Untuk itu, terdapat beberapa rekomendasi yang dianggap penting. Rekomendasi yang utama adalah agar pemerintahan Jokowi tidak terganggu hal lain selain berfokus pada kesuksesan mengendalikan dan memitigiasi COVID-19. Keraguan masyarakat pada kemampuan pemerintahan Jokowi mengelola COVID-19 adalah risiko yang perlu dihitung. Untuk itu, terdapat beberapa langkah yang perlu penjadi perhatian.
Pertama, pemerintah perlu memiliki strategi komunikasi yang efektif yang mendorong pada kepatuhan warga. Strategi komunikasi itu jangan dilihat hanya dari pergantian juru bicara gugus tugas dari dokter Achmad Yurianto kepada dokter Raisa, tetapi strategi komunikasi dan narasi untuk menguraikan kebijakan tanggap COVId-19 yang dibuat pemerintah.
Kedua, pemerintah perlu lebih terbuka pada perdebatan serta kritik yang ada di publik terkait kebijakan memitigasi COVID-19. Pemerintah perlu mengurangi 'blunder' dan kebijakan yang bahkan menjadi boomerang. Ini misalnya terkait tidak konsistennya penerapan kebijakan 'mudik' dan tidak jelasnya definisi 'new normal'.Â
Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan pertimbangan-pertimbangan sains dan berbasis data di dalam pembuatan kebijakan. Memang berat, tetapi pemerintah perlu cepat membangun kepercayaan yang sempat dan masih hilang gara-gara terlalu menggunakan pertimbangan pribadi yang selanjutnya sering dipolitisasi.Â
Keempat, pemerintah perlu memiliki rencana jangka panjang penanganan COVID-19, dan bukan tindakan-tindakan atau tanggap pandemi yang dilakukan dengan reaktif ataupun hanya untuk jangka pendek. Penggantian menteri di kabinet yang selalu menjadi 'sas-su's tidak juga dilakukan, meski kinerja kabinet dinilai rendah. Ini dapat dilihat dari lambatnya dukungan pemerintah dan lembaga keuangan pada penyaluran Bansos, termasuk di antaranya kepada Industri Kecil dan Mikro. Selanjutnya, pemerintah perlu memberbaiki narasi yang lebih jelas dan konstruktif tinimbang 'new normal' yang selain tidak efektif juga tidak pernah lagi disebut sebagai kebijakan. Konsistensi diperlukan agar masyarakat lebih patuh. Pejabat pemerintah dan DPR perlu pula memberi contoh atas kedisiplinan yang hendak dibangun. Amatlah disayangkan bahwa banyak pejabat pemerintah melepas masker ketika berfoto bersama dengan pejabat lain. Juga mereka tidak menjaga jarak.Â
Dalam hal vaksin, negara perlu memainkan diplomasi vaksin yang tepat agar optimal untuk kepentingan warga Indonesia, disamping juga menghargai proses yang perlu waktu untuk mewujudkan kemandirian vaksin.Â
Saat ini Indonesia memang sedang bekerjasama dengan Cina dalam menghasilkan Sinovac dan vaksin Bio Farma. Dan, Presiden Jokowi perlu untuk memperjuangan agar vaksin itu diutamakan untuk masyarakat Indonesia dan dilakukan dengan harga terjangkau.Â
Pengalaman implementasi tes PCR swab test yang dinilai lambat dan tidak terjangkau masyarakt umum karena harganya yang tinggai seakan mendorong kondisi masyarakat yang rentan dan miskin untuk tidak punya pilihan selain terjangkit COVID-19 dan meninggal.
Kemandirian Indonesia akan vaksin tak mungkin terjadi bila pemerintah tidak memperhatikan bidang pengetahuan dan sains dengan memadai. Alokasi anggaran yang sangat rendah pada lembaga-lembaga sains seperti Biofarma dan Eijkman Institute sejak orde baru adalah 'reality check' bahwa kita belum siap dalam proses menuju kemandirian vaksin itu. Tidaklah mungkin kita 'ujug-ujug' mandiri dan berdaulat ketika sektor itu hampir terlupakan.Â
Ini tentu merupakan tuntutan pada pemerintahan Jokowi di tahap kedua untuk memenuhi janjinya, yaitu memajukan sumber daya manusia, pengetahuan dan sains.
Kesuksesan dan kinerja masa pemerintahan Jokowi untuk mengelola COVID-19 adalah hal yang sangat penting. Apa artinya Indonesia mengejar pembangunan ekonomi ketika manusianya banyak yang mati.Â