Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jangan Hanya Katakan Industri Rumput Laut Potensial!

29 Juli 2019   11:05 Diperbarui: 29 Juli 2019   13:42 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budi Daya Rumput Laut dan Perkembangannya

Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor bersih rumput laut nomor satu di dunia. Data BPS menunjukkan bahwa volume produksi rumput laut sejak 2012 sampai 2016 menunjukkan peningkatan. Produksi itu adalah 5.738.688 tons pada 2012, 8.335.663 tons pada 2013, 8.971.463 tons pada 2014, 10.112.107 tons pada 2015, dan 9.691.901 tons pada 2016. Ini adalah pertumbuhan sebesar rata rata 11% pertahun.

Sumber : Data BPS yang diolah, 2018
Sumber : Data BPS yang diolah, 2018
Sementara, volume ekspor rumput laut pada 2012 adalah 174.011 ton pada 2012 dan meningkat sebanyak 183,075 pada 2013, 206.197 ton pada 2014, 211.872 pada 2015 dan 140.822 pada September 2016.

Ilustrasi prtani rumput laut (Hariannasional.com,)
Ilustrasi prtani rumput laut (Hariannasional.com,)
Namun demikian, secara umum petani rumput laut belumlah sejahtera. Apa persoalannya?  Pertama, petani masih menjual rumput laut dalam bentuk rumput laut mentah. Sangat terbatas diversifikasi produk rumput laut. Volume export rumput laut yang masih berupa bahan mentah mencapai sekitar 80 %. 

Kedua, adanya persaingan yang tinggi di antara petani. Ketiga, petani rumput laut tak paham informasi dan tak memiliki kontrol pada rantai nilai global. 

Keempat, adanya zonasi atau pengkaplingan lahan rumput laut yang tanpa pengelolaan baik sehingga merusak kondisi laut. Dari total wilayah budi daya rumput laut yang seluas12,1 juta hektar, karena berbagai hal, lahan yang sudah dimanfaatkan luasnya baru mencapai 2,68% atau 352.825,12 hektar. 

Kelima, terbatasnya investasi untuk industri rumput laut. Bahkan, jumlah peralatan sederhana seperti penggaruk bagi petani rumput laut jumlah total di seluruh Indonesia hanya ribuan buah saja. 

Keenam, petani rumput laut belum menjadi bagian dari asosiasi produsen rumput laut. Ini menyebabkan kepentingan petani belum difasilitasi asosiasi. 

Adanya perbedaan antara data BPS dan data Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu adanya data KKP yang lebih banyak sekitar 500.000 ton tiap tahunnya, menyebabkan informasi pasar dari rumput laut menjadi tidak akurat (Mongabay, 2019). Data KKP menunjukkan bahwa nilai export rumput laut pada 2013 saja mencapai sekitar US $ 210 juta. Ini suatu potensi yang besar. 

Mengingat keuntungan yang terbatas dari petani rumput laut, maka KKP membatasi export rumput laut hanya sampai tahun 2020. Diharapkan ini akan mendorong produksi olahan rumput laut di dalam negeri akan meningkat. 

Saat ini hanya dicatat PT Amarta Carrageenan Indonesiadi Pasuruan yang mengelola proses produksi rumput laut. Bisa dikatakan bahwa perusahaan ini adalah memainkan peran monopolis, atau paling tidak oligopoly di industri rumput laut Indonesia.

Data BPS menunjukkan bahwa hampir semua propinsi, kecuali propinsi Aceh, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel dan DIY menghasilkan rumput laut. 

Sementara itu, produksi terbesar adalah di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sekitar 3.292.000 ton, Propinsi Sulawesi tengah sekitar 1.362.000 ton dan Propinsi Jawa Timur sekitar 620.014 ton pada 2016.

Terdapat studi yang dilakukan di Lombok yang mengajukan rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing rumput laut Indonesia, antara lain perlunya menurunkan biaya transportasi dan bahan bakar. Artinya, isu infrastruktur transportasi dan biaya bahan bakar menjadi tantangan. 

Fasilitasi Pemerintah, Hilirisasi, Konektivitas dan Keuntungan Petani

Adalah menarik bahwa studi banding dengan industri rumput laut Filipina yang diatur regulasi yang jelas, di Indonesia budidaya rumput diatur oleh beberapa regulasi. Rumput laut termasuk dalam kategori 'ikan' di bawah undang undang Perikanan No. 31/2004. 

Namun demikian, beberapa lembaga seperti BPPT, DKP, Kementrian Koperasi dan UKM serta BAPPDA dan LIPI (Neish, 2013). 

Otonomi daerah juga memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk mengelola petani di tingkat desa. Ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang seberapa masing masing lembaga secara efektif mendukung petani yang membudidayakan rumput laut.

Dalam hal sumber pendanaan, survai menunjukkan bahwa 25% petani mendapatkan dana dari pinjaman saudara, 19% dari koperasi dan Credit Unit, 8% dari pengepul atau pedagang dan 40% dari pemerintah melalui program PNPM (foodsciencematter.com).

Dalam konteks Sulawesi Selatan, karena terbatasnya pabrik pengolahan rumput laut maka pemerintah, melalui kementrian Perindustrian mengadakan kebijakan 'hilirisasi' untuk mendongkrak nilai tambah rumput laut. 

Suatu pabrik pengolahan rumput laut yang dikelola oleh Koperasi Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Kospermindo) didirikan dengan investasi senilai Rp 3 milyar di Kawasan Industri Makassar (Kima) di Makassar, Sulawesi Selatan. Setiap bulan, sekitar 3 sampai 5 ton rumput laut diserap (Kementrian Perisndustrian RI, 6 Juni, 2019).

Rencana pendirian pabrik di Bone akan menyerap bahan baku rumput laut mentah hingga 500 ton per bulan, sedangkan pabrik di Maros 200 ton per bulan. Ini dibangun dengan nilai investasi untuk masing-masing pabrik berkisar antara Rp 20 miliar--Rp 30 miliar.

Dengan demikian, industri pengolahan rumput laut dalam negeri baru memproduksi kurang lebih 17.000 ton produk rumput olahan dari kapasitas terpasang sebesar 25.000 ton. 

Pembangunan pabrik pabrik menambah utilisasi nasional sebesar 68%. Pemerintah perlu mempertimbangkan adanya unit pengolahan di wilayah lain di Indonesia untuk melayani kebutuhan petani rumput laut, khususnya mereka yang berada di wilayah yang jauh dari zona industri. Sementara produksi rumput laut pada umumnya berada di Indonesia bagian timur, pabrik berada di Jawa. 

Pembangunan konektivitas infrastruktur di wilayah di sekitar zoba produksi rumput laut menjadi penting agar  wilayah ekonomi rumput laut rakyat terlayani. Saya telah menuliskan cukup detil isu konektivitas dan keterkaitannya dengan rantai nilai pada artikel Infrastruktur untuk si Miskin, Rantai Nilai dan Visi Indonesia ini.  

Program hilirisasi telah dilakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa banyak pemerintah mendorong petani untuk menjadi anggota koperasi dan seberapa informasi dan pengetahuan terkait rantai nilai rumput laut menjadi pemahaman petani. 

Konektivitas hendaknya  bukan hanya mencakup keterhubungan infrastruktur tetapi juga keterhubungan pengetahuan petani terhadap informasi rantsi nilai dan pasar. Ini penting agar petani bujan hanya mendapat akses informasi tetapi juga partidipadi, kontrol dan manfaat atas pasar rumput laut lokal, nasional dan global. 

Posisi petani dalam koperasi dan seberapa mereka turut menentukan arah bisnis koperasi menjadi penting. Hilirisasi yang tidak merubah rantai nilai rumput laut agar memberikan manfaat sebanyak banyaknya kepada petani rumput laut tentu tidak akan berarti banyak.

Rumput Laut, Aspek Lingkungan, dan Keberlanjutan

Banyak media menyiarkan meningkatnya suhu udara di beberapa belahan bumi, termasuk Indonesia. Ini rupanya menyebabkan berpindahnya mata pencaharian petani di Sulawesi Selatan, Sumba Timur dan Lombok dari petani kebun dan sawah untuk berpindah ke budi daya rumput laut. 

Di Desa Palanggai,  Sumba Timur, pendapatan utama penduduk hanyalah dari rumput laut. Bagi mereka, uang Rp40 ribu per hari terbilang besar. Setiap harinya, penduduk bisa memanen lima hingga 10 kilogram rumput laut yang kemudian dijual seharga Rp6.500 per kilogram. Dari situ, pendapatan per hari para petani ini berkisar antara Rp32,5 ribu hingga Rp65 ribu. Bila dipotong biaya air Rp40 ribu, maka hanya tersisa Rp25 ribu untuk makan, dan biaya rumah tangga. 

Karena air juga persoalan warga, maka terdapat kompetisi antara mengambil air untuk keperluan rumah tangga dan mandi serta untuk rumput laut. 

Di Wakatobi, persoalan rendahnya produksi rumput laut disebabkan oleh tidak diperbaruinya bibit. Untuk itu produksi berpindah dari kotoni (Kappaphycus alvarezii) ke spinosum (Eucheuma spinosum). Pulau – pulau di Wakatobi yang merupakan pulau kecil tidak memiliki sungai besar yang mampu memasok bahan – bahan organik.

Memang, rumput laut juga dianggap mampu mengurangi dampak dari perubahan iklim. Rumput laut dapat menyerap karbon dioksida untuk melakukan proses fotosintesis. 

Menurut Chung Ikkyo, salah satu ahli lingkungan asal Korea Selatan menyebutkan bahwa rumput laut memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida lima kali lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan lain yang ada di darat.

Oleh karena itu, tak hanya meningkatkan produktivitas, budi daya rumput laut juga dapat mencegah perubahan iklim.

Suatu penelitian dilakukan di Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat tentang dampak perubahan iklim pada jadwal tanam rumput laut bergeser. Adanya perubahan iklim baik nasional maupun global (El Nio dan La Nia) sangat memengaruhi pola musim tanam rumput laut di Teluk Gerupuk. 

Musim tanam produktif umumnya terjadi pada bulan di mana curah hujan rendah (musim kemarau) dan suhu udara juga rendah antara 24oC sampai 17oC (Jurnal Balitbang 491). 

Isu pengkaplingan laut untuk lahan rumput laut yang tanpa aturan juga menyebabkan kerusakan laut. Petani menggunakan seluas luasnya area laut selama mereka bisa membentang tali. 

Pembuangan botol botol plastik sebagai pemberat ikatan tali untuk rumput laut selalu dilakukan di tiap musim panen. Ini tentu mengganggu karena botol botol plastik akan terbuang di laut bebas.

Pemerintah perlu memperjelas peran lembaga pemerintah yang mendukung petani. 

Perhatian dan fasiliasi pemerintah pada industri rumput laut perlu integratif. Tidak bisa sepotong sepotong. Pendirian pabrik tidaklah menjawab sepenuhnya persoalan yang ada. 

Alat produksi, informasi rantai nilai, keanggotaan dalam koperasi atau lembaga unit produksi yang menguasai rantai nilai, dan konektivitas pusat industri pada fasilitas bisnis dan pasar adalah kritikal. Pengetahuan lingkungan dan perubahan iklimpun perlu dipahami petani agar mereka siap dengan adaptasi yang bisa dilakukan. 

Pustaka : Mongabay, Foodsciencematters, Jurnal,  Cegah Perubahan Iklim, Pabrik Rumput Laut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun