Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Baju Adat Sasak Pak Jokowi dan 90 Ribu Penyintas Gempa NTB Belum Punya Rumah

16 Agustus 2019   20:44 Diperbarui: 19 Agustus 2019   15:21 5569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dengan baju adat suku Sasak NTB menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019).(ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN) | Kompas.com

Indonesia Bukan Hanya Jawa
Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPD dan DPRRI yang diadakan dua kali pada juma't 16 Agustus 2019 lalu adalah peristiwa penting. 

Dalam Sidang Bersama DPD dan DPRRI, Presiden Jokowi mengenakan baju daerah berwarna emas dengan tutup kepala adat berwarna hitam.

Di tengah pidatonya, pak Jokowi pun mengecek pengetahuan hadirin terkait asal dari baju yang ia kenakan. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa baju tersebut adalah baju tradisional Sasak dari Lombok.

Dalam pidatonya yang tanpa teks, beliau menghimbau agar semua pihak, baik Pemerintah eksekutif, legislatif dan judikatif bekerjasama untuk mewujudkan pembangunan yang adil. Ia juga mengingatkan apa yang disebut oleh pendiri negeri bahwa Indonesia bukan hanya Jawa.

Indonesia adalah Nusantara, dan itu termasuk Papua, Kalimantan, Maluku, dan juga Lombok sebagai bagian dari Nusa Tenggara Barat. 

Mengakhiri pidatonya, Presiden Jokowi meminta izin rakyat untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Saya yakin, pendengar pidato sudah sangat tak sabar ingin mendengar bagian dari Kalimantan yang mana yang akan menjadi ibu kota. Investor pun sudah ancang-ancang. 

Saya senang pak Jokowi menyebut soal Sasak Lombok. Bukan soal model bajunya, tetapi soal situasi kemiskinan di Lombok NTB yang perlu mendapat perhatian khusus. Ini memang ganjalan lama yang berkali saya utarakan kepada Pemda dan juga pejabat Pemerintah nasional. Namun, seakan dianggap tidak penting. 

Apalagi Pemerintah hendak memberikan fokus pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pada lima tahun ke depan, maka adalah relevan kita membincang NTB, dan khususnya Lombok. 

Saya berharap bukan hanya soal pembangunan Sirkuit GP dan pertemuan internasional terkait Geo Park di Lombok saja yang jadi perhatian pemerintah. 

Kemiskinan Warga NTB Tidak Menurun di 2019
Pada Maret 2019, Pemprov NTB mengumumkan bahwa NTB alami penurunan jumlah orang miskin, dari 14,63 persen di tahun 2018 menjadi 14,56 persen di September 2018. Ini diukur dari peningkatan pengeluaran atau belanja rumah tangga.

Juga, disebutkan bahwa masyarakat NTB, khususnya Lombok dianggap telah berhasil bertahan pada pasca gempa yang terjadi di tahun 2018. Saya rasa ini perlu dicermati. Bertahan dengan keterpaksaan dan dengan pengorbanan yang membuat hidupnya lebih rentan tentu bukan tujuan kita. 

Kita perlu paham konteks Lombok dan NTB. 
Posisi NTB dalam pembangunan wilayah di Indonesia memang cukup 'spesial'. Selama 2 masa RPJMN di pemerintahan Presiden SBY, wilayah Provinsi Papua, Aceh dan NTT adalah wilayah yang mendapat perhatian khusus karena dianggap masih tertinggal. NTB yang tidak lebih baik dari NTT berada di marjin. 

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015-2019, Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT menjadi perhatian. NTB kembali ada di marjin. 

Ini punya implikasi. Kerjasama dan kemitraan dengan lembaga donor asing pun lebih diarahkan pada wilayah-wilayah yang telah diarahkan oleh RPJMN. Artinya, NTB hampir selalu terlewatkan. 

Pada akhir 2018, Kepala BPS NTB sempat menyampaikan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB naik kelas dari rangking terbawah di Indonesia, yaitu pada rangking 34 menjadi rangking 29.

Membaiknya ranking IPM NTB ini dinilai karena adanya perbaikan Angka Harapan Hidup pada 2017 yang pada 2016 mencapai 65,38 tahun dan menjadi 65,55 tahun, juga dari Harapan Lama Sekolah yang naik dari 13,16 pada 2016 menjadi 13,46 pada 2017. Juga terdapat kenaikan pengeluaran perkapita dari Rp 9,575 juta di tahun 2016 menjadi 9,877 juta ditahun 2017.

Namun, bila kita lihat indeks pembangunan manusia yang mempertimbangkan aspek gender, maka terdapat hal yang perlu dicatat. Pada Indeks Pembangunan Gender (IPG), posisi NTB adalah masuk dalam posisi klaster bawah, walaupun bukan terbawah.

IPG NTB adalah 90,36, sementara secara nasional adalah pada 90,96, DKI Jakarta adalah 94,70 pada rangking tertinggi, sementara Papua Barat adalah sebesar 79,38 sebagai provinsi pada rangking terendah. Indeks ini menunjukkan masih perlunya akselerasi pada perbaikan pada aspek kesehatan perempuan dan ekonomi masih perlu dilakukan. 

Sementara dalam Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) atau sering disebut Gender Empowerment Measure, posisi NTB adalah masuk dalam 4 provinsi terendah bersama Papua Barat, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur.

Indeks ini mengukur partisipasi perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan, partisipasi perempuan dalam lapangan kerja serta kontribusi perempuan dalam ekonomi. 

Peningkatan konsumsi tentu terjadi karena NTB menerima dukungan dari berbagai pihak selepas gempa pada 29 Juli 2018 dan 19 Agustus 2018.

Meningkatnya pendapatan masyarakat bisa disebabkan oleh perlunya biaya untuk membeli makanan selama tinggal di pengungsian dan pengeluaran konsumsi lainnya.

Karena selama 4 bulan penuh saya bersama kawan-kawan Gema Alam NTB membantu penyintas pasca gempa Lombok di tahun 2018, saya dapat sampaikan bahwa masyarakat NTB, khusunya penyintas belum bisa dikatakan menurun tingkat kemiskinannya. 

Kehamilan Risiko Tinggi
Antara September sampai Desember 2019, sambil memberi layanan kesehatan gratis pada ibu hamil, kami lakukan penapisan dengan USG kepada 409 ibu hamil di 11 desa di Lombok Timur. Ditemukan bahwa sekitar 23% dari ibu hamil yang diperiksa adalah ibu hamil dengan risiko tinggi (Leya Cattleya dan Haiziah Gazali untuk Gema Alam NTB" Kesehatan Reproduksi pada Pasca Gempa Lombok, Lombok Timur, Desember 2019). 

Dokter Risa Risfiandi, SPOG, Relawan Milenial menapis ibu hamil dengan USG yang harus kami sewa di Jakarta. Ibu hamil pada umumnya absen memeriksakan diri pada pasca bencana (Foto: Gema Alam NTB)
Dokter Risa Risfiandi, SPOG, Relawan Milenial menapis ibu hamil dengan USG yang harus kami sewa di Jakarta. Ibu hamil pada umumnya absen memeriksakan diri pada pasca bencana (Foto: Gema Alam NTB)
Artinya, satu di antara empat ibu hamil memiliki kehamilan berrisiko tinggi. Selanjutnya, dari ibu hamil yang berisiko tinggi tersebut, lebih dari separuhnya, yaitu 55% di antaranya adalah ibu yang hamil di bawah usia 18 tahun. 

Ketika saya berkunjung di desa Beririjarak di Lombok Timur, saya bertemu dengan Tina Tantri dan mengaku berusia 17 tahun. Ia menggendong bayinya yang berusia 9 bulan. Entah mengapa langsung menempel saya.

Sehari setelah bencana 29 Juli 2018, ia dititipkan oleh suaminya kepada bibinya di Beriri Jarak, 2 jam perjalanan dengan mobil dari Sembalun karena rumahnya di Sembalun Bumbung hancur karena gempa. Suaminya meninggalkannya untuk bermigrasi sebagai pekerja di perkebunan di Malaysia sehari setelah gempa pada 29 Juli 2018.

Tina tinggal di tenda massal ketika saya menemuinya. Kami akhirnya membantu bangunkan hunian sementara di Sembalun Bumbung. Ini untuk menghindarkannya dari risiko menjadi korban trafficking. Situasi Tina sebagai seorang ibu di usia anak dengan anak bayi adalah sangat berisiko tinggi. 

Dalam kerja kami selanjutnya, kami selalu berusaha libatkan Tina agar ia bisa terus berfokus pada upaya bangkit. Ia akhirnya berjualan pulsa untuk bisa bertahan, walau suaminya masih mengirim uang dari Malaysia. Ia bercita-cita untuk bisa membangun kembali rumahnya. 

Penulis dan Tina (17 tahun) bersama anaknya 9 bulan. Suaminya pekerja migran meninggalkan Tina sehari sesudah gempa pada 29 Juli 2018. ( Dokumentasi pribadi)
Penulis dan Tina (17 tahun) bersama anaknya 9 bulan. Suaminya pekerja migran meninggalkan Tina sehari sesudah gempa pada 29 Juli 2018. ( Dokumentasi pribadi)
Memang NTB memiliki prevalensi perkawinan anak yang tinggi. Prosentasi penduduk NTB yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 4,5%, sementara yang menikah di bawah 19 tahun adalah 44 %. Pada umumnya alasan perkawinan anak adalah karena kemiskinan. Di masa pasca bencana, kasus ini meningkat karena mereka terdesak kondisi yang makin buruk. 

Bila kita gunakan definisi anak menurut PBB yaitu mereka yang di bawah 20 tahun, maka prevalensi perkawinan anak di NTB sebesar 44% di tahun 2017 itu adalah satu dari yang 10 provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia. 

Tina dan anak perempuan senasibnya pada umumnya tidak punya BPJS. Mereka sudah tidak bersekolah karena dikeluarkan dari sekolah atau 'drop out'. Mengingat mereka lakukan hubungan seksual pada usia muda, mereka juga memiliki risiko terkena kanker serviks serta terkena penularan penyakit seksual. 

Mereka juga cenderung mempunyai anak yang banyak karena usia produktif yang panjang. Di sini, dicatat bahwa perempuan muda mempunyai risiko lebih tinggi ketika hamil. Mengingat statusnya yang bisa disebut sebagai anak anak, mereka pada umumnya tidak memeriksakan kehamilannya.

Kelompok Termiksin yang Sulit Mengakses Layanan Kesehatan
Di lapang, kami temukan banyak kelompok termiskin di antara penyintas. Termasuk di dalamnya adalah janda, lansia, dan mereka dengan kebutuhan khusus. Dalam proses memberikan dukungan pendirian Huntara kepada kelompok termiskin tersebut, dicatat bahwa pada umumnya mereka tidak diundang atau ditemui petugas pengumpul data kerusakan rumah. 

Di lapangan, kami temukan seorang lansia yang beratnya menjadi hanya tinggal 30 kilogram dan tidak bisa bergerak. Penyakit rematiknya menjadikan badannya kaku karena tenda membatasinya. 

Juga terdapat satu keluarga berkebutuhan khusus yang terdiri dari ibu yang janda dan sekaligus berkebutuhan khusus dengan 3 anak, dimana satu di antaranya menderia 'down syndrome'. 

Kami temui pula seorang ibu menyusui yang terpaksa harus hidup di kandang ayam karena ia tidak bisa bertahan tinggal di bawah tenda masal yang panas.

Penapisan pada 1.465 orang dewasa dan lansia di 10 desa Lombok Timur menunjukkan bahwa hampir separuh di antaranya memiliki persoalan tekanan darah yang tinggi, di atas 165. Bahkan sekitar 30% dari mereka dengan tensi di atas 180 an. Sementara perawatan kesehatan pada penyakit ini memerlukan rutinas obat, pada umumnya lansia tidak menemui dokter diklinik atau puskesmas.

Lansia hanya menunggu kunjungan relawan untuk membantu memeriksa kesehatan mereka, karena jarak, akses, dan biaya membuat mereka tak mendatangi dokter. Juga, tidak semua warga memiliki kartu BPJS.

Kematian Ibu dan Anak Bayi dan Kehamilan Risiko TInggi

Data Dinas Kesehatan Prov NTB 2017 yang diproses
Data Dinas Kesehatan Prov NTB 2017 yang diproses
Angka Kematian Ibu meninggal karena hamil dan melahirkan di NTB masih merupakan isu serius. Di antara kabupaten yang ada di NTB, Lombok Timur punya kasus tertinggi.

Bila dibandingkan dengan angka pada tahun 2015, maka kasus kematian ibu hamil dan melahirkan mengalami peningkatan dari 17 orang menjadi 30 orang. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur tentang Profil Kesehatan Kabupaten Lombok Timur, 2015 menunjukkan bahwa:

  • Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 18 per 1.000 kelahiran hidup, dengan jumlah kasus kematian bayi sebesar 482 bayi;
  • Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, dengan jumlah kasus kematian balita sebesar 517 balita;
  • Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 105 per 100.000 kelahiran hidup, dengan jumlah kasus kematian ibu sebesar 28 ibu.

Kasus kematian ibu hamil/melahirkan di NTB terjadi tertinggi di Lombok Timur. Di bawah ini adalah gambaran kasus di kabupaten kabupaten yang ada.

Kasus kematian bayi dan balita memang jadi persoalan Lombok. Dalam beberapa tahun terakhir saya melakukan studi terkait ini dan persoalan budaya membawa dampak pula Budaya papaq yang memberikan makanan berupa nasi yang dikunyah ibu kepada bayi yang baru lahir sulit dihapus. Ini sering menjadi masalah. 

Ekonomi Remitansi dan TKW Tanpa Dokumen
Kabupaten Lombok Timur termasuk salah satu dari kabupaten termiskin di Provinsi NTB. Penyangga perekonomian Kabupaten Lombok Timur pada dasarnya adalah remitensi dari tenaga kerja migran. Remitensi ini cukup besar, sekitar Rp 820 miyar pada tahun 2016. Jumlah ini belum termasuk uang yang dikirimkan tidak melalui bank. 

Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang diterbitkan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dilaporkan dalam Kabupaten Dalam Angka 2018, yaitu sebesar 14.306, yang terdiri dari 13.218 orang laki laki dan 1.088 orang perempuan. Ini adalah penigirm TKI tertinggi di Insonesia. 

Mayoritas pekerja migran asal Kabupaten Lombok Timur adalah berpendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari prosentase 67% untuk laki laki dan 61% untuk perempuan pekerja migran dari Kabupaten Lombok Timur berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sementara 20% untuk laki laki dan 24% untuk perempuan berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Pekerja migran laki laki (13.339 orang) bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar lainnya (613 orang) bekerja sebagai petugas kebersihan. Sementara itu, pekerja migran perempuan (557 orang) bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Pada pasca gempa Lombok, observasi dan kajian pustaka kami menunjukkan bahwa terdapat makin banyak iklan pencarian tenaga kerja untuk menjadi pekerja migran di Malaysia. Juga beberapa perempuan muda, termasuk anak anak usia 16 sampai 18 tahun yang masih bersekolah telah ditawari untuk bekerja di luar negeri. Ini tentu akan merupakan migrasi tidak aman. Anak-anak perempuan itu tidak berpengalaman kerja. 

Dilaporkan terdapat meningkatnya kelompok perempuan yang menjadi pekerja migran tanpa dokumen. Mereka, baik ibu muda dan anaknya, rentan untuk 'ditrafficked'. 

Repotnya, data-data di atas lambat tersedia dan 'ter-updated'. Ini tentu menjadikan sulit untuk menilai apa yang terjadi pasca bencana gempa, padahal gempa telah terjadi 1 tahun lebih. Informasi hanya secara acak diambil dari media. 

Bantuan Rehap Rumah pada 90.886 Keluarga Belum Beres
Setahun setelah gempa, Mongabay.com melakukan wawancara dengan masyarakat yang terdampak gempa Lombok, khususnya di Kecamatan Sembalun dan Sambelia di Lombok Timur serta Kecamatan Bayan di Lombok Timur. Ini relevan untuk saya bandingkan dengan situasi saat saya mendukung kerja selaku relawan di sana. 

Untuk korban gempa NTB, Pemerintah menyalurkan dana sebesar 5,1 Triliun ke NTB. Data Pemprov NTB per 26 Juli 2019 menunjukkan bahwa terdapat 33.034 unit rumah yang telah selesai dibangun, sementara masih terdapat 90.886 unit rumah yang masih dalam proses pengerjaan dan belum dikerjakan.

Pada antara bulan September sampai Desember 2018, dengan dana yang berasal dari urunan dengan keluarga, sahabat, dan relawan, kami hanya bisa menggalang dana dan membantu membangun Huntara sebanyak 50 unit dari keluarga terdampak yang termiskin dan membantu perbaikan 1 unit sekolah di wilayah terpencil di Batujong. Saat itu kami dan kawan kawan Gema Alam NTB tidak bisa membantu penyintas lain karena mereka sudah terdaftar sebagai calon penerima bantuan pemerintah.

Kemarin Zicko, Ketua Gema Alam NTB mengatakan bahwa persoalan data penyintas yang berhak mendapat bantuan pembangunan kembali rumah yang rusak sesuai kondisi kerusakan masih menjadi persoalan. Ini menghambat penyintas untuk mendapat bantuan rehabilitasi rumah dari pemerintah.

Kemungkinan dari mengapa tan Pemprov tidak aktif mendorong selesainya pendataan dan proses pembangunan rumah penyintas adalah karena sibuk membangun Sirkuit GP.  Itu penting, tetapi ada yang urgen. 

Lamanya kehadiran dukungan pemerintah membuat warga berusaha sendiri mencari pinjaman dana dari manapun, termasuk dengan mengirim anaknya menjadi pekerja migran, untuk bisa membangun rumah. Ini mengkhawatirkan. Pada umumnya mereka adalah pekerja tanpa dokumen, atau sering disebut ilegal. 

Di Sembalun, petani sudah kembali ke ladang dan kegiatan di sektor pertanian telah kembali normal. Yang menjadi masalah adalah masyarakat Sembalun yang mata pencahariannya adalah tergantung pada wisata Gunung Rinjani.

Setahun penuh kegiatan pendakian Gunung Rinjani terhenti. Ketika dibuka, fenomena topi di atas Rinjani memberikan kekuatiran akan adanya erupsi. Ini karena sejarah Rinjani. Mereka terhenti lagi. 

Sayangnya, kesiapsiagaan bencana masyarakat belum juga dipersiapkan. Mongabay.org menuliskan bahwa perbincangan soal gempa hanya ada di kantor pemerintah, di penginapan dan warung kopi yang banyak terdapat wisatawan.

Setahun setelah gempa, ternyata Puskesmas Sembalun masih juga belum diperbaiki. Atap jatuh. Tembok retak. Beberapa bagian rusak karena gempa setahun lalu belum tersentuh. Para petugas kesehatan masih melayani pasien di puskesmas darurat itu.

Saya ingat dua kali harus membantu melarikan ibu hamil ke RS Selong yang harus ditempuh selama 2 jam. Kedua ibu hamil itu risiko tinggi karena berusia di atas 40 tahun, mengidap Heptitis C dan mengandung anak pertama. Saat itu mereka telah masuk hari perkiraan lahir (HPL). Karena satu di antara ibu itu tidak memiliki BPJS, kerepotan pendanaan juga jadi masalah. 

Karena belum stabil, pemerintah baru membuka sebagian jalur pendakian Rinjani melalui Sembalun pada Juni 2019.

Sementara itu, warga belum dipersiapkan untuk kemungkinan adanya gempa yang akan datang. Jalur evakuasi juga belum diperbaiki. 

Sembalun akan menjadi tuan rumah Asia Pacific Geoparks Network Symposium (APGNS). Sebagai salah satu geopark dunia, Gunung Rinjani merupakan laboratorium yang berharga. Adapun tema dari APGNS kali ini adalah tentang mitigasi bencana, yang dalam hal ini tidak terlihat ada di Sembalun. 

Mongabay.com menuliskan bahwa ada gambar panah ke arah lokasi evaluasi telah dipasang di wilayah gedung perkantoran. Namun, pelatihan tentang kesiapsiagaan bencana tidak terlihat.

Saya membayangkan akan terjadi lagi kehebohan bila warga tidak memiliki kesiapsiagaan bencana. Lokasi Lombok yang ada di 'Ring of Fire' ini memiliki potensi tinggi untuk terjadi bencana alam dari gunung vulkanik maupun tektonik.

Saya mohon Pak Jokowi tetap memantau dan mendorong Pemda membantu mereka yang saat ini masih dalam proses bangkit dari kemiskinan dan dari bencana untuk bisa sama-sama lakukan Lompatan Kemajuan Bersama. Jangan sampai penyintas tertinggal di tenda dan perempuan terlempar tak aman ke Malaysia. 

Pustaka : Satu.; Dua 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun