sampai 2020. Juga, melalui Menko Ekonomi Airlangga Hartarto, Pemerintah menambah pembangunan proyek strategis dari 223 buah dengan 89 proyek infrastruktur baru senilai 1.422 tiriliun.  

Juga, masih besarnya peran perusahaan BUMN dalam mengelola pembangungn infrastruktur tampaknya masih juga menyisakan kasus korupsi. Ini dapat dipahami. Dari pengalaman di Indonesia, bagaimanapun, terdapat 'previlidge' bagi BUMN dalam proses tender proyek besar. KPK telah menangkap beberapa mantan pegawai BUMN, antara lain dari Waskita Karya dan Nindya Karya karena kasus korupsi pembangunan infrastruktur yang terjadi antara tahun 2005 sampai 2018 (the Jakarta Post, 28 Juli 2020). Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur, KPK telah melaporkan terdapat dugaan 26 kasus korupsi pada proyek infrastruktur yang dikelola BUMN (the Jakarta Post, 22 Juli 2020). 

ICW menilai bahwa KPK masih tampak enggan menangkap pelaku kasus korupsi di sektor eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Padahal, kasus korupsi di sektor sumber daya alam ini dilaporkan JP Morgan mencapai 6,03 Triliun di tahun 2019.  Ini jauh lebih tinggi, sekitar empat  (4) kali lipat dari nilai kasus korupsi di sektor perbankan, dua belas (12) kali nilai korupsi di sektor transportasi, sekitar enam puluh (60) kali dari nilai korupsi di pemerintahan, dan sekitar tujuh puluh (70) kali lipat dari nilai korupsi pada proses pemilu (The Jakarta Post, 22 Juli 2020). 

Foto : ICW dari the Jakarta Post
Foto : ICW dari the Jakarta Post
Dengan beberapa hal di atas, saya mencegah diri saya secara pribadi untuk kaget bila terdapat kasus korupsi atau kasus penangkapan beberapa pihak oleh KPK. Selain kasus korupsi memang begitu banyak, banyak kasus korupsi dan penangkapan tersangka korupsi yang berkelindan dengan isu politik, dan ini juga sudah dianggap menjadi hal yang biasa di Indonesia. Jadi, apakah saya harus kaget? Sedih dan kecewa, tetapi tidak kaget. 

Persoalan makin menurunnya kedaulatan rakyat yang bergeser pada kekuatan partai politik yang korup dikhawatirkan akan meningkatkan kasus-kasus korupsi. Di masa pandemi, kedaulatan rakyat menyempit karena situasi mencegah mobilitas rakyat untuk bergerak. Sementara itu, akses pada keterlibatan rakyat pada proses pengambilan keputusan dan pengesahan peraturan dan perundangan makin kecil. Perhatian semua pihak ditujukan pada persoalan tanggap COVID-19. Rakyat juga sibuk memikirkan kesulitannya mendapatkan pendapatan untuk hidup sehari-hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun