Korupsi Kecil Dianggap Biasa, Korupsi Besar Makin CanggihÂ
Minggu yang lalu, dalam perjalanan menuju bandara untuk menemui seorang sahabat, Wiwik Harwiki, yang hendak melakukan research fellowship di Barcelona, tiba tiba mobil taksi online saya diberhentikan polisi.Â
Saya menduga, pengemudi melanggar aturan lalu lintas karena berpindah jalur dengan mendadak. Pengemudi memang sudah saya amati sering lakukan pelanggaran sejak mobil belum memasuki toll bandara.
Saya mengamati percakapan antara pengemudi dengan polisi. Saya menunggu apa yang terjadi, khususnya terkait kesepakatan tilang ke pengadilan.
Dan terjadilah. Uang Rp 50.000 berpindah ke tangan polisi untuk 'damai'. Saya menegur pengemudi dan mengatakan akan melaporkan ke perusahaan taksi 'online' itu. Jawaban pengemudi cukup membuat kesal "Biar saja". Tentu, saya 'rated' buruk pengemudi itu.Â
Hal serupa terjadi di Bundaran HI sekitar sebulan yang lalu. Gantian pengemudi taksi 'online' dari mobil yang saya tumpangi yang menunggu apa yang terjadi dengan mobil di depan kami yang sedang diberhentikan seorang polisi.Â
"Lima Puluh Ribu tuh, Bu", kata sang pengemudi. Saya bertanya "Wah, ini kan Bundaran HI, masa polisi berani juga?". Si pengemudi menjawab "Makanya Jokowi punya banyak musuh dalam selimut, bu. Yang begini ini kan diberantas. Tapi buktinya susah".
Rasanya patah hati saya. Â Nyesek di dada.
Apa yang saya baca soal reformasi di tubuh polisi ternyata masih jauh dari harapan. Padahal sejak lama, bahkan setelah reformasi di tahun 1998, upaya untuk mendorong reformasi dan demokratisasi di tubuh lembaga tersebut sudah dimulai. Duh, kok ya sulit betul ya.
Ini soal korupsi kecil 'petty corruption'. Belum lagi soal korupsi yang kakap, yang terus terjadi dan sedang gencar diincar KPK.
Kekecewaan Masyarakat pada Pansel Capim KPK