Memang Indeks Kompetisi "World Economic Forum's Competitiveness Index' menunjukkan bahwa infrastruktur kemaritiman Indonesia berada pada ranking 12 dari 14 negara di Asia yang masuk dalam perhitungan indeks. Biaya logistik di Indonesia dicatat tinggi.Â
Dalam konteks ekonomi internasional, ini tentu sebagai biaya tinggi. Tuntutan pada kerja yang lebih efisien pada pelabuhan dan fasilitas perdagangan lain memerlukan kerja keras
Untuk itu, pembangunan infrastruktur perlu kita maknai sebagai pembangunan infrastruktur keras dan lunak. Infrastruktur keras bisa mencakup sistem transportasi seperti jalan, bandara, fasilitas pelabuhan, fasilitas perkeretaapian.Â
Infrastruktur keras juga mencakup layanan publik, misalnya untuk keperluan enerji, pasolan air, dan irigasi; serta jaringan komunikasi seperti jaringan telekomunikasi dan 'broadband'. Juga terdapat infrastruktur sosial seperti sekolah dan rumah sakit.
Sementara itu, infrastruktur lunak mencakup apa yang menjadikan ekonomi menjadi efisien, seperti kelembagaan ekonomi serta regulasi. Ini yang sebetulnya secara kongkrit akan mendorong pembangunan ekonomi.Â
Secara empirik memang hubungan antara pembangunan infrastruktur yang keras dengan pembangunan ekoomi masih belum bisa disimpulkan (Xubei Luo and Xuejiao Xu, 2018).
Secara teori memang infrastruktur keras dapat berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi melalui penurunan biaya produksi karena tersedianya layanan layanan dalam hal telekomunikasi, listrik, jalan, air dan sanitasi. Kemudian, infrastruktur dapat mengurangi biaya transaksi melalui pengurangan biaya pengumpulan data, biaya menilai opsi opsi, negosiasi dan contrak melalu komunikasi yang lebih baik dan juga efiensi kerja lembaga lembaga ekonomi terkait, disamping penurunan biaya transportasi dari dari pasar yang satu ke pasar yang lain. Tentu saja, infrastruktur dapat meningkatkan efisiensi melalui teknologi. Infrastuktur dapat menurunkan biaya produksi karena adanya zona industri.
Argumentasi bahwa masyarakat termiskin dapat mendapatkan keuntungan dari perbaikan infrastruktur melalui partisipasinya dalam rantai nilai global memang perlu dipahami. Ini memang terbukti ketika petani kopi di Takengon, Aceh, misalnya mampu mengekspor sendiri kopinya. Nah, ini tentu berarti bahwa petani kopi di Takengon memiliki penguasaan informasi dan pengetahuan akan rantai nilai dan pasarnya.
Untuk itu, petani kopi Gayo di Takengon bekerja bersama di antara petani lain melalui pembentukan koperasi sehingga mereka dapat menjadi lembaga ekonomi yang lebih besar dan dapat menembus pasar. Keberadaan koperasi juga menjadi kekuatan lebih baik karena produk kopi mereka adalah bersertifikat organic.Â
Koperasi juga bisa menjadi nilai tambah ketika para petani mengupayakan sertifikasi organic fairtrade. Memang perjuangan pada pembentukan koperasi yang demokratis dan secara murni bertujuan memperjuangkan kemaslahatan anggota bukan barang mudah. Perjuangan itu masih terus.Â
Lalu, bagaimana dengan kasus petani rumput laut di Sulawesi Selatan, petani kopi Toraja di Takengon dan petani buah Naga di Banyuwangi? Bagaimana pula dengan masyarakat Indonesia di wilayah timur dan Kalimantan yang masih baru memulai pembangunan infrastrukturnya?