Tarian yang Berbeda untuk Suku yang Berbeda
Tarian selalu mengambil perhatian saya sejak masa kecil. Walaupun hanya belajar menari selama 7 tahun untuk tari Jawa dan setahun untuk tari Bali, Sunda dan Giring Giring, rasanya pengetahuan dan ketrampilan itu masih menempel hingga dewasa.Â
Dan, dalam rangka menarilah, saya juga mengenal Kompasiana Pak Almizan. Kala itu, kami menari Kecak atau sering dikenal sebagai 'Monkey Dance' dalam malam budaya di kampus.Â
Performa kami dianggap sukses. Beberapa kawan dan profesor yang memang orang Amerika sereta penonton mengatakan bahwa tarian dari Indonesia begitu indahnya. Mereka bahkan mengatakan tari Kecak itu adalah satu dari yang terbaik yang mereka pernah saksikan.
Karena saya kembali lagi ke Universitas Colorado di Boulder beberapa tahun setelah saya selesaikan program belajar, saya temukan bahwa foto tarian itu menjadi kulit muka website dan brosur pemasaran sekolah tersebut. Ada rasa bangga, tentunya. Ini soal wajah Indonesia ada di wilayah dunia yang lain.Â
Dan, saya setuju tentang indahnya tarian Indonesia.Â
Kita memiliki sekitar 16 suku besar, antara lain Suku Jawa, Sunda, Batak, Madura, Betawi, Minangkabau, Bugis, Melayu, Arab, Banten, Banjar, Bali, Sasak, Dayak, Tionghoa, Makassar dan Cirebon.
Seringkali saya menyaksikan tari tarian indah dipertunjukkan di kala penyambutan tamu di beberapa bandara. Ini terjadi di Maumere. Juga di Papua.
Indah sekali. Gerak tarinya. Dandanan penarinya. Bajunya. Musiknya. Namun, apakah bisa dikatakan Seni Tari itu berkembang dan dikembangkan dengan memadai?.
Seni, khususnya seni tari bisa saja jadi keunggulan kompetitif. Michael Porter mendefinisikan keunggulan kompetitif atau 'competitive advantage'Â sebagai atribut atau kondisi yang memungkinkan suatu organisasi/perusahaan/negara untuk unggul dibandingkan dengan pesaingnya.Â