Data yang bersumber dari Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (April 2017), diolah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ditampilkan oleh studi "Salt Import Regulation In Indonesia: Solution And Promises (Government Regulation Number. 9 of 2018) oleh Malse Yulivestra, S.Sos, M.AP, (2) Elisa Hendrik Kurube, S.Sos, M.AP menunjukkan bahwa realiasasi produksi garam pada 2016 tidak sesuai target.
Ini disebabkan oleh faktor anomali cuaca sehingga menyebabkan kemarau yang basah. Di tahun 2016, misalnya, curah hujan rerata lebih besar dari 150 milimeter per bulan dan bahkan di tempat lain ada yang mencapai 300 milimeter per bulan.
Saat ini terdapat 10 sentra produksi garam di Indonesia. Ini meliputi Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Bima, Pangkep dan Jeneponto. Selain itu, terdapat wilayah penyangga garam, yaitu di Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie, Karawang, Brebes. Demak, Jepara, Tuban, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, bangkalan, Buleleng, Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Kupang, Pohuwato, dan Takalar.
Untuk menopang, Pemerintah juga membangun pergudangan garam berstandard SNI di Brebes, Demak, Rembang (Jawa Tengah), Sampang, Tuba (Jawa Timur), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Tapi ini tak cukup memadai.Â
Adapun, 6 unit gudang garam yang sudah dibangun berlokasi di Cirebon, Indramayu (Jawa Barat), Pati (Jateng), Pamekasan (Jatim), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan).
Kebijakan Impor Garam
Karena produksi tahun 2016 yang rendah dan tidak sesuai target itulah, pemerintah melahirkan Peraturan Pemerintah no 9/2018 yang mengatur impor garam. Persoalan rendahnya produksi dan kualitas garam Indonesiapun makin mengemuka. Kritik terus dilayangkan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa Pemerintah adalah aktor penting (terpenting) untuk membuat solusi yang dialami industri garam. Kejelasan peraturan pemerintah dinilai penting agar aturan yang ada tidak tumpah tindih. Pemerintah juga diharapkan untuk mensinergikan program programnya. Â