Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pandemi, "Hanya" Akselerator Perceraian

7 September 2020   06:55 Diperbarui: 7 September 2020   19:09 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beban kerja perempuan ysng harus membantu anak belajar. Foto adalah ibu yang berdidkusi dengan guru tentang proses belajar anak selama pandemi dan belajar dari rumah. Foto ANTARA

Apakah Pandemi COVID-19 Biang Keladi Perceraian yang Meningkat? 

Kasus perceraian di masa pandemi dilaporkan meningkat secara signifikan. Di Pengadilan Agama Kabupaten Garut, Jawa Barat misalnya, dilaporkan bahwa rerata kasus perceraian bisa mencapai 100 kasus per hari. Mayoritas kasus adalah gugat cerai oleh pihak istri.

Ini menyebabkan terjadinya kekurangan Panitera pengganti dan juru sita untuk menyelesaikan perkara. Memang kasus perceraian di Kabupaten Garut cukup tinggi, yaitu sekitar 6.000 kasus di tahun 2019 dan ini meningkat di masa pandemi. Bahkan, diberitakan bahwa terdapat lebih dari 1000 kasus perceraian per bulan di pengadilan agama di Cirebon. 


Di Pengadilan Agama Kota Semarang, dilaporkan terdapat 1.500 kasus perceraian sejak Januari 2020 sampai bulan Juni 2020. Kasus perceraian perbulan juga dinilai meningkat pada masa pandemi karena terdapat penumpukan kasus sejak bulan Maret 2020. 

Baik di Garut maupun di Semarang, dilaporkan bahwa kasus pada umumnya adalah gugat cerai dari pihak istri. Penyebabnya pada umumnya karena kekerasan dalam rumah tangga, yang sebagiannya adalah karena ekses dari persoalan ekonomi. 

Persoalan perceraian di masa pandemic covid-19 bukanlah persoalan eksklusif di Indonesia. Di beberapa negara lain, di Cina, Inggris dan Amerika, dicatat terdapat kenaikan kasus perceraian. 

Di Amerika diberitakan oleh legal template bahwa kasus perceraian meningkat sekitar 34% di masa pendemi covid-19 dibandingkan dengan jumlah kasus di tahun 2019 (dailymail.co.uk, 28 Agustus 2020).

Gabungan antara kehidupan karantina, kemerosotan kondisi keuangan, pengangguran, keluarga sakit dan atau meninggal karena covid19, dan perawatan anak diprediksi berkontribusi pada akselerasi meningkatnya kasus perceraian.

Studi ini menyebutkan kasus tertinggi yang terjadi di Amerika adalah ketika masa penerapan protokol karantina di tanggal 13 April 2020.

Di Inggris, Ayesha Vardag, sebuah lembaga hukum yang banyak mengurus kasus perceraian melihat persoalan 'lock down' mendorong makin tingginya penumpukan kasus perceraian yang diurus di pengadilan. Pengadilan kasus keluarga dan perceraian diduga akan mbludak dan antri setelah 'lock down' selesai.

Hal ini mendorong pemerintah Inggris untuk memperbarui undang undang yang dinilai telah kadaluwarsa. Undang undang keluarga dan perkawinan di Inggris telah berusia 50 tahun dan ini dianggap belum dapat memuat hal hal yang sesuai konteks saat ini.

Undang undang keluarga dan perceraian Inggris memang mensyaratkan adanya beberapa syarat perceraian untuk dapat disetujui, yaitu perselingkuhan, perilaku tidak pantas, pengabaian, dan perpisahan selama 2 tahun tanpa pemberitahuan. Jadi, kasus perceraian di Inggris mengharuskan adanya bukti kesalahan dari satu pihak. 

Suatu studi terkait kasus perceraian di Inggris yang dilakukan pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 62% orang yang menggugat cerai dan 78% orang yang diduga membuat kesalahan dalam perkawinan menemukan bahwa proses perceraian membuat urusan makin sulit dan menyakitkan. 

Juga, masa tunggu selama 20 minggu untuk mengurus perceraian di Inggris dianggap terlalu lama. Para ahli menilai ini perlu penyesuaian, khususnya untuk lebih sesuai dengan konteks masa pandemi.

Ini membuat para ahli di Inggris membandingkan situasi perundangan mereka dengan perundangan perceraian di Perancis yang mengijinkan perceraian terjadi ketika kedua pihak secara sadar menghendaki perceraian terjadi.

Pasangan diberi waktu 15 hari untuk mencoba melihat kembali keputusan mereka dan menawarkan mediasi. Bila dinilai tidak dapat diteruskan, maka perceraian dilakukan. (the conversation.com, Juni 2020).

Pemerintah Inggris juga akan menilik biaya perceraian karena biaya perceraian di Inggris adalah550 poundsterling atau senilai lebih dari 11 juta rupiah. Sementara di Perancis, biaya perceraian adalah 50 Euro atau senilai 1 juta rupiah.

Lock Down, Tindak Kekerasan, dan Perceraian 

Laporan global yang diterbitkan the World Economic Forum (2020) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan di dalam rumah tangga di berbagai wilayah sebesar antara 25 - 35% di Maret 2020 dibandingkan dengan jumlah kasus pada Maret tahun 2019.

Ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Perancis, Kanada, jerman, Spanyol, Inggris, dan Argentina, tetapi juga di negara berkembang, termasuk di Indonesia. 

Data yang dibuat Soroptimist International dan UN Women (2020) mencatat terdapat 243 juta anak perempuan dan perempuan berusia antara 15-49 tahun menjadi korban kekerasan fisik dan seksual pada 12 bulan terakhir. Kebijakan 'lock down' membuat akses perempuan pada berbagai fasilitas di dalam rumah maupu di ruang publik terbatas.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dua pertiga dari 319 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan di masa pandemi adalah kekerasan dalam rumah tangga. LBH APIK juga melaporkan bahwa 110 kasus kekerasan terhadap perempuan juga dilaporkan sejak PSBB dimulai di Jakarta pada 16 Maret sampai 20 Juni 2020.

Studi Komnas Perempuan menunjukkan bahwa beban kerja perempuan selama masa pandemi rerata empat kali lipat dari beban kerja laki laki dalam mengurus domestik. Beban kerja perempuan meningkat sejalan dengan adaptasi yang harus dilakukan selama anak anak juga belajar di rumah.

Ilustrasi beban kerja perempuan ysng harus membantu anak belajar. Foto adalah ibu yang berdidkusi dengan guru tentang proses belajar anak selama pandemi dan belajar dari rumah. Foto ANTARA
Ilustrasi beban kerja perempuan ysng harus membantu anak belajar. Foto adalah ibu yang berdidkusi dengan guru tentang proses belajar anak selama pandemi dan belajar dari rumah. Foto ANTARA
Ketika perempuan tidak bisa menyelesaikan tugas-tugasnya karena dukungan sosial yang semula ada juga berkurang atau bahkan hilang, dan tidak bisa membelanjakan uangnya untuk keperluan sehari hari, mereka menjadi rentan dari kekerasan. Meningkatnya pengangguran dan pada saat yang sama naiknya harga barang di pasar meningkatkan ketegangan di keluarga.

Sebagai pembanding, marilah kita lihat hasil studi yang dilakukan di Uganda. Studi "Assessing the Relationship between Gender Based Violence & COVID-19 Pandemics in Uganda" (Konrad Adenaur Stiftung, 2020) menggambarkan hubungan variabel pandemi dan tindak kekerasan yang terjadi di keluarga.

Ketidakpastian atau ketidakamanan ekonomi dan kemiskinan memiliki keterhubungan dengan karantina dan isolasi sosial yang ditetapkan. Ketika relasi gender tidak seimbang dan pernah terjadi kekerasan, adalah tidak mudah bagi perempuan sebagai korban kekerasan untuk dapat melarikan diri atau keluar dari lingkaran ancaman keamanan dari pelaku. (kas.de).

Ini juga konsisten dengan studi yang dilakukan oleh 'The Men's Advisory Project'. Kenaikan laporan tindak kekerasan sebesar 34% pada 3 bulan terakhir di Amerika menunjukkan bahwa kondisi 'lock down' membuat korban atau penyintas tidak dapat pergi jauh dan menghindari dari pelaku. 

Ini tentu hal yang menakutkan. Dan, dapat dimengerti bahwa perempuan yang telah alami kekerasan dari pasangannya akan cenderung menggugat cerai suaminya. Apalagi bila telah terjadi tindak kekerasan, peempuan juga akan ketakutan untuk tinggal bersama pelaku kekerasan. Apalagi di masa pandemi yang membuat mereka tidak bisa pergi ke mana-mana.

Sedihnya, persoalan layanan atas kasus kekerasan terhadap perempuan dan pendanaannya punya tantangan di masa pandemi. Korban sulit mendapatkan surat keterangan dari Rumah Sakit di masa pandemic karena harus menunjukkan surat bebas COVID-19.

Juga, biaya tes bebas COVID-19 mahal dan birokratis. Korban bukanlah orang yang dianggap prioritas. Mereka bukan pasien COVID-19, dan bukan pula lansia. (The Conversation.com, 6 Agustus 2020).

Dapat diindikasikan bahwa prosentase yang tinggi atas kasus kekerasan domestik dia antara kasus kekerasan terhadap perempuan yang mendorong terjadiya gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri.  

Pandemi Sebagai Akselerator : Lock Down Menekan dan Menguji Relasi Suami Istri yang Sudah Bermasalah 

Pandemi yang menuntut kita untuk berjaga jarak pada hakekatnya bukan hanya memberikan stress pada relasi suami istri tetapi juga mengganggu relasi sosial banyak pihak. Relasi sosial dengan kawan, antar keluarga, antar saudara sekandung, antara staf pekerja dan lain lain. 

The Conversation.com terbitan bulan Juni 2020 menuliskan bahwa pandemi COVID-19 dinilai memberikan tekanan baru pada relasi suami istri. Ada suami istri yang makin kompak dan mesra selama pandemi. Namun, ada pula suami istri yang makin renggang dan bahkan terdorong untuk mempercepat proses perceraian.

'Lock down' telah memaksa keluarga harus tinggal di dalam rumah. Suami dan istri bekerja dari rumah. Anak anak juga belajar di rumah. Pada intinya, semua anggota keluarga melakukan semua kegiatan di rumah. Ini memberikan situasi baru, yang berbeda dari kebiasaan yang telah ada. 

Beberapa orang yang telah memiliki persoalan relasi suami istri cenderung melakukan evaluasi pada relasi mereka, yang kemudian berujung pada keputusan untuk bercerai.

Banyak ahli mengatakan bahwa tidak adil mempersalahkan pandemi covid-19 sebagai penyebab adanya perceraian, dengan alasan bahwa suami istri tidak punya ruang gerak cukup pada saat pandemi. Lalu terdapat tindak kekerasan. Dan hal lainnya. 

Penasehat perkawinan di Inggris mengatakan bahwa pandemi hanya mengakselerasi persoalan relasi suami istri. Beban kerja yang bertambah karena harus menemani anak belajar di rumah, ditambah dengan persoalan beban kerja rumah tangga yang lebih sering menjadi beban istri membuat relasi suami istri makin buruk. 

Pandemi memang telah menciptakan ketidakpastian yang meminta waktu lama. Sementara itu, proses perceraian yang sederhanapun pasti membawa dinamika emosi yang tidak mudah bagi pelakunya. Perceraian bukanlah suatu keputusan yang baik untuk dilakukan, tetapi bagi penyintas dan korban kekerasan dan bagi mereka yang telah memiliki persoalan relasi, ini dianggap sebagai cara untuk keluar dari persoalan dan keterhimpitan.

Dan ketika terdapat faktor lain seperti pengangguran dan hilangnya sumber daya ekonomi, beban kerja yang bertambah yang dialami perempuan, adanya tindak kekerasan, maka perceraian dianggap menjadi jalan keluar bagi pasangan, khususnya pihak perempuan. 

Jadi, pandemi merupakan sesuatu yang meningkatkan dan mempercepat perceraian untuk terjadi. Bila kita lihat pada beberapa kamus bahasa, termasuk kamus bahasa Inggris terbitan Oxford, maka apa yang kita sebut meningkatkan dan mempercepat itu adalah akselerator, 'accelerator is something that increases the rates'. Ini bisa berlaku secara kualitatif ataupun kuantitatif.

Pandemi merupakan akselerator yang mendorong persoalan relasi mengerucut menjadi persoalan yang lebih besar di masa pandemi. Pandemi juga menjadi akselerator yang mendorong jumlah kasus juga berlipat menjadi lebih tinggi di masa pandemi. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun