Entahlah, aku tak paham kau berdarah apa dan berasal dari mana, karena kau hanya datang di malam hari dan pergi sebelum terbit pagi
Meski tanganku coba menyentuh tubuhmu, dan hitam mataku nyaris hanya sekuku  berjarak dari wajahmu, kau memilih khusuk bersyariat dengan seluruh lilin malam yang pura pura tahu
Aku Kkum, katamu sember bernada alto, mencoba keras meniru alunan musik teknoÂ
Dan suaramu tiba tiba memekik seperti belut teraliri pijar listrik, mengaku sebagai makhluk nyata yang lebih berakal daripada apa yang orang duga, membuat seluruh isi kamar berkejab penuh kilatan hijauÂ
Ini adalah perbuatan si Kapten Pandir, katamu panik, dan kau cepat meraih benang dan jarum menambal jubah takdirÂ
Dan angin pancaroba merisik dan bersumpah ialah sang bencana yang bertanggung jawab pada badai panas bergelombang
Aku terpana, hanya bisa memandang tak berdaya tubuhmu yang melesat lepas dari gravitasi ke arah jajaran Bima Sakti yang bermigrasi
Siapakah sebenarnya kamu?
Kehancuranmu tentu bukan bagian dari rencanamu, meski punahmu kini adalah atas kehendakmu
Melumer, daging dan darahmu menyatu bersama gerimis di titik matahariÂ
Dan ketika kau makin memudar, seketika ku sadar kau adalah Kkum, hanya sebuah mimpi berwarna terang yang telah memutuskan pulang bersama piring terbang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H