Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konektivitas Infrastruktur untuk Si Miskin, Rantai Nilai dan Visi Indonesia

26 Juli 2019   11:10 Diperbarui: 27 Juli 2019   10:12 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah PR besarnya. 

Infrastruktur dan Ketersambungan Rantai Nilai untuk Si Miskin

Secara teori, terdapat konsep 'unbundling' atau tingkat pemisahan, yang diperkenalkan oleh Baldwin (2016). Ini untuk menelaah ketersambungan rantai nilai di Indonesia. Realitas bahwa Indonesia adalah negara dengan wilayah geografi yang luas tentu menuntut analisis yang perlu disesuaikan dengan konteks di tingkat lokal yang beragam dan dinamis.  

Dalam kaitannya dengan konesp 'unbundling', terdapat tiga pemisahan besar di Indonesia. Pertama, adalah spesialisasi pekerjaan internasional di perkebunan, pertanian, pertambangan, serta industri-industri padat karya. Kedua, adanya lokasi atau zona indutri yang mendominasi, misalnya di industri permesinan. Ketiga, pada bentuk penurunan biaya perdagangan karena adanya pertemuan langsung (face-to-face) yang hadir sebagai konsekuensi perekonomian digital (Journal, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Volume 54, 2018 - Issue 2).

Teori di atas mengatakan bahwa makin tinggi proses pemisahan dan makin efektif penggunaan teknologi maka akan semakin merata proses dan hasil pembangunan. Memang tidak akan sederhana langkah yang dibuat untuk menerjemahkan konsep itu. 

Infrastuktur bisa mengurangi isu jarak. Dan selanjutnya, upaya peningkatan konektivitas dapat dilakukan dengan pembangunan sektor jasa serta perbaikan kebijakan.

Studi di atas mencatat tiga sumber tidak efisiennya konektivitas di Indonesia, yaitu  1) infrastruktur fisik yang buruk, 2) tidak memadainya layanan, dan 3) tidak optimalnya lingkungan dan kebijakan. Hal yang terakhir ini punya arti luas dan memang sangat penting. 

Optimalisasi "Kebijakan" :  Siapkah Aktor Ekonomi Rakyat Masuk dalam Rantai Nilai Formal? 

Bila kita selalu membayangkan rantai nilai perdagangan global yang sudah besar dan mapan serta kompleks seperti rantai nilai produk manufaktur 'garment' dan persepatuan, mungkin UKM dan pelaku ekonomi rakyat juga tidak paham dan tak berani. Lagipula, itu tidak strategis. Alih alih memenangkan rantai nilai, mungkin mereka malah tergencet di antara ruwetnya rantai nilai itu.

Saya sudah menyebut pembentukan koperasi kopi Gayo Fairtrade di Takengon. Saat ini terdapat 28 koperasi Fairtrade, 8 diantaranya beranggotakan dan dipimpin perempuan. Mereka berhasil mengekspor ke banyak wilayah, termasuk Eropa dan Anerika Utara. 

Beberapa implementasi di tingkat lapang menunjukkan bahwa kemajuan teknologi digital juga dapat membantu UKM dan petani petani kecil untuk bisa memasuki rantai nilai yang lebih kreatif. Ini bisa terjadi di 'niche market', pasar yang khusus. Pasar ini bisa saja kecil tetapi memiliki ruang untuk menerima nilai tambah yang dihasilkan UKM atau petani kecil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun