Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Untuk Pak Jokowi, dengan Kebanggaan, Harapan, dan Kepedihan

5 Juli 2019   16:25 Diperbarui: 6 Juli 2019   10:14 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Radikalisme adalah persoalan bersama bangsa. Kita meliha dengan kasat mata pada banyak peristiwa di Yogya, di Jakarta, dan wilayah Indonesia lain. Salib jadi barang yang dimusuhi, digergaji. 

Berbagai studi sudah ada terkait meningkatnya radikalisme yang masuk melalui sektor pendidikan. Rekrutmen yang ada sejak masa sekolah dasar sampai dengan universitas di sekitar 20 tahun yang lalu telah memunculkan kelompok muda radikal di berbagai lembaga di sektor publik, sektor swasta, bahkan di DPR. 

Masa kampanye dan Pemilu 2019 merupakan kaca benggala kita bersama. Radikalisme muncul di mimbar kampanye, forum diskusi dan tempat ibadah. Kita tak bisa lagi berpura pura.

Menjadi relawan purna waktu selama kurang lebih 4 bulan di wilayah Lombok menjadikan saya memahami betapa isu yang dihadapi pengungsi adalah berat. Pengungsi sangat tergantung pada relawan yang mendekati lokasi tinggal karena mereka tidak berani meninggalkan pengungsian. Trauma yang mendalam karena gempa susulan yang terjadi bahkan sampai dengan April 2019 itu menjadi penghalang.  

Dokter Andika relawan untuk pasien lansia di pos kesehatan di Lombok Timur(Dokumentssi pribadi)
Dokter Andika relawan untuk pasien lansia di pos kesehatan di Lombok Timur(Dokumentssi pribadi)
Sayangnya, pemerintah daerah lambat merespons situasi. Kesadaran akan mekanisme kerja pada pasca bencana terbatas. Kedaruratan, tanggap bencana dan masa rehabilitasi pada pasca bencana masih dianggap 'business as usual'. Semua menunggu perintah, karena gempa besar terjadi ketika masa transisi pemerintah provinsi, kabupaten dan desa. Sejujurnya, ini mengerikan.  Namun, pemerintah pusat sudah tetapkan bahwa ini bukanlah bencana nasional. 

Apa yang kita lihat adalah realitas. Sampai dengan 6 bulan setelah gempa Lombok, masih ditemukan masyarakat pengungsi yang hidup di bawah tenda seadanya dan berbahan plastik mulsa. Bayi bayi pun ditemukan sakit berkelanjutan dan bayi yang meninggal kedinginan di musim hujan. Mereka yang dengan disabilitas tidak tersentuh bantuan adalah hal yang ditemukan. 

Kaum lansia banyak yang tidak terurus, sementara obat obatan untuk penyakit degeneratif sulit diakses. Kami temukan kasus penyintas dengan anak bayi dan balita yang terpaksa tinggal di kandang ayam.  Ini menohok jantung. 

Relawan bekerja siang dan malam. Namun, apa daya, semua dibatasi oleh ketersediaan dana pribadi dan dukungan sahabat dan sanak keluarga. Relawan meninggalkan keluarga demi kemanusiaan.  

Memang, staf dinas kesehatan dan timnya juga menjadi penyintas. Di sinilah, sebetulnya dibutuhkan dukungan pemerintah pusat, agar koordinasi tidak sebatas serenomial, pemenuhan birokrasi, dan "Asal bapak atau ibu senang'. Kepura-puraan ini terjadi, diamini  lembaga PBB memang harus bekerja melalui pemerintah. Lengkap sudah penderitaan pengungsi. Kerja keras relawanpun dianggap sebagai kerja liar dan perlu dipantau. Ini menyakitkan. 

Pengungsi, khususnya anak perempuan dan pemuda, yang tidak mendapat dukungan ekonomi berkelanjutan pada pasca bencana juga makin rentan. Mereka putus sekolah. Sebagian menikah di usia 15 tahun. Sisanya mencoba peruntungan menjadi pekerja migran.  Kasus perekrutan perempuan dan pemuda di wilayah Lombok, khususnya Lombok Timur yang merupakan pengirim pekerja migran terbesar di Indonesia terjadi pada situasi darurat.  

Kalau selama ini perhatian pemerintah dalam RPJMN adalah di 3 wilayah miskin utama di Aceh, NTT dan Papua, saya berharap NTB menjadi perhatian pula. Indeks pembangunan NTB pada dasarnya sama rendahnya dibanding dengan tiga wilayah yang saya sebut di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun