Baju-baju Lama itu Sering Dipakai
Lebaran 2019 telah berlalu. Sebagian dari kamu masih mengingat saat-saat menghabiskan waktu di rumah orang tua saat mudik. Makan panganan nostalgia. Membuka almari di rumah orang tua dan menemukan baju lamamu yang masih tampak keren, mencobanya dan mempertimbangkannya untuk mengenakannya kembali?.
Dan kamu lalu berpikir betapa klasiknya pilihan bajumu dulu. Betapa tidak? Baju putih dengan model sederhana yang kau beli 10 tahun atau bahkan 20 tahun lalu masih bisa dikenakan dengan cantik di masa kini? Jahitan masih rapi dan, ya, ini 'vintage'.
Untuk saya, terdapat beberapa baju tua yang kadang kadang saya masih kenakan. Terdapat setelan jas dari bahan linen warna krim bermerek terkenal yang saya beli dari seorang kawan berkebangsaan Kanada sekitar 21 tahun yang lalu. Setelan jas itu terlalu kecil di tubuh kawan saya dan akhirnya sepakat dipindahkan tangan hanya dengan harga persahabatan $20 Kanada di tahun 1998.
Selain itu, terdapat blus sutera alam warna hitam yang saya buat di penjahit langganan saya sekitar 20 tahun yang lalu. Dan, tentu saja 'Scarf' batik indigo dari bahan serat nanas favorit berusia 15 tahun, yang saya beli dari galeri batik dengan pewarna alam yang memberdayakan lebih dari 200 pembatik di wilayah Yogya milik kawan saya. Karena sering sekali dipakai, 'scarf' indigo itu banyak muncul menemani saya di banyak peristiwa kerja maupun di acara jalan jalan.
Untuk awetnya baju baju yang saya pakai, mungkin saya perlu memberi pujian pada diri saya sendiri bahwa pilihan baju saya adalah 'klasik', alias itu itu saja. Atau, jangan jangan saya hanya sekedar berselera kuno dan terlalu pelit berbelanja baju. Haha...
Namun pada akhirnya saya mengapresiasi diri saya sendiri. Walau sederhana dan tidak berharga mahal, baju baju berusia tua yang masih saya kenakan itu memiliki kualitas cukup baik.
Bahan baju-baju adalah katun atau dari materi berbahan natural dari alam, dengan jahitan yang baik. Barulah pada akhir akhir ini, selera saya yang 'kuno' ini mendukung gerakan 'slow fashion'Â atau fesyen lambat, yang menjadi bagian dari fesyen beretika dan berkelanjutan. Ini menjadi hal yang cukup penting di tengah maraknya 'fast' fashion' atau fesyen cepat yang menggejala sekitar 3 sampai 5 tahun terakhir.
Biaya dari Fesyen Cepat.Â
Akhirnya kita harus mendiskusikan apa itu "Fesyen Lambat" dan Cepat. Dalam dunia fesyen terdapat apa yang disebut Fesyen Cepat. Ini adalah desain baju yang setelah diluncurkan melalui acara peragaan busana bisa langsung dinikmati di gerai greai di sekitar kita untuk menjadi tren. Fesyen cepat memungkinkan konsumen untuk membeli baju yang ngetren dengan harga terjangkau.Â
Sementara, persaingan di antara pengusaha dan merek dari Fesyen cepat ini tajam. Untuk menjawab kebutuhan permintaan pembeli, produksi dilakukan besar besaran dan harga ditekan sedemikian rupa agar terjangka.
Beberapa contoh industri Fesyen Cepat adalah H&M merek dari Swedia, UNIQLO merek dari Jepang, GAP dan Forever 21 dari Amerika Serikat dan Topshop dari Inggris.Â
Produk-produk ini cepat sekali mengganti rak dan ruang pajang pusat belanja dengan produk yang berganti cepat. Perputaran barang terus dijaga sehingga barang tidak teronggok lama di toko-toko.Â
Dalam analisis rantai nilai, perusahaan perusahaan ini tentu berkilah bahwa mereka menggunakan cara cara inovatif agar dapat menekan harga. Apa itu?.
Tentu bisa dibayangkan bahwa proses produksi yang menekan harga sedemikian rupa sering kali banyak 'menyakiti' pekerja. Upah rendah, dan sering disubkontrakkan dengan tanpa memastikan proses produksi dilakukan dalam lingkungan yang kondusif atau tidak. Bagi mereka, yang terpenting produk diciptakan dengan harga murah.
Ketika berbicara soal biaya produksi rendah, kita akan sampai pula pada banyak kasus adanya pekerja rumahan. Pekerja ini adalah keluarga yang biasanya hidup di perkotaan miskin 'slum' yang tinggal di bedeng bedeng kecil.Â
Di sini akan kita temui keluarga, biasanya ibu dan anak anak perempuan bekerja siang malam mengerjakan borongan jahitan atau pemasangan potongan kain untuk baju baju itu.
Dalam situasi ini, lingkungan kerja yang menjamin keamanan dan kesahatan pekerja tidak lagi menjadi bagian dari tujuan. Sementara, proses produksi jauh dari jangkauan pengawasan pemerintahpun.
Pelanggaran pelanggaran pada hak perempuan dan anak pada proses poduksi ini mudah terjadi. Bahkan, studi yang dituliskan oleh Forbes menuliskan bahwa Fesyen Cepat menjebak keluarga miskin, khususnya perempuan dan anak perempuan untuk menjadi le bih miskin.Â
Diperkirakan terdapat 75 juta perempuan dan anak perempuan bekerja untuk industri Fesyen Cepat. 80% dari pekerja industri adalah perempuan berumur antara 17 sampai 24 tahun.Â
Studi itu menulis bahwa diperlukan upah senilai 18 bulan bekerja untuk bisa membayar satu kali makan siang dari CEO perusahaan.
Karena proses produksinya, Fesyen Cepat memang seakan dirancang untuk cepat rusak. Tidak ada yang awet. Kita membeli kaos oblong sederhana atau blus yang sangat murah, namun kita hanya bisa memakainya beberapa kali saja. Selanjutnya, kaos akan rusak.
Tak terbayang betapa kerusakan lingkungan akibat produksi kaos oblong dan baju baju ini. Kita bisa menyebut proses produksi semacam ini sebagai proses produksi dengan cara 'mengkorupsi' persyaratan lingkungan.
Proses produksi ini membuat biaya sosial tinggi. Yang pertama adalah biaya polusi air. Baju dari bahan katun yang diproduksi di negara negara dengan biaya produksi rendah seperti di Cina dan India terjadi pada kondisi persaingan penggunaan air antara untuk produksi baju dan konsumsi masyarakat miskin.Â
Yang kedua adalah biaya karena penggunaan bahan bahan yang tidak aman bagi kesehatan. Penggunaan pestisida, insektisida dan bahan bahan yang mengganggu kerja hormone manusia dapat memicu kanker.
Kepada Forbes, Lucy Siegle mengatakan bahwa Fesyen Cepat tidak gratisan. Orang orang di wilayah tertentu, khususnya perempuan, adalah mereka yang membayar biaya sosial itu.
Apakah Fesyen Cepat bisa Berkelanjutan dan Beretika?
Terdapat beberapa studi dan analisis tentang bagaimana Fesyen Cepat bisa bekelanjutan. Berkelanjutan di sini bukan hanya fesyen yang mempertimbangkan aspek pelestarian lingkungannya tetapi juga keberlanjutan dan keadilan sosialnya.Â
H&M adalah perusahaan yang pada 20 tahun yang lalu hanyalah sebuah UKM. Namun saat ini ia menjadi perusahaan terbesar nomor 2 dari sisi produksi yang sebesar 3 miliar per tahun dan tersebar di 4.800 tokonya.
Untuk menghindari boikot pengguna dan adanya litigasi yang sempat memuat produk senilai US 4.3 milar tidak terjual di tahun 2018, mereka menyiasati dengan penggunaan teknologi dengan cara menggunakan materi daur ulang untuk produk mereka. Juga mereka mengurangi sisa sampahnya.Â
Studi yang dilakukan oleh Deloitte pada 2017 menunjukkan bahwa ternyata terdapat variasi kaum Milenial dalam menyikapi kebutuhan baju yang berkelanjutan. Di Amerika.
Hampir separuh kaum Milenial yang disurvai menganggap penting untuk mempertimbangkan keberlanjutan sebelum memutuskan membeli produk baju dengan merek mahal atau terkenal. Di Cina, prosentase itu 38,5%, di Itali 20,3%, dan di Inggris adalah 18, 8%.
Di Mana Perubahan itu Harus Terjadi?
Secara umum, H&M dan Zara dipandang sebagai perusahaan Fesyen Cepat yang mencoba mendorong keberlanjutan. Namun semestinya perusahaan bisa berbuat lebih banyak, demikian Elizabeth Cline, penulis dari "Overdressed: The Shockingly High Cost of Cheap Fashion".
Elizabeth meilhat bahwa bila industri hendak merubah dengan signifikan, mereka semestinya membuat perubahan di tingkat pabrik dan bukan hanya bergerak di tataran gudang dan logistik.
Kontribusi proses produksi baju pada keseluruhan dampak perubahan iklim pada sektor ini adalah sekitar 97% (2016). Namun, pada umumnya industri terpisah dari siapa yang mengelola pabrik dan produksi.Â
Kecil sekali yang bisa dilakukan perusahaan bermerek itu karena proses produksi di pabrik dan di rumah rumah masyarakat miskin di beberapa negara yang menjadi lokus dari produksi. Sementara kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dari lokasi pabrik juga kecil.
Untuk Indonesia sendiri, informasi terkait industri rumahan hampir tidak ada. Karena bersifat informal dan pemerintah tidak memiliki data, nyaris taka da yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin, perempuan dan anak perempuan yang bekerja di industri rumahan untuk merek merek terkenal dari Fesyen Cepat ini.
Itulah makanya menjadi penting bagi Presiden terpilih untuk memilih menteri tenaga kerja yang paham isu isu global dan meterjemahkan ke dalam konteks nasional dan lokal. Kalau Kementrian Tenaga Kerja masih selalu dianggap kementrian yang tidak penting dan dalam posisi dinegosiasikan dengan partai koalisi, repotlah sudah.Â
Apa yang Bisa Kita Lakukan?Â
Bila kita memahami bahwa mengenakan produk Fesyen Cepat tidaklah hanya membayar seharga uang yang kita berikan kepada gerai gerai atau secara online, bagaimana cara kita menyiasati hal ini?
1. Coba pikirkan kembali tentang perlunya Fesyen Beretika yang berkelanjutan. Artinya, kita sebagai pembeli baju perlu paham apa dan bagaimana yang terjadi di balik suatu produksi. Adalah baik bila kita tahu siapa yang mengerjakan baju kita.Â
Apakah itu penjahit atau mereka yang menenun atau membatik. Ini tentu bisa memastikan bahwa kita membeli barang yang tidak merugikan orang lain.Â
Sebetulnya, semua agama kita memang mengajarkan kebaikan semacam ini. Namun, pada prakteknya, kita begitu mudah melakukan kesalahan dengan meyakiti orang lain melalui produk yang kita beli, dengan alasan 'saya ga punya duit banyak kok'. Ini saya dengar dan baca hampir setiap hari. Padahal tidak semua hal urusannya dengan duit.
2. Investasikan pada kualitas, bukan pada jumlah. Kita memang membeli baju dengan uang yang terbatas kita miliki. Namun, membeli banyak baju dengan cara menekan harga barang tanpa memikirkan kualitas juga hanya akan memberi penampakan luar saja bagi kita. Bagaimana bila kita membeli baju dengan jumlah lebih sedikit tetapi berkualitas? Baju baju ini akan lebih awet.
3. Modifikasi baju tuamu. Ganti model dan modifikasi dengan cara merubah sedikit lengan atau menambahkan 'scarf' untuk membuat baju anda lebih menarik
4. Saat ini sedang mode untuk membeli baju 'vintage' yang berkualitas tinggi. Memang baju baju itu tidak bisa selalu baru. Namun, terdapat standar untuk memastikan bahwa baju baju 'vintage' masih layak pakai dan tetap memenuhi persyarakatan kesehataan dan keamanan.
Tentu ita perlu memilih baju yang ramah lingkungan. Artinya, baju itu tidak diproduksi dengan proses yang merusak lingkungan.
5. Baca dan cari tahu tentang baju baju yang ramah lingkungan. Kita bisa mengeceknya di instagram dan media sosial. Memang, untuk menjadi pengguna atau konsumen fesyen yang berkelanjutan, kita perlu meningkatkan literasi.
Menolak jadi konsumen yang cerdas? Yaah.... berarti kita alami kemunduran dong.
Pustaka:
1) Fesyen Cepat; 2) Fesyen Beretika; 3) Fesyen Lambat; 4) Upaya Upaya menuju Fesyen Lamban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H