Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Jakob Oetama, Istilah Jurnalisme Kepiting, dan Diplomasi Media Melawan Korupsi

9 September 2020   19:58 Diperbarui: 10 September 2020   08:02 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Pusat Informasi Kompas

Jakob Oetama, Salah Satu Pendiri Grup Kompas Meninggal Dunia

Jakob Oetama telah meninggal dunia pada usia 88 tahun hari ini, 9 September 2020. Semasa hidupnya, Jakob Oetama dikenal sebagai pribadi sederhana, jujur, berintegrasi, bersyukur dan sangat humanis. 

Ia sering disebut sebagai orang yang memanusiakan 'nguwongke' orang lain dan tidak pernah menonjolkan status atau kedudukannya. Ini diterapkan dalam mengarahkan nilai bisnis Kompas Gramedia yang mengarah pada satu tujuan utama, yaitu mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.

Jasa pendiri Kompas Group ini banyak sekali. Bersama P.K Ojong (alm), Jakob Oetama mendirikan Kompas Gramedia (KG) pada 28 Juni 1965. 

Selain itu almarhum adalah penerima berbagai penghargaan, termasuk di antaranya Bintang jasa "The Order of The Rising Sun, Gold Rays with Neck Ribbon dari Pemerintah Jepang (2010); Number One Press Card dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2010; Alumnus Teladan dari Universitas Gadjah Mada dalam Rangka Dies Natalis ke-56, Yogyakarta (2006); World Entrepreneur of the Year Academy 2006 dari Ernst & Young, Monaco (2007), Lifetime Achievement Award dari Bank BRI (2008), dan Lifetime Achievement Award dari PWI (2009). Jakob Oetama sempat menerima Piagam Mahaputera dari Presiden pada 1973. Penghargaan-penghargaan ini sedikit banyak menggambarkan siapa Jakob Oetama. 

Jakob Oetama, Kompas dan Anti Korupsi

Ada suatu penghargaan lain yang belum saya sebut di awal tulisan yang menurut saya amat menarik, yaitu penghargaan dari Tiga Pilar Kemitraan berkaitan dengan Hari Antikorupsi. Mengapa menarik? Menarik karena di masa yang lalu sempat ada perdebatan tentang bagaimana strategi media digunakan oleh Jakob Oetama dalam melawan korupsi.

Tulisan Atmadji Sumarkidjo pada Jurnal Visi Komunikasi "Pers Nasional, Pilar Satu-Satunya Yang Konsisten Anti-Korupsi" (2013) menuliskan beberapa hal terkait konsistensi media pada gerakan anti korupsi. 

Persyaratan permintaan maaf ketika dibredel sempat menjadi suatu perdebatan dalam proses yang terjadi pada pucuk pimpinan harian Kompas, yaitu antara PK Ojong (Pemimpin Umum) dan Jakob Oetama (Sularto, 2007: 128-129). "...menghadapi kenyataan ini, Ojong dengan tegar mengambil sikap, 'Jangan minta maaf, mati dibunuh hari ini, nanti atau tahun depan, sama saja...'.

Atmadji menuliskan bahwa Jacob Oetama punya pemikiran lain. "Saya segera mengambil alih persoalan. Saya maju ke depan, memikul risiko, menandatangani pernyataan minta maaf serta janji tertulis yang diminta..." Atmadji juga menuliskan pernyataan Jacob Oetama bahwa mayat hanya bisa dikenang, namun tidak akan mungkin diajak berjuang. Sedangkan perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, antara lain media massa. Dan, pada 7 Februari 1978, ketujuh surat kabar itu terbit kembali. 

Keputusan besar Jakob Oetama itulah yang menjadikan Kompas masih ada hingga kini. Suatu keputusan penting dan sekaligus menggambarkan strategi yang didasari pertimbangan yang dalam. 

Peristiwa pembredelan pada banyak media itu dicatat mambawa beberapa implikasi, antara lain hadirnya Petisi 50. Sekelompok tokoh pendiri Petisi 50 berpendapat bahwa media telah dibrangus untuk tidak berbicara dan mengkritik pemerintah. Dan karena kritis pada pemerintah, pemikiran dan pandangan Petisi 50 tidak perdah muncul secara terbuka di media cetak yang dianggap patuh pada pemerintah.

Dalam jurnal itu, Atmadji Soemarkidjo menuliskan perdebatan yang menyeruak di antara tokoh media senior karena peristiwa pembredelan telah membungkam media. Misalnya, ia menuliskan bahwa Rosihan Anwar, wartawan senior mengutip ucapan Jacob Oetama yang menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan bukanlah strategi "jurnalisme kepiting". "Ibarat orang yang sedang berjalan di dasar sungai dan kakinya meraba-raba apakah ada bahaya di depan. Jika ada kepiting dirasakannya menggigit kakinya, maka cepat-cepat ia mundur selangkah. Kalau kepiting sudah tidak ada lagi, barulah dia maju ke depan".

Repotnya, Rosihan malah menuduh Jakob Oetama mempraktikkan "jurnalisme kepiting" itu. Ini tentu tidak disukai Jakob. Jakob menjelaskan bahwa persoalan yang kompleks (seperti di Indonesia) tidak dapat dilihat secara hitam dan putih. Jakob mengatakannya bahwa pertimbangan-pertimbangan yang dalam selalu menjadi nilai dalam Kompas. 

Setelah masa reformasi, bermunculanlah kebebasan pers, tetapi pada saat yang sama lahirlah media sosial. Ini tentu membawa dinamika berbeda karena media sosial mendorong pembentukan opini publik dengan lebih agresif. Kelahiran KPK dinilai memicu media untuk bisa mengangkat isu korupsi besar ke permukaan.

Lalu, bagaimana sebetulnya dedikasi Jakob Oetama pada gerakan anti korupsi?

Di tahun 2011, Jakob Oetama membuka suatu seminar 'Korupsi yang Memiskinkan" ketika Kompas menjadi tuan rumah. Ia berpendapat bahwa feodalisme adalah akar masalah korupsi karena feodalisme memunculkan previlege. Previledge ini membuka ruang untuk adanya penyalahgunaan wewenang. 

Seminar itu mendapat respons positif karena dihadiri oleh pembicara dari berbagai kalangan, baik dari KPK maupun dari intelektual yang mewakil organisasi penting, seperti universitas dan lembaga keagamaan. Ada Zuhairi Misrawi dari Nahdatul Ulama, Ahmad Syafii Maarif mewakili Pengurus Pusat Muhammadiyah, Karlina Supeli mewakili pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Akhiar Salmi dari Universitas Indonesia serta HS Dillon dan Eva Kusuma Sundari yang saat itu Ketua Fraksi PDI-P di DPR. Ini gambaran dari dedikasi dan kesetiaan Jacob Oetama pada gerakan anti korupsi. 

Suatu tulisan karya Ambang Priyonggo dan Lupita Wijaya membuat analisis konten dengan studi kasus tentang peran Koran Kompas dalam gerakan anti korupsi. Tulisan "Press as an Agent of Restraint: The Political Roles of Indonesian Press against Corruption" ini dipresentasikan di the Fifth Conference of Communication Industry and Journalism Education in the Digital Age, Chinese Culture University, Taiwan, yang diselenggarakan pada 4 dan 5 Juni 2013. 

Pilihan pada studi kasus Harian Kompas karena Kompas merupakan harian nasional terbesar dan satu dari sekian media yang terlama juga paling dipercaya.

Studi itu mencatat suatu wawancara antara Majalah Tempo di tahun 1983 yang Jakob Oetama tulis di bukunya "Pers Indonesia: mengabdi pada masyarakat tak tulus", yang menggambarkan bahwa Jakob mengakui bahwa ia harus menerapkan jurnalisme yang tertata dan dikelola secara berhati-hati. 

Ini ia lakukan karena kita masih hidup di suatu masyarakat yang masih belajar demokrasi dan dipengaruhi oleh budaya politik yang masih dikuasai 'supra structure', dan ia menulis ini dalam konteks di masa Soeharto. Iapun mengatakan bahwa keputusan suatu media mempraktekkan hal tersebut merupakan hak media itu dalam menterjemahkan apa itu demokrasi dan kebebasan.

Juga, studi ini menilai Kompas melakukan transformasi diri untuk menjadi lebih kritis dan pada saat yang sama tetap pengedepankan gaya analisis yang dalam dan tertata secara konvensional. 

Yang menarik dan jadi temuan penting adalah bahwa studi ini menyitir pernyataan Ignatius Haryanto dari the Institute for the Study and Development of Press (LSPP) yang dilakukan pada November 2012 yang menyebutkan bahwa Kompas menjadi lebih berani untuk memuat tulisan politik yang sensitif berkaitan dengan isu kepresidenan, pelanggaran hak asasi manusia, dan skandal korupsi. 

Keberanian Kompas yang mengangkat korupsi yang dilakukan oleh Korlantas di bawah POLRI dan melibatkan pejabat tinggi POLRI, Irjen Djoko Susilo, terkait pengadaan simulator kendaraan yang menyebabkan negara rugi Rp 100 miliar dari tender senilai Rp 198,7 miliar adalah salah satu contohnya. 

Investigasi Kompas ini dilanjutkan oleh KPK yang 3 bulan kemudian menetapkan Gubernur Akadami Kepolisian, yang pada saat itu merupakan mantan pimpinan Korlantas, Irjen Djoko Susilo menjadi terdakwa tunggal atas kasus tersebut. Studi ini menyebut Kompas menjadikan pres melakukan peran untuk malawan tindak korupsi.

Studi itu menuliskan bahwa peristiwa tersebut mengundang perhatian publik karena kemudian masyarakat menilai tindakan polisi pada kasus-kasus korupsi dinilai hanya untuk melindungi pejabat kepolisian yang korup. 

Ini dikaitkan dengan peristiwa tarik-tarikan antara POLRI dan KPK di tahun 2009 ketika Majen Polisi Susno Duadji menuduh KPK menyadap telpon genggamnya, yang menyebutnya meminta Rp 10 miliar dari Boedi Sampoerna untuk membersihkan catatan bisnis di rekening Bank Century. 

Yang terjadi berikutnya adalah POLRI menangkap komisioner KPK Bibit dan Chandra dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang, yang melibatkan suap dalam investigasinya terkait pelaku bisnis. Penangkapan kedua pimpinan KPK ini memunculkan protes dari kalangan aktivis anti korupsi melalui media arus utama dan media sosial. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa Cicak dan Buaya.

Yang menarik studi ini mengkaji konten yang ada di kolom opini, hukum dan kolom lain di harian Kompas terkait peristiwa di atas dan mencatat bahwa bagaimana Kompas menggarisbawahi KPK sebagai lembaga yang secara hukum punya legitimasi dalam memberantas korupsi. 

Selama dua bulan dicatat terdapat 35 artikel utama terkait isu itu. Artikel tersebut terdiri dari 6 artikel di halaman depan, 21 artikel terkait hukum dan politik dan 5 artikel opini serta 3 artikel di kolom lain-lain yang berfokus pada persoalan itu.

Kompas dinilai memberikan dukungan penuh pada KPK, misalnya dalam artikel 'Rakyat Dukung KPK Bongkar Kasus SIM", dan menuliskan pernyataan yang mengatakan "Kalau KPK sungguh-sungguh, publik akan menonton dan menjadi supporter fanatic. Publik bisa marah jika tim kesayangannya (KPK) dicurangi"

Melihat adanya dugaan penggembosan atau pelemahan KPK, Kompas saat itu dinilai menjaga validitas beritanya dengan cara mengumpulkan fakta dan data, dan mewawancarai sumber terpercaya dan berimbang. 

Dari 122 orang yang diwawancarai Kompas pada 35 artikel itu, terdapat pejabat publik seperti politisi, menteri, jaksa, komisioner KPK, pejabat POLRI sebesar 67%, para ekspert yaitu akademisi, penasehat hukum dan aktivis anti korupsi sebesar 28 % dan sisanya adalah aktivis LSM dan khalayak umum sebesar 4%. 

Wawancara tersebut menjadi berimbang karena memasukkan mereka yang Pro KPK, netral maupun melawan KPK. Rupanya ada tantangan bagi Kompas untuk bisa melakukan peran semacam ini. 

Pada studi itu, Kepala Litbang Kompas menyebut bahwa kompetensi investigasi dalam jurnalistik yang professional merupakan tantangan bagi Kompas menjalankan perannya yang mandiri dan berdaya. Studi ini juga mencatat bahwa banyak media memang belum bisa melakukan peran investigatif, melainkan baru memuat komentar sumber yang tidak sengaja (atau sengaja) membocorkan kasus. 

Seorang Jakob Oetama sangat jelas keberpihakannya pada gerakan anti korupsi. Keberpihakan itu tentu menjadi acuan banyak pihak mengingat ia mewarnai media paling berpengaruh di Indonesia ini. 

Gaya jurnalistik Kompas untuk mengupas kasus korupsi memang punya gaya sendiri. Gaya itu berkaitan dengan gaya etika budaya Jawa yang memang dianut oleh Jakob Utama yang seorang Jawa yang menjalankan etikanya. Saya sebut itu gaya diplomasi. 

Saya duga nilai-nilai juga merupakan bagian dari bagaimana Kompas menyikapi kondisi yang diduga merupakan pelemahan KPK pada saat revisi UU KPK di tahun 2019. 

Kita masih belum tahu bagaimana dinamika situasi berkait gerakan anti korupsi akan terus berjalan dan bagaimana Kompas akan menyikapinya di masa depan. Apakah pendekatan diplomasi Kompas masih akan jadi warna Kompas sepeninggal Jakob Oetama? Kita tunggu?  

Seperti kata Jakob tentang bagaimana ia menjalankan Kompas, bahwa persoalan yang ada sangatlah kompleks dan tidak bisa dipecahkan dengan hitam dan putih. Namun, saya melihat spirit Kompas untuk mendorong peran masyarakat sipil untuk bekerjasama dengan media seperti Kompas untuk menjaga kemandirian media untuk melawan korupsi di sistem yang ada. 

Terima kasih, Pak Jakob Oetama untuk peranmu menjadikan media sebagai agen melawan korupsi di Indonesia. Selamat jalan dan semoga kau damai bersama-Nya. 

Pustaka: Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun