KPPS sendiri pada umumnya memiliki staf paruh waktu yang direkrut dari wakil masyarakat. Honor petugas KPPS dilaporkan sekitar Rp 500.000 per orang. Ini tentu tidak sebanding dengan kerja yang dibebankan. Pada umumnya KPPS diisi staf pensiunan dari pegawai pemerintah yang sudah tidak bekerja atau relawan dari kalangan masyarakat yang peduli pada sukses Pemilu.Â
Karena staf KPPS bukan pegawai negeri, maka tidak terdapat pemeriksaan kelayakan kesehatan. Padahal mereka bekerja sejak subuh. Beberapa KPPS bahkan menghias TPSnya agar unik dan berbeda. Sebagian TPS adalah bangunan sementara dengan terpal sebagai atapnya sehingga harus menghadapi hawa panas, sekitar 30 Celcius. Banyak kritik diberikan kepada penyelenggaraan pemilu serentak ini, khususnya dalam konteks upaya menekan biaya dan menekan jumlah tenaga pengelola pemilu. Padahal biaya Pemilu juga sudah luar biasa tinggi.Â
Dilaporkan bahwa pemerintah memberikan uang duka sebesar Rp 36 juta kepada keluarga yang kehilangan staf KPPS karena meninggal. Pemerintah juga menyediakan dana kepada staf KPPS yang sakit. Namun, tentu ini memang bukan diniatkan sebagai solusi dan tidak sepadan dengan kerugian nyawanya.
Apa Rekomendasi Kita?
Kembali memisahkan pelaksanaan pilpres dan pileg tentu akan merupakan langkah mundur. Ini bisa dilihat dari beberapa argumentasi dan alasan mengapa pemilu serempak dilakukan.Â
Pemilu yang terpisah bukan hanya menghabiskan dana pemerintah tetapi juga mendorong dinamika dagang politik yang berlapis. Mohon sabar untuk tidak langsung menyemprot saya.Â
Ada yang bisa kita lakukan dan selamatkan, yaitu mereview dengan sistematis dan formal atas prosedur yang tidak ekonomis. Sudah banyak Kompasianer menuliskan ini dan bisa dipergunakan sebagai bahan. Saya rasa Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu serta DPR perlu mempertimbangkan langkah ini. Banyak ahli Pemilu dari lembaga dunia seperti IFES, IDEA, AEC (Australia Electoral Commision) yang pernah bekerja di Indonesia dan paham kondisi negeri bisa menjadi nara sumber.Â
Melihat pengalaman Pemilu 2019 dan memperhatikan pengalaman beberapa negara dengan penduduk banyak dalam menyelenggarakan pemilu, terdapat beberapa rekomendasi.Â
Rekomendasi tersebut memang sulit untuk berdiri sendiri sendiri karena persoalan kelelahan dan stres luar biasa dari para petugas di KPPS dipengaruhi oleh banyak hal.Â
Proses pendaftaran, persiapan, penyelenggaraan, dan penghitungan serta pelaporan adalah rangkaian kerja. Rekomendasi di bawah ini juga pernah menjadi bagian rekomendasi pada perbaikan pemilu di Amerika dan di beberapa negara dengan penduduk besar di Asia.
- Review sistem pemilu secara keseluruhan. Mereview dengan mengevaluasi itu berbeda. Pelajari apa yang menjadikan sisem pemilu kita begitu mahal.
- Ubah hari pemilu yang tidak hanya terbatas pada 6 jam dalam 1 hari. Buat satu hari sebagai hari libur untuk mencoblos bagi semua warga negara untuk menggunakan haknya, lalu perluas masa pemilu misalnya untuk periode 1 minggu.
- Waktu pemilu. Izinkan beberapa wilayah yang banyak memiliki area terpencil pada zona waktu yang lebih cepat atau lebih lambat seperti wilayah Indonesia Timur, NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat untuk dapat melakukan pemilu lebih dahulu. Ini akan membantu proses logistik yang diperlukan.
- Buat Kombinasi e-voting dan memilih di TPS. E-voting dipercaya dapat membantu akurasi pendaftaran pemilih, menyederhanakan pemilihan dan penghitungan serta transmisi hasil pemilu. Memang, di sisi lain, beberapa pengenalan teknologi dikhawatirkan akan terganggu oleh kesalahan fungsi dari peratalan, integritas mesin, dan risiko hacker. Untuk itu perlu persiapan yang baik dalam menyelenggarakannya. Perlu pemasangan block chain yang memadai pada penggunaan sistem e-voting. 2. Penggunaan block chain dalam e-voting untuk menjaga kredibilitas dan transparansi. Ini mengurangi kemungkinan adanya kecurangan dari beberapa pihak karena sistem dapat dilakukan verifikasi.Â
- Selain e-voting, pemilihan umum via TPS perlu pula dimungkinkan di wilayah yang literasinya rendah dan yang aksesnya pada internet terbatas. Masyarakat di wilayah terpencil mungkin memerlukan beberapa cara voting yang lebih fleksibel.
- Registrasi secara otomatis mereka yang masuk dalam usia yang punya hak pilih. Ini mengurangi waktu yang harus dialokasikan oleh KPU dan RT/RW untuk mendata calon pemilih. Juga mengurangi waswas dari pemilih apakah telah ada undangan atau belum dan sebagainya.
- Penggunaan kartu identitas yang fleksibel perlu ditegakkan. E-KTP tentu akan menjadi alat yang fleksibel untuk bukti memilih. Perampungan sistem dan penerbitan E-KTP menjadi keharusan untuk menjalankan sistem registrasi yang valid. Kalaupun tidak ada E-KTP, calon pemilih bisa menggunakan SIM yang juga inked dengan e-KTP agar keabsahan dan kemungkinan voting ganda dapat dihindari.
Satu hal yang perlu diingat adalah, di manapun pemilu diselenggarakan, risiko akan ada. KPU pada dasarnya menghadapi isu dan dinamika politik, hukum, teknis, operasional, dan risiko terkait dengan posisi pemain atau aktor politik, keterbatasan waktu, tekanan perlunya teknologi, keamanan staf KPPS, KPU dan Bawaslu, dan hasil yang kredibel.Â
Risiko yang ada dalam proses pemilu tentunya perlu diantisipasi dengan proses perencanaan dan mitigasi risiko yang memadai. Tampaknya, ini kurang mendapat perhatian secara memadai dalam konteks politik dan pemilu saat ini. Begitu banyak pihak "mengganggu" jalannya proses penghitungan hasil suara. Ini tentu menekan bukan hanya psikologis dari pada petugas KPPS tetapi juga KPU secara umum.