Repotnya, korban penjualan manusia lebih sulit untuk diidentifikasi dan dibantu untuk bangkit. Pertama, karena mereka tidak memiliki perlindungan kesehatan yang memadai di kala pandemi.
Kedua, pengangguran dan kemiskinan yang meningkat memaksa kelompok yang rentan untuk menerima pekerjaan dengan upah di bawah standard dan dalam situasi yang kurang/tidak manusiawi.
Apalagi kemerosotan di bidang ekonomi kemudian menjadi alasan bahwa tindakan yang membawa kecenderungan eksploitasi dianggap sesuatu yang normal. Pemerintahpun bisa saja abai untuk memantau hal-hal seperti ini.
COVID-19 dinilai beberapa pihak punya potensi ekonomi dan sosial lebih besar daripada pandemi yang pernah ada, baik Spanish Influenza, SARS, H1N1 atau Flue Burung, mengingat gejala COVID-19 beragam dan lebih sulit dikenal sehingga banyak kalangan masyarakat tidak segera ke dokter dan rumah sakit ketika terinfeksi. (Washingtonpost.com, 2 Maret 2020).
Perdagangan Manusia, Kerangka Hukum dan Potensi Kerentanan
Mungkin ada baiknya kita mengingat kembali apa definisi perdagangan manusia. Menurut Protokol Persatuan Bangsa Bangsa, “Perdagangan Manusia (trafficking) menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi”.
Eksploitasi itu sendiri termasuk di dalamnya, antara lain eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia).
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mendefinisikan tindakan perdagangan manusia pada Pasal 1 (ayat 1 dan ayat 2) yang menterjemahkan cakupan protokol PBB di atas.
Pemerintah Indonesia sendiri dinilai belum optimal dalam mengelola persoalan perdagangan manusianya.
Beberapa laporan, termasuk laporan perdagangan manusia di Indonesia yang dirilis pemerintah Amerika untuk tahun 2019, menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya memenuhi standar minimum pemberantasan perdagangan manusia, meski terdapat upaya yang signifikan untuk mewujudkannya. (ww.state.gov, laporan perdagangan manusia 2019).
Memang, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan menteri yang mewajibkan pemerintah daerah untuk memuat pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam prioritas kebijakan. Juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk juga memiliki tugas untuk memuat pembayaran restitusi sebagai bagian dari hukuman kepada pelaku memformulasikan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia tahun 2017.