Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Merah

8 November 2019   22:54 Diperbarui: 10 November 2019   08:39 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku merah (Foto Jambi. Independent. co.id)

Sabtu sore itu, Adimas sangat bergairah untuk berdandan. Pasalnya, ia sudah ada janji bertemu perempuan tercintanya, Kendis.

Bukan apa apa. Sulit bertemu Kendis. Kendis perempuan super sibuk. Kendis yang bekerja sebagai aktivis pecinta orang utan hampir sulit ia temui di hari hari kerja. Ada saja alasannya. 

Bulan September ia sibuk dengan petisi untuk menolak Undang Undang Perdagangan Orang Utan. Sebulan penuh di bulan Oktober ia sibuk berdemonstrasi. 

Adimas sempat gelisah. Ia menyaksikan di televisi tentang Kendis dan mahasiswa yang berdemo menolak sikap parlemen yang sahkan undang undang Pemberian Izin Penjualan Orangutan. Adimas saksikan betapa aktivis dan mahasiswa diguyur air dengan 'water cannon'. Juga, pendemo berhadapan dengan ribuan polisi. Mengerikan. 

Lalu, di November ini Kendis sibuk memfasilitasi rencana strategis LSM nya. 

Adimas memakluminya. Kendis adalah perempuan mandiri yang mencintai pekerjaannya. 

Bagi Adimas, mencintai Kendis adalah memahami maunya. Memahami kerjanya. Memahami  mimpinya. 

Belakangan, Kendis memang lebih sulit diajak bicara. 

Pesan Adimas melalui WA jarang dibalas Kendis. Kendis selalu bercerita bahwa ia sedang sibuk dengan pekerjaan besar. Itu saja. 

Adimas tahu, kalau Kendis sedang sibuk, Adimas tak akan mungkin menyela waktunya. 

Maka, ketika tadi Kendis mengirim WA dan mengajaknya bertemu jam 7 malam di warung kopi 'Gayoku', Adimas cepat membalas. 

Apalagi besok adalah hari ulang tahun Adimas. Adimas juga ingin menraktir Kendis.

Adimas sudah duduk hampir sejam dengan secangkir kopi Gayo yang sudah tandas, ketika Kendis masuk. Tadi ia sengaja memilih meja di dekat jendela sehingga bisa segera melihat Kendis datang. Kendis terlambat lagi. Bagi Adimas, keterlambatan 45 menit adalah kelewat batas. Tapi, kepada Kendis, Adimas tidak mampu berkutik.

Rambut Kendis yang hitam lurus sebahu tampak hanya disisir seadanya. Namun, bibir Kendis yang tersenyum dan wajah bahagianya sudah cukup membuat Adimas berbunga.

Mereka berdua saling mencium pipi dan duduk di kursi yang berdekatan dengan meja bulat. Adimas memanggil pramu saji untuk meminta menu untuk Kendis.

Setelah Kendis memesan jus jambu, Kendis membuka percakapan "Aku punya sesuatu untuk kamu.  "Aku sudah siapkan sejak lama", kata Kendis sambil matanya melihat ke luar jendela kafe. "Wah, apa itu?", Adimas cepat menyahut dengan semangat. "Sebentar, belum ada bersamaku. Sebentar lagi akan diantar seseorang", sahut Kendis.

"Seseorang?", Adimas penasaran. 'Iya, Seseorang', kata Kendis. Kendispun menelpon seseorang. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Seseorang, tetapi ia tak berhasil.

"Ada apa?", tanya Adimas. Ia mulai resah. "Ga papa. Sebentar ya", jawab Kendis, kembali memegang telpon genggamnya. Ahirnya Kendis terhubung dengan Seseorang di balik telpon. "Jadi, Buku Merahnya di mana? Bisa dikirim? Tolong jangan sampai rusak ya. Saya 'share location'. Sebentar saja Kendis berbicara, namun itu sudah cukup membuat Adimas tidak bisa menahan diri untuk bertanya penuh curiga. "Siapa sih? Kok kamu berahasia?", tanya Adimas. Padahal selama ini ia selalu menjaga untuk tidak mencurigai Kendis.

"Sesuatu yang penting harus disampaikan dengan cara yang benar", jawab Kendis datar, sedikit kaku.

"Apaan sih? Buku Merah apa?", Adimas makin curiga. Adimas sibuk menduga. Jangan jangan, Kendis.......

 Adimas tak berani melanjutkan pikirannya. 

Beberapa hari ini ia membaca di media sosial dan koran nasional soal hilangnya Buku Merah polisi tentang rekaman suatu kasus pencurian orang utan oleh jaringan internasional yang membawa korban cedera seorang polisi ternama.  Karena kasus itu melibatkan pula orang di parlemen dan pejabat tinggi, kasus ini dihalangi untuk diperkarakan di pengadilan. 

Buku Merah itu sedang dicari keberadaannya. Terdapat dugaan, sindikasi perdagangan orang utan ini juga melibatkan perdagangan narkoba. Yang Adimas kuatir adalah soal berita bahwa terdapat seorang aktivis yang terlibat dalam pencurian Buku Merah. Sementara Kendis adalah aktivis perlindungan orang utan. Aduh...

Telpon genggam Kendis berbunyi. Kendis mengangkat telponnya dan berkata pendek "ok. Sebentar saya keluar".

Kendis berdiri, "Sebentar ya". Tanpa meminta persetujuan Adimas, Kendis keluar kafe. 

Adimas gelisah campur kuatir. Ia mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Jangan sampai Kendis terlihat dengan masalah pelanggaran hukum.

Tak lama Kendis kembali ke meja mereka. Ia duduk sambil membawa map plastik putih transparan. Di dalamnya tampak sebuah buku berwarna merah.

Adimas bertanya "Apa sih itu? Kok kamu ga mau jawab pertanyaanku, Kendis?. Aku tak mau kamu terlibat masalah. Kalau aku selama ini diam, itu karena aku memang percaya kepadamu", Adimas nyerocos tanpa berhenti.

"Apaan sih, Adimas?", Kendis menjawab dengan sedikit sebal. "Duh....aku tadinya mau minta kamu buka ini nanti malam jam 24.00. Ya sudah, buka nih", Kendis menyerahkan map plastik transparan itu dengan sedikit kesal.

Adimas ragu menerima map plastik itu. Kendis mendorong tangan Adimas "Ayo, katanya mau tahu. Aku serahkan kepadamu. Tapi kita pindah duduk di pojok yuk. Di sini terlalu ramai", kata Kendis. Kendis mengangkat gelas jusnya dan mengajak Adimas berpindah ke meja di sudut yang sepi.

Setelah keduanya duduk, Kendis melihat sekeliling dan dengan cepat memberikan map itu sambil mencium mesra pipi Adimas  "Happy early birthday. Panjang umur. Terima kasih untuk cintamu. Maafkan aku selalu sibuk", panjang Kendis mengucap.

Adimas masih bengong, tangannya membawa map plastik itu. Kendis menepuk tangan Adimas "Ayo buka ah. Sudah tanggung. Mestinya aku mau kau buka nanti malam jam 00.00. Tapi kamu ribut terus sih". Menyadari bengongnya, " Thank you.. ya", Adimas segera mengucap terima kasih tergagap.

"Buka ya. Semoga ini menjawab misteri itu", Kendis terbahak dan meminta Adimas membuka map plastik itu.

Adimas pelan membuka map plastik itu. Ia keluarkan Buku Merah itu dengan gemetar. Ia menoleh ke sekelilingnya. Ia buka pelan. Hanya ada 2 halaman kertas dari bahan concorde tebal berwarna putih di dalam Buku Merah itu. Ada ucapan "Selamat Ulang Tahun" di halaman depan. Ketika ia buka halaman kedua, ia baca selarik puisi.

"Oh, puisi. Kupikir apaaaa", kata Adimas. 

Kendis melotot kesal "Lho, itu hadiah ulang tahun untuk kamu. Kamu kok ga menghargai sih?", tanya Kendis. 

Adimas tertawa terbahak "Bukan...aku suka kok. Sebentar aku baca. Aku pikir kamu terlibat kasus Buku Merah. Kan dua minggu ini ada di media sosial. Sementara kamu tidak pernah bercerita apa yang kamu lakukan", kata Adimas masih terbahak. Adimas segera mendekatkan dirinya dan mencium pipi Kendis "Aku suka. Aku suka. Thank you, again. Aku baca ya".

Buku Merah Laki laki Teknologi

Dibenaknya, seluruh isi jagat digenggamnya
Kepada setiap kata dikabarkannya
Tentang pikiran dan detail misteri

Benak itu melirik jemari yang kusut
Dan ruas-ruas tak simetris
Terlalu lama ia disiksa kepandiran
Lelaki itu punya hati untukku
Dan semua orang
Tapi dia telah lama ditinggalkan deret waktu
Yang tak pernah mau menunggu kebodohan.
Dan
Lelaki itu hampir dibenamkan anak jaman.

Adimas selesai membacanya, dan ia bertanya "Puisi itu bagus banget, tapi kok nadanya putus asa sih?". "Juga, ini puisi tentang siapa? Kok tak ada hubungannya dengan aku?"

"Ahhhh..., kamu itu kan laki laki teknologi itu. Paling ribut soal online online, tapi kamu gaptek super. Kamu itu laki laki di puisi itu. Yaa...aku kan sedang belajar bikin puisi. Susah. Gitulah. Tak usah kamu tebak maknanya. Happy birthday ya", kata Kendis.

Adimas tergelak "Iya. Iya..terima kasih. Kamu berikan kado puisi yang mungkin bukan tentang aku. Tapi maknanya dalem. Okelah. Semoga kamu makin rajin bikin puisi untuk aku. Eh tapi kenapa kamu sebut Buku Merah?", tanya Adimas.

"Ya supaya indah saja. Tadi aku minta tolong Seseorang di toko foto copy buat bikin cover buku merah itu. Supaya indah. Masa aku kasih kamu selembar kertas isi puisi. Lalu aku pesan Gosend buat antar bukunya", Kendis tergelak. 

Malam makin hangat dan Buku Merah tergeletak di meja. Jadi saksi Adimas dan Kendis yang tenggelam dalam kenikmatan yang tak mau mereka tunda. Saling bercanda dan mem 'bully' soal kepandiran mereka berdua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun