Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seni Tari sebagai Keunggulan Kompetitif SDM Kita, Mungkinkah?

15 Agustus 2019   23:41 Diperbarui: 1 September 2019   10:08 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarian Tua Reta Lo'u (Foto: Instagram sahabatkotatua.id)

Tarian yang Berbeda untuk Suku yang Berbeda
Tarian selalu mengambil perhatian saya sejak masa kecil. Walaupun hanya belajar menari selama 7 tahun untuk tari Jawa dan setahun untuk tari Bali, Sunda dan Giring Giring, rasanya pengetahuan dan ketrampilan itu masih menempel hingga dewasa. 

Dan, dalam rangka menarilah, saya juga mengenal Kompasiana Pak Almizan. Kala itu, kami menari Kecak atau sering dikenal sebagai 'Monkey Dance' dalam malam budaya di kampus. 

Performa kami dianggap sukses. Beberapa kawan dan profesor yang memang orang Amerika sereta penonton mengatakan bahwa tarian dari Indonesia begitu indahnya. Mereka bahkan mengatakan tari Kecak itu adalah satu dari yang terbaik yang mereka pernah saksikan.

Karena saya kembali lagi ke Universitas Colorado di Boulder beberapa tahun setelah saya selesaikan program belajar, saya temukan bahwa foto tarian itu menjadi kulit muka website dan brosur pemasaran sekolah tersebut. Ada rasa bangga, tentunya. Ini soal wajah Indonesia ada di wilayah dunia yang lain. 

Dan, saya setuju tentang indahnya tarian Indonesia. 

Kita memiliki sekitar 16 suku besar, antara lain Suku Jawa, Sunda, Batak, Madura, Betawi, Minangkabau, Bugis, Melayu, Arab, Banten, Banjar, Bali, Sasak, Dayak, Tionghoa, Makassar dan Cirebon.

Tarian Tua Reta Lo'u (Foto: Instagram sahabatkotatua.id)
Tarian Tua Reta Lo'u (Foto: Instagram sahabatkotatua.id)
Untuk Suku Jawa, terdapat sub suku Jawa Timur dan Madura, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Dan, bagi kita, ini berarti terdapat begitu banyak seni tari yang dimiliki suku suku yang berbeda itu. Ini kekayaan yang bangsa lain tak miliki.

Seringkali saya menyaksikan tari tarian indah dipertunjukkan di kala penyambutan tamu di beberapa bandara. Ini terjadi di Maumere. Juga di Papua.

Penyambutan Tamu di Bandara Maumere (Dokumentasi Pribadi)
Penyambutan Tamu di Bandara Maumere (Dokumentasi Pribadi)

Indah sekali. Gerak tarinya. Dandanan penarinya. Bajunya. Musiknya. Namun, apakah bisa dikatakan Seni Tari itu berkembang dan dikembangkan dengan memadai?.

Tarian Perang Nias ( Instagram : sarahmuksin)
Tarian Perang Nias ( Instagram : sarahmuksin)
Seni Sebagai Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia 
Seni, khususnya seni tari bisa saja jadi keunggulan kompetitif. Michael Porter mendefinisikan keunggulan kompetitif atau 'competitive advantage' sebagai atribut atau kondisi yang memungkinkan suatu organisasi/perusahaan/negara untuk unggul dibandingkan dengan pesaingnya. 

Keunggulan kompetitif bisa berasal dari sumber daya yang berlimpah, ketrampilan sumber daya manusia yang tinggi, lokasi geografis yang strategis, hambatan masuk yang tinggi dan akses untuk teknologi yang baru. (en.m.wikipedia.org).

Di belahan dunia lain, seni telah terbukti menjadi keunggulan kompetitif dan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakatnya. 

Di Kalifornia, misalnya, suatu studi "The Arts: A Competitive Advantage for California; Economic Impact Report" yang dilakukan oleh the California Arts Council menunjukkan bahwa seni yang semula adalah produk nirlaba pada akhirnya bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. 

Bahkan lembaga nirlaba seni menyumbangkan US $ 2,2 milyar dollar kepada ekonomi Kalifornia, serta menciptakan 115.000 pekerjaan serta memberikan setoran pajak ke pemerintah pusat dan daerah sebanyak 77 juta dollar. Sementara itu, lembaga nirlaba seni menerima $ 254,4 juta dollar. Sebagai investasi, terdapat sekitar $ 2 milyar dolar perolehannya.

Studi ini mencatat pengeluaran langsung dan tak langsung yang dikeluarkan wisatawan untuk mengunjungi kegiatan seni. Dalam studi itu, selain perhitungan pengeluaran adalah termasuk untuk transportasi dan penginapan. 

Studi lain di wilayah Montana pada tahun 2004 juga mencatat praktek baik di tujuh pertunjukan seni utama juga memberikan catatan yang menarik. Tujuh festival seni yang dianalisa telah menyumbangkan $11 dari setiap $1 yang dikeluarkan oleh penonton. Ini karena membangkitkan bisnis restoran, hotel serta suvenir. 

Juga, terdapat 173.000 relewan yang tidak dibayar yang menyumbangkan waktu dan tenaga sebagai bagian dari kerja di organisasi nirlaba seni yang menjadi ukuran betapa seni bisa mendorong ekonomi dan menggerakan budaya secara luar biasa.

Masih terdapat lagi keunggulan kompetitif dari seni budaya di berbagai belahan dunia ini. Lihat saja seni pertunjukan Broadway yang harga tiketnya selangi, juga tari ballet di Memphis, serta seni opera di Italia.

Bagaimana dengan Tarian Daerah kita? 
Ekonomi kreatif dianggap dan dicanangkan sebagai salah satu tulang punggung pertumbuhan perekonomian kita. Dalam hal sektor ekonomi yang merupakan seni kreatif Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) berfokus pada 16 sub-sektor.

Ke 16 sub-sektor itu adalah 1). Aplikasi dan pengembangan permainan, 2). Arsitektur, 3).Desain Produk, 4).Fesyen, 5). Desain Interior, 6). Desain Komunikasi Visual, 7).Seni Pertunjukan, 8). Film, Animasi dan Video, 9). Fotografi, 10). Kriya, 11). Kuliner, 12). Musik, 13). Penerbitan, 14).Periklanan, 15).Seni rupa, dan 16).Televisi dan Radio. 

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014 ekonomi kreatif berkontribusi sebesar 7,1% terhadap PDB nasional, mampu menyerap 12 juta tenaga kerja, serta kontribusi pada perolehan devisa negara sebesar 5,8%.

Namun beberapa sub-sektor yang ada di dalam ekonomi kreatif, potensi di bidang seni (kriya, seni rupa, tari, dan musik) masih dirasa kurang maksimal.

Data Bekraf yang diterbitkan dengan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) seni pertunjukan dalam lima tahun terakhir mencapai 7,25 persen. Pertumbuhan ini melebihi pertumbuhan industri kuliner dan fesyen yang merupakan sub-sektor ekonomi kreatif yang dianggap unggul. Sementara, belum terdapat perhitungan pertumbuhan pada kegiatan seni tari.

Memang kita telah memiliki contoh pulau Bali yang bisa menyajikan seni tari sebagai bagian dari serangkaian seni budaya dan pertunjukkan yang memiliki keunggulan kompetitif. Bali memiliki kelebihan dibanding wilayah Indonesia lain karena Bali memang merupakan bagian dari ritual keagamaan. Ini menjadikan seni tari lestari. 

Juga, kita bisa melihat seni tari yang dipresentasikan dalam bentuk Sendratari Ramayana di Prambanan. Seni ini juga dilestarikan melalui penampilan secara regular dan dikelola secara cukup profesional. Kelompok Sendratari Ramayana inipun telah dipertontonkan melalui tur keliling di banyak tempat di dunia. 

Yang perlu diperhatikan adalah agar jangan sampai anak anak kecil yang terlibat dalam sendratari ini tidak mendapat perlindungan dan haknya. Wawancara dengan penari menunjukkan bahwa anak anak itu adalah anak dan keluarga dari penari dewasa di kelompok tari ini. Ini ditujukan untuk mengkader penari dan juga untuk hiburan. 


Bagi Indonesia, seni tari Nusantara memiliki kelebihan, antara lain sebagai:

  • Sarana upacara. Seni tari nusantara, misalnya tari pendet dari bali yang digunakan dalam beberapa upacara keagamaan.
  • Sarana hiburan.Tari Tayub dari Jawa Tengah dan Tari Jaipong dari JawaBbarat yang termasuk kebudayaan suku Sunda.
  • Sarana penyaluran terapi. Beberapa tari nusantara digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif dan terapi untuk penyakit tertentu.
  • Beberapa fungsi lainnya, seperti sebagai penyambutan tamu, ibadah kepada sang pencipta, sarana pendidikan, sarana pergaulan, dan sarana pertunjukan.

Untuk tarian tarian yang spesifik, seperti Serimpi, misalnya, memiliki keunggulan. Serimpi memiliki cukup banyak kompleksitas, walau ditampilkan secara sederhana. Yang unik, kita malah menemukan orang bule yang tertarik dengan tari Serimpi, sementara keinginan belajar masyarakat kita pada tari Serimpi justru luntur.

Sejarah Serimpi sendiri sangat menarik. Kemunculan tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung memerintah pada tahun 1613-1646. 

Tarian ini dianggap sakral karena dahulu hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta sultan. Serimpi yang ditarikan dalam jumlah ganjil inpun selayaknya menjadi bagian dari pengetahuan yang perlu dikemas baik.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah, bagaimana mungkin kita menjadikan seni tari sebagai keunggulan kompetitif bila kita tidak membangun dan dengan serius merawat sumber daya serta pengetahuannya?.

Seni bisa menjadi keunggulan kompetitif bila telah memenuhi syarat untuk bisa memiliki seni itu sebagai produk seni dan juga produk bisnis, sehingga orang mau mengeluarkan uang untuk menonton atau menikmati karya seni tersebut. Ini membutuhkan bahan dasar, tenaga kerja dan sumber daya lain.

Keunggulan kompetitif tidaklah tetap sifatnya. Lingkungan persaingan selalu berubah. Kecepatan teknologi digital juga akan membuat adanya persaingan tontonan baru yang hadir yang disandingkan dengan seni tari.

Dulu kita membaca buku Michael Porter yang membincang keunggulan kompetitif. Saat ini, keunggulan kompetitif banyak terkait dengan inovasi, kreativitas, kecepatan berubah dan beradaptasi, 'branding' yang kuat, dan yang terpenting respons yang baik pada pengalaman pelanggan yang setia.

Saat ini, ekonomi kreatif global lebih berfokus pada pelanggan tinimbang pada kompetisi itu sendiri. Intinya, teori keunggulan kompetitif mungkin sudah berakhir. Ini ada dalam buku "The End of Competitive Advantage: How to Keep Your Strategy Moving as Fast as Your Business" oleh Professor Rita McGrath.

"There are indeed examples of advantages that can be sustained, even today. Capitalizing on deep customer relationships, making highly complicated machines such as airplanes, running a mine, and selling daily necessities such as food are all situations in which some companies have been able to exploit an advantage for some time. But in more and more sectors, and for more and more businesses, this is not what the world looks like any more. Music, high technology, travel, communication, consumer electronics, the automobile business, and even education are facing situations in which advantages are copied quickly, technology changes, or customers seek other alternatives and things move on."

Inti dari pandangan di atas adalah bahwa, membangun relasi secara mendalam dengan pelanggan adalah penting. Keunggulan kompetitif akan secara cepat ditiru. Perubahan teknologi akan membuat pelanggan akan mencari alternatif. Ini acuan yang menarik. 

Sebagai contoah, adalah pagelaran Sendratari Ramayana di Prambanan yang saya sempat tontonih dari 7 kali. Saya mengamati terdapat perubahan. Misalnya, saat episode Anoman Obong, panggung terbuka mempertontonkan panggung yang melibatkan api karena Anoman sang kera putih dibakar di hutan. Ini suatu kemajuan karena membuat tontonan menjadi dramatis. 

Ini bisa kita bandingkan dengan pertujukan wayang orang di Sriwedari Solo. Ketika pertunjukkan adalah dengan lakon Anoman Obong sebagai bagian dari Ramayana, saya melihat bahwa teknologi yang dipakai adalah masih sederhana. Pada awalnya, api digambarkan dengan gambar api diberi penyinaran tertentu, kemudian berkembang dengan kepulan asap. 

Namun demikian, kemajuan seperti pada pertujukan Ramayana di Prambanan dan juga di Wayang Orang Sriwedari itu juga akan membutuhkan inovasi lagi. 

Sumber Daya Seni Tari Apakah Memadai Sebagai Keunggulan Kompetitif Sumber Daya Manusia Kita?
Untuk meningkatkan SDM tari, di Indonesia, terdapat 9 Universitas dengan jurusan seni, termasuk seni tari.

Mereka adalah Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni Indonesia Denpasar, Institut Seni Budaya Indonesia Kalimantan Timur, Institut Seni Budaya Indonesia Sulawesi Selatan, dan Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua.

Dengan kekayaan tarian dari berbagai suku di Indonesia yang kita miliki, maka 9 universitas itu tidaklah cukup.

Bagaimana dengan pendidikan pengelolaan panggung, lampu, pakaian, musik, manajemen pertunjukkannya? Di Bandung terdapat Fakultas Seni Pertunjukan di Institut Seni Budaya Bandung (ISBI) telah terdapat mata kuliah tersebut di atas. 

ISBI menyelenggarakan pendidikan tinggi seni pertunjukan berkualitas untuk mengedepankan pelestarian, pengelolaan dan pengembangan potensi seni, seta budaya dan kearifan lokal nusantara yang berdaya saing dalam percaturan global. Mereka terdiri dari 4 konsentrasi, yaitu Prodi Seni Tari, Prodi Seni Karawitan, Prodi Seni Teater, dan Prodi Angklung dan Musik Bambu.

Sayangnya, saya juga membaca bahwa terdapat beberapa sekolah seni tingkat menengah yang tutup dan saat ini tidak ada lagi.

Mengunggulkan bidang seni sebagai keunggulan kompetitif tentu membutuhkan upaya khusus yang serius, antara lain:

  • Membangun usaha bidang kreatif yang menyertai seni budaya itu, baik itu usaha kecil menengah, relawan, perancang bisnis, yang kesemuanya tergabung dalam kluster ekonomi kreatif dan seni.
  • Mengembangkan fasilitas pendukung dari upaya pelestarian seni tari, misalnya dalam bentuk buku tentang pertunjukan tari tersebut, berikut sejarahnya serta detil tarinya semestinya disediakan dengan profesional.
  • Menggali suvenir yang berisi dan inovatif serta kreatif. Kita hindari suvernir berdebu yang kita temukan juga 10 tahun yang lalu. 
  • Meningkatkan kualitas dan kedalaman informasi yang hendak disampaikan kepada publik tentang tarian kitapun tidak dipersiapkan dengan baik.
  • Mengembangkan dukungan SDM berbayar maupun relawan. 

Seringkali saya membayangkan pelibatan guru yang telah pensiun pada kegiatan seni budaya kita. Para guru yang telah purna tugas tetapi masih tertarik membaktikan diri tentu dapat berkontribusi untuk mendampingi penikmat seni dengan memberikan informasi yang lebih berkualitas tentang seni tari itu, latar belakangnya, dan juga detil dari baju tari dan sebagainya. Ini bisa dilakukan dengan berbayar ataupun selaku relawan. 

Ini mengingatkan saya pada beberapa guru yang sudah sepuh di museum museum di beberapa negara yang baik mengelola pengetahuan. Guru guru tersebut berperan sebagai sahabat museum dan menjadi pemandu yang baik karena melibatkan pengetahuan sejarahnya. Ini mungkin bisa dilakukan ketika kita mengembankan seni tari sebagai bagian dari keunggulan kompetitif.

Memang, dalam kasus Indonesia, aspek pelestarian seni, pengelolaan dan pengembangan potensi seni, serta budaya dan pengetahuan lokal nusantara yang sekaligus berdaya saing dalam percaturan global perlu dikelola dan dikemas dengan baik, sehingga nilai luhurnya tetap terjaga. Dalam hal proteksi perdagangan, 

Perlindungan dari sisi tarif pajak sebenarnya sudah muncul. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 3/2015 tentang Pajak Hiburan tak memungut pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal atau tradisional. Tarif ini berbeda untuk kegiatan serupa berkelas nasional, karena "hanya" dipungut pajak sebesar 5 persen. Sedangkan untuk kelas internasional, tarifnya mencapai 15 persen.

Memang, membangun seni tari sebagai bagian dari keunggulan kompetitif bukan hanya berfokus pada upaya untuk meningkatkan ketrampilan si penari saja, tetapi meningkatkan kualitas manusia secara keseluruhan yang ada di kegiatan ini, baik dalam hal pengelolaan seni pertunjukannya, maupun aspek pengetahuan, sejarah, filosofi dan aspek pendukung lainnya.

Artinya, semua aspek yang ada pada definisi Michael Porter, antara lain sumber daya yang berlimpah, ketrampilan sumber daya manusia yang tinggi, lokasi geografis yang strategis, hambatan masuk yang tinggi dan akses untuk teknologi yang baru perlu menjadi kombinasi yang merupakan kekayaan untuk menjadikan Seni Tari sebagai Keunggulan Kompetitif. 

Seni Tari sudah seharusnya menjadi kekayaan, namun bukan hanya menjadi industri ekonomi semata. Kekayaan atas keluhuran seni dan filosofinya tak boleh hilang. 

Pustaka:
Satu; Dua; Tiga, Empat , Lima, Enam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun