Pada Pemilu 2018 di Meksiko, sekitar 100 politisi meninggal pada jelang dan setelah pemilu. Juga 13.000 orang Meksiko terbunuh sejak Januari sampai dengan pemilu berlangsung di Meksiko. Ini adalah pembunuhan yang terorganisir dari para kriminal yang melawan pemerintah lokal dan melawan hukum.
Di India, seorang perempuan meninggal karena lama mengantre untuk mencoblos dalam pemilunya di tahun 2019 ini. Antrian semacam juga terjadi dari lebih dari 100 TPS di sana.Â
Tunduk Kepala, Review, Evaluasi serta Pembelajaran secara Profesional dan Memadai.
Kasus kematian staf KPPS yang begitu tinggi jumlahnya karena alasan kelelahan dan beberapa aspek psikologis sangat memerlukan reviu dan evaluasi. Reviu dan evaluasi Ini bukan hanya pada kerja KPU dan Bawaslu, tetapi pada keseluruhan sistem politik dan Pemilu kita.Â
Aspek psikologis dan tekanan dari berbagai pihak dalam proses penghitungan suara ini merefleksikan bagaimana dunia politik Indonesia yang tidak kondusif untuk kehidupan manusia normal. Dan tim di KPPS tidak siap dan tidak disiapkan oleh sistem yang ada.Â
Kita membaca banyak rekomendasi yang diarahkan pada pemisahan pilpres dan pileg. Â Ini tentu saja kemunduran. Pada saat yang sama, sedikit tulisan yang menganalisis dengan mendalam dan menyodorkan solusi untuk memperbaiki perencanaan, persiapan dan pelaksanaan serta pengadministrasian pemilu pilpres dan pileg sekaligus dengan menyodorkan perbaikan konkret, dengan berangkat dari sistem Pemilu yang ada.Â
Tekanan untuk memanfaatkan teknologi dalam pemilu tentu menjadi makin besar dengan adanya begitu banyak korban pada Pemilu 2019 ini. Memang teknologi pemilu sebetulnya perlu dipikirkan oleh Mendagri, Â KPU dan juga DPR yang akan datang. Dan ini berarti perlu diskusi yang substansial serta 'exercise' yang memadai. Kita tidak dapat mentolerir lagi kejadian tragis yang menimpa staf KPPS.Â
Teknologi dalam pengadministrasian pemilu, misalnya, dapat memperbaiki tingkat efisiensi pelaksanaan pemilu dan komunikasi, meringkas pelaksanaan pemilu, mengintegrasikan berbagai sistem, menurunkan biaya operasional dan menekan kebutuhan sumber daya manusia. Untuk itu, modernisasi Pemilu menjadi kebutuhan untuk memecahkan isu isu tertentu.
Kalaupun akan tetap dilakukan pemilu di TPS, paling tidak penghitungan dan pelaporan bisa dibantu teknologi. Pengguaan 'smartphones' misalnya, dapat memberdayakan KPPS dan juga warga untuk memerankan fungsinya sebagai pemantau, melakukan penyiaran informasi, gambar dan video secara 'real time'.Â
Teknik dan teknologi semacam ini merupakan bagian dari pengalaman the International Foundation for Electoral Systems (IFES) yang telah terbukti menjadi "champion" dan pionir dalam hal penggunaan teknologi dan pengadministrasian pemilu yang efisien dan transparan di banyak negara di seluruh dunia. IFES juga memberdayakan warga melalui inovasi yang menggunakan teknologi dengan memaksimalkan penggunaan aplikasi.Â
Pemilu serempak ini menuntut KPPS mengelola dan mengadministrasikan empat sampai lima jenis kartu suara pada saat yang sama. Artinya, sekitar 600 juta kartu suara dikelola dan diadministrasikan serta dihitung secara manual.
KPPS di beberapa kabupaten memiliki lebih dari 100 anggota kandidat, menjadikan kartu suara selebar poster. Beberapa KPPS memerlukan waktu 24 jam nonstop untuk menghitung dan mengecek kartu suara. Sebagian lain bahkan membutuhkan waktu lebih dari 30 jam. Juga dilaporkan terdapat kecelakaan petugas yang mengangkut kartu suara.