Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Perawat Indonesia, Pejuang Kemanusiaan Garda Depan yang (Telah Lama) Terabaikan

19 Maret 2020   19:30 Diperbarui: 20 Maret 2020   09:20 3263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tenaga Keperawatan ( Kompas TV.com)

Ulang Tahun yang Terlupakan
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 17 Maret adalah Hari Perawat Indonesia. Sayangnya, sebagian dari kita mungkin sempat melupakannya. Padahal hampir semua stasiun televisi, media cetak, dan media sosial memberitakan perjuangan perawat yang berada di garda terdepan dalam merespons dan merawat pasien yang terkena virus Covid-19.

Rentannya perawat akan virus corona sebetulnya bisa diduga. Sebagian besar perawat yang melayani pasien di klinik dan puskesmas kecil saat ini diberitakan kesulitan mengakses masker. Padahal, ini sesuatu yang mendasar sekali. Berita tentang hal ini telah ada di mana-mana.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pun mulai mempertanyakan apa yang telah dipersiapkan oleh pemerintah untuk mengadakan alat perlindungan diri bagi perawat ketika menangani pasien. 

Beban tugas perawatpun meningkat dan tanpa pengganti, sehingga banyak yang kelelahan. Sementara itu, panduan dasar yang jelas tentang prosedur penangganan virus di tingkat pelaksanaan juga dianggap masih tidak konsisten. 

Di sisi lain, para perawat yang bertugas pun tentu memikirkan anak dan keluarga mereka. Terdapat keluhan atas jumlah perawat. Pertanyaan terkait keberadaan relawan yang bisa menggantikan peran perawat pun dianggap sulit.

Berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, khususnya di kota kota besar, mengadakan gerakan solidaritas untuk mendukung tim paramedis, termasuk perawat, untuk merespons corona. 

Gerakan tersebut berupa penggalangan dana untuk mengadakan masker dan keperluan lainnya, termasuk hand sanitizer. 

Melihat tanggung jawab besar dari perawat, tak kurang Gubernur DKI Jakarta menyediakan dana insentif kepada perawat sebesar Rp 215.000,- per orang/hari. Tapi apakah semua itu cukup, karena sifatnya sementara? Bagaimana situasi dan isu yang ada pada kecukupan sumber daya perawat Indonesia?

Seberapa kita Mengenal Perawat? 

Di layar kaca dan di media, peran perawat sebagai bagian dari tenaga medis dalam merespons merebaknya virus corona sudah bukanlah rahasia lagi. Mereka bekerja siang dan malam tanpa menunjukkan kelelahan.

Saya bukanlah seorang yang bekerja di bidang medis, sehingga tulisan ini lebih merupakan pengalaman pribadi, baik dalam lingkup pekerjaan maupun berdasar observasi saya terkait keperawatan.

Tentu analisis dari mas Nanang Diyanto, Kompasianer yang juga seorang perawat akan lebih membantu untuk melihat kompleksnya persoalan sumber daya keperawatan. Kita bisa membaca salah satu artikelnya di Hari Perawat Indonesia di tahun 2016 ini. 

Sejak lama, profesi perawat adalah sebuah profesi terhormat. Di zaman penjajahan Belanda, perawat disebut juga sebagai verpleger. Ia dibantu oleh zieken oppaser sebagai penjaga orang sakit. 

Perawat di Indonesia yang pertama bekerja di rumah sakit Binnen Hospital yang terletak di Jakarta pada tahun 1799 yang ditugaskan untuk memelihara kesehatan staf dan tentara belanda. Selanjutnya, terbentuklah dinas kesehatan Rumah Sakit Cipto Mangun \kusumo. 

Setelah kemerdekaan pada tahun 1952, sebuah sekolah perawat didirikan, yang kemudian dibuka juga pendidikan keperawatan yang setara dengan diploma pada 1962. Barulah pada 1985, pendidikan keperawatan setingkat sarjana didirikan (Sejarah Perkembangan Keperawatan, Wordpress.com)

Salah seorang tetangga saya di Magelang adalah seorang bidan dan anaknya adalah seorang perawat di suatu rumah sakit swasta di Yogyakarta. 

Mereka sekeluarga sangat dihormati di desa kami, karena sering menolong tetangga yang sakit. Selain dikenal sebagai penolong, keluarga dengan anggota keluarga ibu bidan dan perawat ini dianggap sebagai elit desa.

Pada saat saya terlibat riset kesehatan ibu di Papua dan Papua Barat di tahun 2007, seorang Ibu, sebut saja Mama Sopia yang berada di Arfak menyampaikan perasaannya ketika ia menceritakan bayi perempuan. 

Ia sangat menginginkan agar anaknya bila besar nanti akan menjadi seorang dokter, bidan atau perawat. Ia berharap agar anaknya dapat menolong sesama di kampung di Papua karena profesi itu sangat jarang, padahal mereka sangat dibutuhkan di Papua Barat.

Ilustrasi Tenaga Keperawatan ( Kompas TV.com)
Ilustrasi Tenaga Keperawatan ( Kompas TV.com)
Profesi perawat juga dihormati. Seorang kawan kerja saya pernah bercerita tentang pamannya yang bekerja sebagai perawat mantri yang menjalankan tugasnya dengan naik motor dari desa ke desa di di suatu kabupaten di Kalimantan Barat. 

Ketika pulang dari tugasnya, Pak Mantri sering membawa cerita tentang berbagai hal termasuk bagaimana ia dipercaya masyarakat yang ia layani untuk memberi advice berkait soal kesehatan, spiritual, termasuk memberi pertimbangan untuk mengganti nama seorang anak.

Pasalnya nama anak perempuan yang diceritakan adalah bernama Vagina, yang tentu saja akan jadi masalah di kemudian hari. Sang Ayah Ibu akhirnya mengganti nama anaknya. Pak Mantri bercerita baha anak perempuan tersebut tumbuh sehat dan gembira setelah namanya diganti.

Namun, situasi di suatu tempat bisa berbeda dengan di tempat lain, meski sama-sama terjadi di Indonesia.

Suster Lili (bukan nama sebenarnya), seorang perawat yang pada beberapa bulan terakhir ini sering datang untuk membantu merawat ibu saya yang sakit di usia lanjutnya sebagai perawat home care. 

Ia mengatakan bahwa pada awalnya orangtuanya tidak menyetujui ketika ia memutuskan untuk bekerja menjadi perawat. Ini karena adanya stereotipe bahwa perawat mirip pesuruh. 

Apalagi tugas seorang perawat pasien lansia. Tugasnya yang mengganti popok dan juga membersihkan kencing dan kotoran dianggap bukan pekerjaan terhormat. 

Juga, banyak pasien yang meminta perawat yang bekerja membantu keluarga untuk melakukan hal yang di luar tugas sebagai perawat, termasuk belanja, masak, dan juga pergi ke warung untuk membeli barang keperluan.

Suster Lili pun mengatakan bahwa ia sedang melamar untuk menjadi perawat PNS. Ia telah berusaha selama tujuh tahun terakhir untuk lolos ujian PNS. 

Saat ini orangtua dan keluarganya melihat profesinya dengan lebih positif karena ia telah menyelesaikan pendidikannya menjadi D4 dan ini memberi harapan untuk perbaikan statusnya.

Suster Lili membagi cerita tentang persoalan yang dihadapi perawat keluarga yang dikelola yayasannya. Isunya kurang lebih sama dengan apa yang dihadapi banyak pekerja rumah tangga. 

Para perawat dari berbagai wilayah tinggal atau menginap di rumah ketua yayasan, yang biasanya juga seorang perawat. Perawat dipekerjakan dengan bergilir sesuai dengan urutan yang direncanakan oleh Ketua Yayasan.

Yayasan memastikan semua perawat yang berada dalam kelola yayasan mendapatkan giliran bekerja. Kami pun sebagai pengguna tidak bisa memilih perawat tertentu. 

Yayasan biasanya cenderung mengarahkan pada penugasan perawat untuk 24 jam karena nilai jasanya mahal, yaitu sekitar Rp 600.000 sampai Rp 800.000- per hari. 

Namun, dari obrolan dengan para perawat, mereka hanya mendapatkan uang jasa separuhnya, yaitu Rp 300.000 per hari. Begitu juga untuk layanan 12 jam yang bertarif Rp 200.000, separuhnya adalah untuk menjadi hak yayasan. 

Para perawat inipun bekerja tanpa kontrak dengan kami. Kontrak demi-formal dilakukan oleh Yayasan dan pengguna.

Suster Yana (bukan nama sebenarnya) yang berasal dari suatu kota di Indonesia Timur yang pernah pula merawat ibu saya selama sehari mengisahkan hal yang cukup menakutkan. 

Sehari sebelum merawat ibu saya, ia menyebutkan baru saja melarikan dari penampungan calon pekerja yang ia sebut sebagai sebuah PT, sebuah perusahaan yang mengurus calon pekerja ke Malaysia. 

Selama seminggu ia bersama beberapa perawat disekap dan tidak diizinkan keluar dari penampungan. Ia baru bisa keluar penampungan setelah melarikan diri dengan berpura-pura sakit perut. 

Ketika ia bekerja membantu kami pun, ia berterus terang soal perlunya ia makan dan rasa lapar yang ada karena seminggu tidak cukup makan di penampungan. Memang, ia sangat kurus dan pucat untuk ukuran seorang perawat. 

Lalu, siapa perawat itu? 

Mengacu pada UU no 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, definisi dari keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok individu, kelompok, atau masyarakat dalam keadaan sakit maupun sehat. 

Selanjutnya, perawat dibagi menjadi perawat vokasi yang minimal lulusan D3 keperawatan dan perawat spesialis yang miimal lulusan S1 keperawatan.

Pendidikan keperawatan mengacu pada undang undang Keperawatan, sementara pelatihan bagi perawat sendiri ditetapkan oleh PPNI yang meliputi pelatihan vokasional, pendidikan akademis keperawatan, pendidikan professional, pendidikan pelatihan keperawatan spesialis.

Dalam hal tugas, terdapat pemisahan yang jelas antara peran dokter dan perawat. Perawat tidak bisa melakukan pengobatan dan layanan jasa yang merupakan tugas dokter. 

Namun demikian, dokter bisa mendelegasikan tugas kepada bidan dan perawat ataupun tenaga kesehatan lain, sesuai dengan keterampilan dan keahlian sesuai dengan aturan dan dilakukan dengan tertulis.

Meski perawat tidak memerlukan sertifikasi untuk praktik dari Kementerian Kesehatan, mereka perlu mendapat rekomendasi dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan perlu mengumpulkan Satuan Kredit Poin/SKP dari kegiatan mengikuti seminar, pelatihan, penelitian, dan pengabdian.

Sumber Daya Keperawatan, Apakah Memang Kurang? 

Banyak rumah sakit yang saat ini merawat pasien Covid-19 melaporkan adanya kekurangan tenaga medis, khususnya perawat (CNBC, 17 Maret 2020). Seruan kepada Presiden Jokowi agar memperhatikan kekurangan tenaga medis telah diangkat pula. 

Apa yang terjadi, padahal telah terjadi pertumbuhan jumlah perawat secara signifikan pada dua dekade terakhir dan rasio perawat dibandingkan dengan jumlah penduduk berfluktuasi membaik? 

Data jumlah tenaga kesehatan pada situasi tahun 2018 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 639.356 orang perawat, sementara total seluruh tenaga kesehatan adalah 1,530,696 orang. 

Artinya, tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak di Indonesia, yaitu mencapai sekitar 41,7 %.

Sumber : Kementerian Kesehatan 2019
Sumber : Kementerian Kesehatan 2019
Terkait data perawat yang merupakan anggota PPNI, Kementerian Kesehatan mengacu pada angka keseluruhan sebesar 354,2 ribu orang (71 % nya perempuan) yang menyebar di seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2018. 

Namun demikian, persebaran menunjukkan tidak rata dengan dominasi penyebaran di pulau Jawa. Tenaga keperawatan paling banyak terdapat di Jawa Timur, yakni sebanyak 52,4 ribu orang. 

Lalu, Jawa Tengah (45,6 ribu orang), DKI Jakarta (33,5 ribu orang), dan Jawa Barat (24,1 orang). Tenaga keperawatan di Sulawesi Barat dan Kalimantan Utara adalah yang paling sedikit, masing-masing sebanyak 1,8 ribu orang dan 1,7 ribu orang.

Tidak ditemukan angka yang konsisten terkait jumlah perawat yang bekerja di luar negeri. Angka itu berkisar antara 400 sampai 650 an orang pada 2017 (Maret 2017). 

Beberapa negara Eropa Timur, seperti Siberia, Bulgaria serta Jepang dan Korea Selatan dicatat oleh KADIN tertarik untuk merekrut tenaga perawat dari Indonesia (Rencongpost, 17/10, 2019). 

Ironisnya, dibandingkan dengan kondisi di negara Asia terpilih, rasio jumlah perawat dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia ternyata paling rendah, di bawah Singapore, Malaysia, Thailand, dan juga Srilangka.

Berdasarkan WHO, rasio perbandingan tenaga kesehatan per jumlah penduduk yang disarankan adalah pada 18:10.000 penduduk. Sementara, rasio tersebut masih berada pada level 10:10.000 di Indonesia. 

Rasio rendahnya jumlah perawat dibanding jumlah penduduk ini tidak sepenuhnya menggambarkan pasokan tenaga perawat di Indonesia, mengingat Indonesia mencetak cukup banyak lulusan pendidikan keperawatan setiap tahunnya. Apa yang salah?

Sumber : Kementerian Kesehatan, 2018
Sumber : Kementerian Kesehatan, 2018
Dalam kenyataannya, PPNI menyebutkan bahwa jumlah tenaga keperawatan tampaknya tidak dalam situasi kekurangan karena setiap tahun terdapat sekitar 100.000 perawat yang mengikuti uji kompetensi dan separuhnya lulus uji kompetensi tersebut.

Persoalan Utama Ketenagakerjaan Perawat di Indonesia.

Terdapat beberapa persoalan ketenagakerjaan perawat di Indonesia, antara lain :

  • Maldistribusi tenaga kerja perawat. Salah satu kontributor pada persoalan ini adalah masa transisi desentralisasi sektor kesehatan yang tidak berkesudahan.
    Kementerian Kesehatan selaku lembaga di pemerintah nasional adalah yang merekrut dan menetapkan standar perawat. Sementara itu, pendanaan penggajian tenaga perawat merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Ini memang implikasi dari diberlakukannya undang-undang otonomi daerah tahun 2000.
    Ada kemungkinan pemerintah pusat tidak mempercayai pemerintah daerah dalam hal perekrutan. Padahal pemerintah daerah dapat diasumsikan lebih memahami situasi wilayah masing-masing.
    Sementara itu, 'Deployment' dan pendistribusian juga pada umumnya tergantung pada 'formasi' nasional, yang bergantung pada jumlah alokasi staf berdasar ketersediaan pendanaan, tinimbang sejumlah kebutuhannya. (HSR, 2018). 
  • Sulitnya mendapatkan izin praktik mandiri. Ini disebabkan oleh kurangnya modal di antara perawat dan juga terbatasnya ketrampilan. Di samping itu, profesi perawat pada umumnya tidak berdiri sendiri, namun terintegrasi dengan layanan rumah sakit, klinik, puskesmas, dan fasilitas kesehatan lainnya.
  • Status tenaga keperawatan. Terdapat jumlah yang tinggi dari perawat yang statusnya terkatung-katung. Mereka adalah perawat yang masih memiliki status honorer dan juga tenaga sukarela.
    Sering kita baca adanya kelompok perawat yang mengadakan demonstrasi kepada pemerintah daerah terkait kejelasan status dan juga gaji mereka. PPNI menilai selama ini pemerintah masih berfokus pada dokter dan bidan untuk dapat menjadi PNS.
    PPNI menemukan jumlah yang besar dari perawat yang masih berstatus tenaga sukarela (TSK), yang artinya tanpa status dan tidak digaji. Sering juga tenaga keperawatan TSK disebut sebagai perawat honorer. Jumlah TKS ini relatif tinggi.
    Di RS di Kendari saja, misalnya terdapat hampir separuh perawat adalah TKS, (Merdeka.com, 16 Maret 2019). Untuk perawat yang masih berstatus honorer, kontrak atau status yang lainnya, Biro Kepegawaian Kementerian Kesehatan menetapkan bahwa mereka diarahkan untuk mengikuti tes CPNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) di masing-masing daerah. (Wartaperawat.com, Mei 2019).
    Sekiranya pemerintah daerah dapat merekrut dan kepala desa perlu menyediakan anggaran untuk membayar gaji tenaga keperawatan dengan menggunakan Dana Desa, maka isu ini bisa dikurangi.
  • Perawat Menganggur. Dalam tahun tahun terakhir ini, jumlah tenaga keperawatan yang menganggur tinggi. Di tahun 2017 saja, hanya 15.000 dari 40.000-an lulusan yang terserap. Artinya, terdapat sekitar 25.000 orang perawat yang menganggur.
  • Penggajian. Terdapat beberapa harapan dari PPNI terkait penggajian. Memang ideal perawat adalah sebesar tiga kali UMP, namun untuk mendapatkan minimal di atas UMP saja PPNI menemukan kesulitan.
    Pemerintah juga diharapkan kembali mengangkat perawat menjadi PNS. Tidak heran bila ditemukan perawat bekerja ganda, baik di fasilitas kesehatan milik pemerintah maupun di fasilitas kesehatan milik swasta. Ini dilakukan perawat untuk mencukupi kebutuhan sehari harinya.
  • Fasilitas dan Peralatan Kerja. Fasilitas kerja perawat, termasuk Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker masih merupakan persoalan.
    Di wilayah yang terpencil yang aksesnya sulit, perawat sering bekerja dalam keterbatasan. Meski staf kesehatan dan perawat paham tentang risiko penyakit menular, termasuk HIV/AIDS, dan risiko infeksi melalui alat kesehatan, namun praktik yang dilakukan para perawat di lapang masih buruk.
    Di suatu puskesmas di wilayah Arfak di Papua Barat yang kami lakukan penelitian di tahun 2007, meski alat bedah dan instrumen dicuci dengan alkohol, tetapi perawat yang baru saja melakukan operasi kecil tidak mencuci tangannya sesuai prosedur, melainkan hanya mengusap tangannya dengan kasa yang dicelup alkohol. Tentu ini merupakan hal yang kurang tepat.
    Kondisi puskesmas di Indonesia sangat beragam. Data menunjukkan terdapat 380 puskesmas (sekitar 4,2%) di wilayah terpencil seperti Papua, Papua Barat. Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara dan NTT, banyak puskesmas tanpa listrik dan air. (Health System Review, 2018). Puskesmas ini juga tidak dilengkapi perumahan staf kesehatan (bidan dan perawat) yang memadai.
    Diperkirakan terdapat sekitar 1.200 perumahan staf kesehatan di Indonesia yang alami kerusakan. Ini membuat kesejahteraan petugas kesehatan, termasuk perawat juga kurang memadai.
    Merebaknya virus corona membuktian sekali lagi bahwa APD kurang. Memang kekurangan APD disebabkan pula oleh kepanikan warga yang hendak melindungi diri. Namun, ketersediaan untuk jangka menengah dan panjang bagi fasilitas kesehatan rupanya memang masih terbatas. 
  • Pengetahuan serta Praktek Kerja. Dalam konteks Indonesia yang mengalami berbagai jenis bencana, baik bencana alam maupun bencana lain, termasuk wabah virus corona, perawat perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan dalam merespon bencana dan kedaruratan. Artinya, pemerintah pun perlu menerbitkan standar dan prosedur untuk perawat merespons bencana dan kedaruratan dengan baik. 

Apa Prioritas yang Pemerintah Perlu Perhatikan oleh Pemerintah

  • Pemerintah pusat perlu mendelegasikan perencanaan dan kebutuhan tenaga keperawatan kepada pemerintah daerah. Tugas Kementerian Kesehatan perlu lebih difokuskan pada penetapan standar.
  • Secara umum, pemerintah perlu belajar dari kesuksesan program Bidan Desa di masa Soeharto, Kementerian Kesehatan perlu bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk mengupayakan agar tiap desa menyediakan anggaran Dana Desa untuk dapat menggaji staf keperawatannya. Begitu banyak perawat honorer dan Tenaga Sukarela yang sedang membutuhkan pekerjaan. Pemerintah perlu memprioritaskan upaya kecukupan tenaga keperawatan pada kondisi darurat, termasuk kondisi bencana maupun wabah penyakit seperti Covid-19;
  • Pemerintah memudahkan perawat membuka izin praktik mandiri di tingkat desa agar dapat mendukung kerja puskesmas yang di beberapa wilayah telah kewalahan untuk melayani pasien;
  • Harmonisasi dan sinergitas undang-undang keperawatan, undang-undang kesehatan, dan undang undang pemerintah daerah, serta membuka kemungkinan agar pemerintah daerah dapat merencanakan dan mendanai tenaga perawatnya;
  • Membuat kajian beban kerja dan pengupahan profesi keperawatan dan mengupayakan pengupahan untuk kelompok professional kesehatan;
  • Pemerintah perlu serius memenuhi kebutuhan kelengkapan fasilitas dan perlengkapan kerja tenaga medis, termasuk perawat.

Pustaka : Satu , Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun