Konvensi itupun tidak hanya mencakup pelecehan seksual di dalam ruangan kerja, tetapi juga kekerasan dan pelecehan seksual di fasilitas transportasi, atau ketika sedang melayani pelanggan.
Konvensi juga mengharuskan perusahaan memiliki ruang pengaduan atas kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Negara anggota PBB diwajibkan mengidentifikasi sektor yang paling rentan dengan pelecehan seksual dan perlu melakukan langkah pencegahan dan mitigasinya.
Indonesia perlu lebih aktif untuk mengenal serta meratifikasi konvensi ini. Upaya upaya sporadis tentu dilakukan beberapa pihak, tetapi peran pemerintah harus lebih kuat dan serius. Pelecehan seksual dan diskriminasi idaklah diperbolehkan oleh konvensi CEDAW yang kita telah ratifikasi. Namun pelanggaran terus terjadi.
Pelecehan seksual juga tercantum dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sedang diperjuangkan. Namun, upaya melalui ratifikasi ILO secara khusus akan melindungi pekerja, khususnya perempuan.
Tiadanya kebijakan membuat Cathay Pacific, misalnya, mencabut keharusan pramugari untuk mengenakan seragam baju rok pendek. Selain untuk kenyamanan, pramugari memilih baju yang dapat melindungi saat mereka bekerja. Pramugari melaporkan bahwa baju yang pendek sering memancing pelecehan seksual. Memang baju bukan alasan. Orang tetap melecehkan secara seksual karena budaya patriarkhi. Namun, bisa dipahami. Dengan baju pendek dan mengangkat kopor di atas kepala penumpang yang tak berjarak tentu mengerikan.
Di Amerika, pramugari pramugari yang pernah mengalami pelecehan akhirnya melakukan sesuatu. Pramugari dari Delta dan Union di Amerika memilih membuka pengalaman pelecehan seksualnya melalui gerakan #MeToo.
Mereka bertekad membuka hal ini karena perusahaan penerbangan tidak pernah melakukan tanggapan untuk membela pramugari. Mereka berharap pihak menajemen akan melakukan tindakan akan apa yang mereka laporkan. Union mengajak perusahaan penerbangan lain untuk melakukan langkah yang sama.
Gerakan #MeToo menekankan perlunya menyetop guyonan yang menempatkan pramugari sebagai objek seksual dengan kalimat "Coffee, tea, or me".Â
Bukan hanya di kalangan pramugari pelecehan seksual terjadi. Dari pengalaman saya bekerja, tidak sedikit pelecehan seksual di tempat kerja terjadi. Kawan kerja, sahabat, keluarga terdekat, dan saya pun pernah alami pelecehan seksual. Sayangnya, rendahnya pemahaman lembaga dan petinggi lembaga serta tak adanya mekanisme pelaporan membuat penyintas harus memecahkan persoalannya sendiri.
Seorang pejabat yang saat ini pada posisi kepala badan menyampaikan bahwa dulu ia pernah alami pelecehan serius ketika berada di ruang pejabat yang lebih senior di lembaga tempat ia bekerja sebelumnya.