Sepinya, atau tepatnya terpecahnya, pandangan masyarakat sipil atas apa yang terjadi pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia atas nama banyak hal, termasuk di antaranya NKRI dan radikalisme, cukup membingungkan.Â
Bahkan, kita masih membaca lontaran lontaran sinisme beberapa pihak di kalangan masyarakat sipil yang mengamini begitu saja upaya penggembosan KPK.Â
Sedikit sekali dari mereka yang pula melihat betapa lemahnya reformasi di jajaran penegak hukum, di POLRI dan Kejaksaan serta Kehakiman/MA, Â yang seharusnya menjadi agenda yang mendesak dari Jokowi.Â
Terdapat pernyataan yang menunjukkan bahwa hakim jujur adalah bukan sesuatu yang normal. Perlu panggilan personal untuk melakukannya. Mereka kesepian.Â
[Many suggestions on judicial reform assume] a setting in which doing the right thing is a natural thing to do, and doing a bad thing is worthy of contempt. Yet the day-to-day realities of Indonesian judges are not so normal; they are more akin to wartime occupation, in which doing the right thing is not natural at all, but demands tremendous courage, is a very personal and lonely decision to make, which will not command natural respect or understanding in the professional circle, which can change one’s life and that of the family and children for good", ahli reformasi hukum yang anonimus, di Financial Time.com)Â
Dengan semua hal yang telah terjadi, mampukah Indonesia mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai negara yang serius memberantas korupsi? Saya kuatir sulit.Â
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, EnamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H