Isu Pembangunan Berkelanjutan yang Harus Dikenali Anggota DPRÂ
Masih banyak isu yang harus dipahami dan diperjuangkan anggota DPR. Literasi pada persoalan pembangunan harus dibangun. Karena Indonesia menandatangani konvensi PBB untuk pembangunan berkelanjutan (SDGs), paling tidak isu yang ada dalam SDGs juga peAdarlu dipahami dan digeluti. Nah, Krisdayanti dan Mulan Jamilah perlu tahu juga paham yang seperti ini. Seperti kata pengemudi taksi online, isu budaya bertautan dengan isu perubahan iklim dan pembakaran hutan. Di bawah ini adalah SDGs yang kita acu.Â
- Kemiskinan yang masih tinggi, ketidakadilan dan disksiminasi seperti tercermin pada tujuan SDG nomor 1, SDG nomor 5, dan SDG nomor 10;
- Tantangan memastikan akses pada kecukupan makan, gizi, air bersih dan sanitasi untuk semua warga Indonesia (SDG 2, SDG 5 and SDG 6).
- Tantangan ketidaksetaraan gender dan adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak anak (SDG5)
- Tantangan untuk memastikan kecukupan kualitas hidup manusia melalui pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosal untuk mendorong pencapaian transformasi ekonomi (SDG 3, SDG 4, SDG 5, SDG 8 and SDG 9).
- Tantangan dari sumber daya alam berkelanjutan dan keragaman hayati (SDG 5, SDG 11, SDG 12, SDG 13, SDG 14 and SDG 15).
- Tantangan perubahan alam dan bencana (SDG 5, SDG 7, SDG 9, SDG 11 and SDG 16).
- Tantangan adanya peningkatan intoleransi, kenservatisme dan juga ancaman pada radikalisme (SDG 4, SDG 5, SDG 10 and SDG 16).
- Tantangan untuk melibatan secara inklusif warga Indonesia untuk mendorong tatakelola yang efektif dan akuntabel serta upaya pemberantasan korupsi baik di tingkat nasional maupun di sub-nasional (SDG 5 and SDG 16).
Selain mengacu pada SDGs, tantangan di atas juga mengacu pada konstitusi kita, UUD 1945.
Secara lintas sektoral, terdapat isu ketidaksetaraan gender yang menjadi isu kritis yang ada pada setiap tantangan. Ini menuntut negara, baik untuk mampu memahami dan menerjemahkan pada komitmen untuk mewujudkankan hak dasar warga Indonesia, khususnya mereka yang rentan dan termarjinalkan.
Kemampuan memahami deviden atau bonus demografi, yang melibatkan persoalan tingginya pengangguran, khususnya pengangguran kelompok muda juga perlu ada dalam perspektif anggota DPR kita.
Kegagalan para pihak untuk memahami persoalan ketidaksetaraan gender serta kontribusi perempuan dalam ekonomi, sosial dan politik akan merugikan negara kita. Penduduk kita itu terdiri dari perempuan dan laki laki. Bila ini tidak dipikirkan, ibaratnya seperti mobil dengan setengah mesin. Ini tentu memerlukan kemampuan untuk memahami kemampuan anggota DPR untuk merespons hak dasar manusia.Â
Ditundanya berkali kali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebetulnya mewakili persoalan besar atas tidak dilakukannya upaya mendorong kesetaraan antar warga negara. Bolak balik, hanya pasal 'perkosaan dalam perkawinan' yang didengungkan parlemen, padahal pesoalan yang lebih luas, termasuk perkosaan pada berbagai tataran perlu diperhatikan.
Persoalan korupsi sudah luar biasa di depan mata bangsa ini. Pergulatan untuk mempertahankan KPK yang efektif terus mendapat rongrongan. Tidak adanya kemauan dan komitmen politik memperkuat dan membersihkan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman serta Mahkamah Agung menjadikan seakan KPK adalah lembaga super power yang harus digembosi.
Ketidakmampuan kepemimpinan di berbagai lembaga, legislatife, eksekutif dan yudikatif dalam mengartikulasikan kebijakan yang memastikan perwujudan pertumbuhan yang inklusif dan menaklukkan risiko risiko dapat menghambat transformasi ekonomi. Ini merugikan kemampuan bangsa ini untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Persoalan demokrasi juga merupakan PR besar. Pengalaman demokrasi yang turun naik pada periode sebelumnya seharusnya menjadi pembelajaran.