Gerakan Anti Korupsi dan Transparansi di Indonesia dan Tren Global
Setelah sunyi berita tentang kasus korupsi dan kerja Komisi Penghapusan Korupsi (KPK) sejak pemilihan pimpinan KPK di akhir tahun 2019 dan di masa pandemi COVID-19, minggu ini kita membaca di media tentang ditangkapnya Nurhadi, eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA).
Tertangkapnya Nurhadi dan anaknya dinilai Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi menjadi momentum untuk memperbaiki kinerja lembaga peradilan. (nasional.kompas.com, 3 Juni 2020). Memang kinerja pimpinan KPK baru sudah ditunggu-tunggu.
Indonesian Corruption Watch (ICW) sempat memprediksi bahwa KPK akan menangani lebih sedikit kasus setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK karena terdapat cukup banyak pasal yang membatasi ruang gerak KPK.
Keterbatasan instrumen KPK dinilai akan membatasi gerak KPK. Juga ICW mencatat terdapat jumlah kasus yang sedikit yang disidik KPK sejak Januari 2020 (nasional.kompas.com, 18 Pebruari 2020).
Penangkapan Nurhadi tentu merupakan hal yang melegakan, mengingat untuk beberapa saat publik dibuat resah karena kasus ini sudah cukup lama dicatat. Juga karena pemerintah sempat hendak melepaskan narapidana korupsi di kala pandemi.
Penolakan masyarakat tentang hal ini akhirnya ditanggapi oleh Presiden Jokowi yang memastikan tak akan membebaskan narapidana korupsi sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 karena lembaga pemasyarakatan kelebihan kapasitas. Selanjutnya Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah hanya membebaskan narapidana umum yang telah memenuhi syarat (nasional.kompas.com, 6 April 2020).
Memang, diharapkan bahwa penyelidikan kasus korupsi seharusnya tidak dihambat oleh COVID-19. Bahkan, tanggap darurat dan rekonstruksi COVID-19 perlu memperhatikan aspek anti-korupsi dan persoalan transparansi.
COVID-19 memang telah mengubah semua sendi kehidupan manusia.
Dokumen Transparansi Internasional ‘Getting ahead of the curve - Exploring post-COVID-19 trends and their impact on anti-corruption, governance and development” menuliskan bahwa kita mungkin tidak akan bisa secepat masa sebelum COVID-19 dalam merespons upaya anti korupsi.
COVID-19 membuat banyak pemerintah melakukan tanggap pandemi secara ketat dan luar biasa. Ini diikuti protokol jaga jarak yang membuat banyak kegiatan warga sipil untuk menjalankan hak sipil dan politik tidak mungkin dilakukan.