Kinerja DPR yang Rendah
Perhatian publik kepada kinerja DPRRI dan anggotanya makin meningkat, khususnya terkait kinerja dalam menjalankan peran legislasi. Baik jumlah RUU yang didiskusikan dan disetujui, kualitas substansinyapun menuai kritik pedas. Lihat saja substansi revisi Undang undang penting yang baru baru ini dipaksakan disetujui pada Paripurna, antar lain revisi UU KPK, RKUHP, UU MD3 dan UU Permasyarakatan.
Pada tahun 2016, dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 rancangan RUU, DPR RI hanya menyelesaikan 14 RUU (di luar RUU kumulatif terbuka).
Terdapat banyak pasal "picisan" dan "receh", misalnya terkait pasal gelandangan, pasal pemberian alkohol kepada orang mabuk, dan pasal tentang peliharaan yang masuk pekarangan.
Secara khusus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memaparkan beberapa kinerja DPR di bidang legislasi, antara lain:Â
- Pada masa sidang V 2018 hanya tiga RUU Prolegnas Prioritas dan dua RUU Kumulatif Terbuka yang berhasil disahkan DPR, yaitu RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Kekarantinaan Kesehatan, dan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
- RUU Kumulatif Terbuka yang disahkan a) Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan; b) RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2017.
Secara rata-rata, pencapaian tertinggi DPR hanya 10 RUU dalam setahun. Kinerja legislasi DPR juga diperburuk dengan tradisi DPR memperpanjang proses pembahasan RUU yang melebihi tenggat waktu 3 kali masa sidang. Sejumlah RUU yang pembahasannya melebihi 3 kali masa sidang seperti, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Jabatan Hakim, dan RUU Mahkamah Konstitusi.
Juga, disebut bahwa kinerja legislasi DPR buruk secara kuantitas dan kualitas. Juga terdapat dua RUU hasil kerja DPR 2014-2019 bolak-balik dimohonkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, yaitu RUU MD3 dan RUU Pemilu.Â
Baik ICW, MTI, dan CSIS serta mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut DPR periode sekarang adalah terburuk sejak reformasi 1999.
Belum lagi terdapat adu jotos di ruang sidang, niat membubarkan KPK dan pembangunan partemen dan gedung DPR, disampign adanya kenaikan tunjangan DPR. Tentu saja, DPR menjadi musuh publik .Â
Sayangnya, rakyat tak berdaya dan hanya bisa berteriak di media sosial. Secara khusus, kasus revisi UU KPK yang baru saja terjadi bukan hanya memperburuk kinerja DPR, tetapi juga mempertontonkan konspirasi antara DPR dengan pemerintah dalam menggembosi sistem pertahanan negara dalam pemberantasan korupsi. Demokrasipun nyaris tumbang.Â