Beberapa contoh industri Fesyen Cepat adalah H&M merek dari Swedia, UNIQLO merek dari Jepang, GAP dan Forever 21 dari Amerika Serikat dan Topshop dari Inggris.Â
Produk-produk ini cepat sekali mengganti rak dan ruang pajang pusat belanja dengan produk yang berganti cepat. Perputaran barang terus dijaga sehingga barang tidak teronggok lama di toko-toko.Â
Dalam analisis rantai nilai, perusahaan perusahaan ini tentu berkilah bahwa mereka menggunakan cara cara inovatif agar dapat menekan harga. Apa itu?.
Tentu bisa dibayangkan bahwa proses produksi yang menekan harga sedemikian rupa sering kali banyak 'menyakiti' pekerja. Upah rendah, dan sering disubkontrakkan dengan tanpa memastikan proses produksi dilakukan dalam lingkungan yang kondusif atau tidak. Bagi mereka, yang terpenting produk diciptakan dengan harga murah.
Ketika berbicara soal biaya produksi rendah, kita akan sampai pula pada banyak kasus adanya pekerja rumahan. Pekerja ini adalah keluarga yang biasanya hidup di perkotaan miskin 'slum' yang tinggal di bedeng bedeng kecil.Â
Di sini akan kita temui keluarga, biasanya ibu dan anak anak perempuan bekerja siang malam mengerjakan borongan jahitan atau pemasangan potongan kain untuk baju baju itu.
Dalam situasi ini, lingkungan kerja yang menjamin keamanan dan kesahatan pekerja tidak lagi menjadi bagian dari tujuan. Sementara, proses produksi jauh dari jangkauan pengawasan pemerintahpun.
Pelanggaran pelanggaran pada hak perempuan dan anak pada proses poduksi ini mudah terjadi. Bahkan, studi yang dituliskan oleh Forbes menuliskan bahwa Fesyen Cepat menjebak keluarga miskin, khususnya perempuan dan anak perempuan untuk menjadi le bih miskin.Â
Diperkirakan terdapat 75 juta perempuan dan anak perempuan bekerja untuk industri Fesyen Cepat. 80% dari pekerja industri adalah perempuan berumur antara 17 sampai 24 tahun.Â
Studi itu menulis bahwa diperlukan upah senilai 18 bulan bekerja untuk bisa membayar satu kali makan siang dari CEO perusahaan.