Di hari ke 2 bulan Syawal ini, hati saya campur aduk rasanya. Jabat tangan, saling memaafkan tentu masih menjadi semangat di pagi hari hingga siang ini. Di sisi lain, menggunungnya sampah yang tidak "terjemput" karena alasan libur lebaran sudah mulai terasa dampaknya.
Itu masih dalam kawasan rumah adik saya yang menjadi nyonya rumah lebaran keluarga besar saya. Tak terbayang pengelolaan sampah kota. Apalagi pengelolaan sampah seluruh wilayah di republik ini. Dan, kita tentu harus bisa bicara soal sampah  global. Nah ...
Namun, kata "tak terbayang" bukan berarti kita tak boleh mendiskusikannya. Â Mohon maaf bila terkesan saya tergesa mengganggu acara lebaran dan mudik para sahabat di Kompasiana.Â
Mungkin malah ini momentum terbaik setelah lebaran, untuk berbuat bagi sesama?Â
Setelah Puasa Plastik, Mengapa Kita Masih Harus Impor Sampah Plastik?
Baru baru ini saya tulis soal puasa plastik. Ini soal serius.Â
Lalu ada soal perdagangan sampah plastik global. Seserius itukah?Â
Saat ini pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sedang galau tentang perdagangan sampah plastik yang mereka sepakati dengan beberapa negara.
Definisi 'plastic waste' sendiri cukup luas meliputi sisa produk plastik seperti 'plastic scrapt' yang dihasilkan berbagai industri sampai dengan sampah plastik. Namun, karena sifatnya yang tidak bisa dipergunakan lagi, kecuali diproses ulang, maka ini masuk kategori sampah plastik. Â Dan, memang ini sampah.Â
Sebagai negara, Indonesia perlu mengevaluasi perjanjian dagang luar negeri terkait sampah ini. Perdagangan sampah secara serius menghilangkan rasa tanggung jawab dan akuntabilitas negara dan warga negara mereka yang mengkonsumsi plastik.Â
Bahasa kasarnya "Enak aja. Enak di elu, ga enak di gua!".