Dengan demikian, industri pengolahan rumput laut dalam negeri baru memproduksi kurang lebih 17.000 ton produk rumput olahan dari kapasitas terpasang sebesar 25.000 ton.Â
Pembangunan pabrik pabrik menambah utilisasi nasional sebesar 68%. Pemerintah perlu mempertimbangkan adanya unit pengolahan di wilayah lain di Indonesia untuk melayani kebutuhan petani rumput laut, khususnya mereka yang berada di wilayah yang jauh dari zona industri. Sementara produksi rumput laut pada umumnya berada di Indonesia bagian timur, pabrik berada di Jawa.Â
Pembangunan konektivitas infrastruktur di wilayah di sekitar zoba produksi rumput laut menjadi penting agar  wilayah ekonomi rumput laut rakyat terlayani. Saya telah menuliskan cukup detil isu konektivitas dan keterkaitannya dengan rantai nilai pada artikel Infrastruktur untuk si Miskin, Rantai Nilai dan Visi Indonesia ini. Â
Program hilirisasi telah dilakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa banyak pemerintah mendorong petani untuk menjadi anggota koperasi dan seberapa informasi dan pengetahuan terkait rantai nilai rumput laut menjadi pemahaman petani.Â
Konektivitas hendaknya  bukan hanya mencakup keterhubungan infrastruktur tetapi juga keterhubungan pengetahuan petani terhadap informasi rantsi nilai dan pasar. Ini penting agar petani bujan hanya mendapat akses informasi tetapi juga partidipadi, kontrol dan manfaat atas pasar rumput laut lokal, nasional dan global.Â
Posisi petani dalam koperasi dan seberapa mereka turut menentukan arah bisnis koperasi menjadi penting. Hilirisasi yang tidak merubah rantai nilai rumput laut agar memberikan manfaat sebanyak banyaknya kepada petani rumput laut tentu tidak akan berarti banyak.
Rumput Laut, Aspek Lingkungan, dan Keberlanjutan
Banyak media menyiarkan meningkatnya suhu udara di beberapa belahan bumi, termasuk Indonesia. Ini rupanya menyebabkan berpindahnya mata pencaharian petani di Sulawesi Selatan, Sumba Timur dan Lombok dari petani kebun dan sawah untuk berpindah ke budi daya rumput laut.Â
Di Desa Palanggai, Â Sumba Timur, pendapatan utama penduduk hanyalah dari rumput laut. Bagi mereka, uang Rp40 ribu per hari terbilang besar. Setiap harinya, penduduk bisa memanen lima hingga 10 kilogram rumput laut yang kemudian dijual seharga Rp6.500 per kilogram. Dari situ, pendapatan per hari para petani ini berkisar antara Rp32,5 ribu hingga Rp65 ribu. Bila dipotong biaya air Rp40 ribu, maka hanya tersisa Rp25 ribu untuk makan, dan biaya rumah tangga.Â
Karena air juga persoalan warga, maka terdapat kompetisi antara mengambil air untuk keperluan rumah tangga dan mandi serta untuk rumput laut.Â
Di Wakatobi, persoalan rendahnya produksi rumput laut disebabkan oleh tidak diperbaruinya bibit. Untuk itu produksi berpindah dari kotoni (Kappaphycus alvarezii) ke spinosum (Eucheuma spinosum). Pulau – pulau di Wakatobi yang merupakan pulau kecil tidak memiliki sungai besar yang mampu memasok bahan – bahan organik.