Mau menangis rasanya karena iri pada apa yang ia miliki. Sekaligus saya malu bahwa saya atau mungkin kita sangat terlambat membaca buku penting itu.
Kemudian, kawan saya tersebut menantang saya untuk menulis tentang Kartini. Kami berencana menulis tentang pandangan-pandangan besar dari tokoh dunia timur, misalnya Nehru, Jose Rizal, dan Kartini. Sayangnya, proyek itu tidak pernah terselesaikan.Â
Dari situ, saya mencoba mencari tahu dan mencoba membaca e-book dari "Letters to Sartre', Siome de Beauvior, and Kartini: Sebuah Biografi, oleh Siti Soemandari Soeroto, dan satu buku favorit saya 'Panggil Aku Kartini Saja" oleh Pramoedya Ananta Toer. Itulah buku-buku yang membangunkan tidur lama saya tentang Kartini.
Dari buku-buku itu dan dari Pramoedya, saya akhirnya sedikit kenal Kartini.
Memang karya Pramoedya merupakan karya sastra, namun saya bisa mengenal perempuan istimewa ini dari sisi yang berbeda-beda. Buku Pramoedya adalah dua dari empat jilid yang tersisa karena jilid ketiga dan keempatnya dibinasakan pada tahun 1965. Suatu pembinasaan yang bodoh.
Bukan Hanya Soal Emansipasi Perempuan
Mari kita mulai mengenal Kartini dalam emansipasi. Apa itu?
Bagi Kartini, di suratnya kepada Ms Zeehandelaar pada 25 Mei 1899, emansipasi adalah tujuan-tujuan kuat untuk bebas dan untuk mampu menentukan arah tujuan hidup sendiri. Di sini, aspek pemberdayaan dan kemampuan menentukan kepentingan sendiri menjadi kritikal.Â
Ketika Kartini menulis kepada Ms Van Kool di bulan Agustus 1901 tentang betapa berbedanya Indonesia bila perempuan berpendidikan, saya melihat Kartini tidak hanya memasukkan pendidikan perempuan. Tetapi ia menyadari bahwa dibandingkan dengan laki laki, perempuan adalah kelompok yang perlu mendapat perhatian.
Ia percaya peran perempuan penting dan pendidikan bisa menjadi pintu keluar dari ketertinggalan.Â
Untuk itu saya tidak terlalu melihat bahwa fokus Kartini hanya pada emansipasi perempuan. Ini yang saya lihat menjadi salah kaprah di kalangan kita. Kita salah memahami tentang Kartini. Kita akan segera tahu, mengapa kita telah salah mengenal Kartini.Â
Pada suratnya kepada Stella Zeehandelar pada 18 Agustus 1899, Kartini secara keras melawan feodalisme. Ia melihat feodalisme dan aristokrasi adalah cara paling bodoh untuk melihat dan mengukur orang untuk menentukan posisinya.