Obrolan dan Negosiasi Kalimantan di Warung Warung Kopi JakartaÂ
Saya sering melanjutkan kerja di warung kopi sepulang kerja di sore hari. Ini memang jadi kebutuhan. Selain pekerjaan belum selesai, saya juga memerlukan kopi yang "kuat". Sementara, warung kopi juga menawarkan ruang kerja yang ramah dan terjangkau. Colokan listrik dan koneksi internet gratis, paling tidak sampai pukul 21.00 atau 22.00. Saya juga bisa memilih ruang yang bebas rokok.
Karena lokasi kantor adalah di wilayah Jakarta Pusat, saya mencatat hal yang menarik ketika melanjutkan bekerja di warung kopi di wilayah Jakarta Pusat.
Biasanya konfirmasi muncul dalam nuansa bangga, "Di sini banyak anggota DPR, Bu". Mana pula yang berisi banyak pejabat pemerintah.
Sejujurnya, saya ngeri (juga muak). Walaupun saya tidak menguping, banyak pembicaraan di meja meja tetangga sebelah dilakukan dengan suara keras. Menyebut soal lahan, hutan, tanah, tambang Kalimantan. Ini bukan karena saya icam alis ikut campur, namun sering kali diskusi meja sebelah cukup menyolok.
Satu lagi, meja di warung warung itu biasanya diisi para lelaki.
Ini kemudian mengembalikan pada kenangan dan ingatan akan Kalimantan di masa masa yang lalu.
Pada saat yang sama, saya mencatat beberapa hal yang pernah saya tulis di beberapa artikel tentang pemindahan ibu kota baru, antara lain di sini.
Tidur di Bawah Bintang Teluk Sumbang
Perkenalan saya pada Kalimantan terjadi sebelum masa masa reformasi di akhir tahun 1980-an. Saat itu tidak banyak yang saya pahami tentang Kalimantan, kecuali ibu kota provinsinya.
Di akhir tahun 1990-an, Kalimantan adalah isu perempuan, lahan, air, dan lingkungan. Sulitnya akses masyarakat pada air bersih sempat menjadi bagian dari apa yang saya geluti.
Saya ingat itu saya lakukan di awal tahun 2000-an, ketika hanya ada satu hotel di suatu ruko di Landak dan perjalanan dari Pontianak terasa jauh dan lama. Lalu isu banjir dan hutan gundul mulai mengemuka di awal tahun 2000-an. Dan, itu terus berlanjut sampai dengan tahun 2010-an berikut isu Karhutla.
Sejak tahun 2016, mau tidak mau saya harus melakukan cukup banyak perjalanan ke pedalaman Kalimantan, untuk memahami hutan, air, dan aspek sosial ekonomi masyarakatnya. Ada kenangan indah menikmati terangnya bintang di malam pedesaan tanpa listrik di Teluk Sumbang. Ini adalah suatu keindahan yang sekaligus suatu ironi.