Mengingat relasi kuasa DPR yang tidak setara dengan pemerintah, saya kuatir DPR lebih punya kekuatan untuk menentukan substansi revisi. Ini tentu mengkhawatirkan.Â
Melihat penolakan begitu banyak kalangan pada revisi Undang undang KPK, seyogyanya pemerintah transparans pada apa yang diperjuangkan dan dinegosiasikan. Masyarakat adalah pembayar pajak yang berhak tahu atas masa depan uang rakyat yang dititipkan kepada pemerintah.
Beberapa media, termasuk Kompas.com melihat ini sebagai preseden buruk karena Presiden Jokowi telah berjanji memperkuat posisi KPK pada kampanye Pemilu 2014 dan 2019.
Sementara itu, elit politisi berbicara tanpa konsep yang jelas tentang urgensi revisi undang undang. Alasan bahwa undang undang sudah "tua" karena berumur 17 tahun terlalu lemah. Juga, salah satu pimpinan DPR katakan bahwa KPK terlalu kuat dan perlu dilemahkan agar lembaga penegak hukum punya peran. Padahal, undang undang yang ada saat inilah yang melindungi KPK untuk berkinerja baik. Ini diakui Transparecy International. Bahkan mekanisme kerja KPK hendak ditiru negara lain.Â
Begitu banyak Undang undang yang yang jauh "lebih tua", seperti KUHP dan Undang undang Perkawinan dan tetap berjalan tanpa revisi, padahal begitu banyak studi yang menunjukkan ketidakadilan keduanya.Â
Persoalan KPK tak hanya soal revisi undang undangnya. Isu soal capim KPK pilihan pansel punya masalah dan sudah dilakukan "fit and proper test". Potensi adanya reaksi penolakan masyarakat pada hasil hasil pemilihan capim KPK cukup tinggi. Â
Komisioner dan staf KPK pada dasarnya menolak adanya calon dari aparat penegak hukum karena potensi konflik kepentingan yang terjadi. Apalagi, bila calon tersebut memiliki catatan kasus seperti calon dari Kepolisian, Firli Bahuri.
Hari ini, kedukaan kita lengkap sudah. Hari inipun, saya menjadi teramat emosional.Â
Apalagi, Habibie yang melahirkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Undang undang ini adalah landasan hukum yang mengawali  upaya mewujudkan 'good governance' untuk terjadi di dalam pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang dilakukan melalui pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau lembaga Ombudsman. Memang, pada akhirnya, KPKPN resmi dibubarkan pada 2004 dan melebur ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adalah Megawati yang menggunakan acuan undang undang Nomor 28 tahun 1999 untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2002 melalui Undang undang RzI no 30 tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ini dilakukan karena melihat institusi kejaksaan dan kepolisian saat itu terlalu kotor, sehingga dianggap tidak mampu untuk menangkap koruptor.
Saya ingat kembali ucapan Habibie yang tidak menyesali peristiwa penolakan MPRRI pada pidato pertanggungjawabannya pada tahun 1999. Namun, beliau heran pada sepak terjang para politisi.Â