Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Doa untuk Negeri atas Pemilu Paling Kompleks se-Dunia

17 April 2019   19:47 Diperbarui: 21 April 2019   16:19 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kartu kita diangkut gajah di Aceh Selatan (Chaideer Mahyuddin)

Pemilu telah usai. Kemeriahan dan perayaan rakyat penuh damai telah digelar. Kita harus merayakan keberhasilan merangkai damai. Angka Quick Count dan Exit Poll telah diluncurkan sejak jam 15.00 untuk melihat prediksi hasilnya. Apapun hasil 'real count'nya, kita berharap kebaikan bagi bangsa ini.

Pemilu kali ini adalah Pemilu yang membuat saya secara khusus memanjatkan doa. Ini rahasia kita. Boleh anda katakan saya lebai. Ikhlas sudah dengan sebutan itu.

Dan rupanya saya tidak sendirian. Supir taksi, Asisten Rumah Tangga (ART), Mas Yono penjual sayur langganan keluarga kami, dan juga kawan kawan dan saudara saya yang mungkin  dikatakan 'lebai' melakukan hal yang sama. Doa kecil sebelum berangkat ke TPS. Untuk kedamaian dan keselamatan. Bukan semata untuk kemenangan jagoan. Ini tentu karena kita perduli tentang keutuhan bangsa . Kita lelah membaca sumpah serapah tak berkesudahan. 

Pemilu kali ini punya wilayah politik dan ideologi yang begitu kompleks. Kompleksitas yang mungkin tidak bisa kita bayangkan hanya dengan melihat perang posting oleh Cebong dan Kampret yang ada di media sosial. 

Data yang dirilis CNN pada bulan ini menunjukkan bahwa Pemilu 2019 didanai sebesar Rp 24,8 triliun untuk memfasilitasi 192 juta pemilih yang terdaftar. Ini belum termasuk sumbangan korporasi dan swadaya warga untuk berkampanye dan mensukseskanya.

Pemilih itu tersebar di 810.329 TPS di 19.000 pulau di Indonesia dan dikelola oleh 7.2 juta orang panitia Pemilu. Dan semua riuh rendah perhelatan ini adalah untuk memilih sepasang presiden dan wakil presiden dan 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia untuk periode 2019--2024 (CNN, April 2019).

Bahkan, bila kita cek data dari Setkab, anggaran itu lebih tinggi. Kompasianer Philip Manurung menyodorkan angka dari Setkab sebesar Rp 25,59 Trilium, belum termasuk biaya pengawasan sebesar Rp 4,85 Triliun, dan biaya keamanan Rp 3,29 Triliun, sehingga totalnya sekitar Rp 33,73 Triliun.

Ini mungkin saja kemewahan luar biasa, atau memang menunjukkan gambaran luasnya wilayah dan masyarakat yang dilayani. Pesta besar yang dilakukan dalam 1/4 hari, atau tepatnya 6 jam saja.

Sementara, Pemilu di India (dan di Amerika) dilakukan dalam rentang beberapa bulan. Bukankah Pemilu kita begitu kompleks?  Berbagai media asing ternama melihat demikian pada aspek ini.

Bagaimana kita mengadakan dan mengelola suatu Pemilu yang bersih dan jujur di tengah iklim politik dan korporasi yang saling korupsi dan pemerintahan yang masih belum efisien.

Bagi Indonesia, Pemilu yang dimaksud adalah yang diadakan dengan TPS dengan kartu suara dan paku dan bukan dengan pena dan komputer atau mesin online untuk lakukan hak pilih, serta 1,6 juta botol tinta yang bersertifikasi halal. Ini adalah kompleksitas berikutnya. 

Dokumentasi dari proses Pemilu 2019 ini luar biasa. Dimulai dengan hiruk pikuk dan berseliwerannya berita yang valid maupun tidak valid, yang baik dan yang busuk, termasuk hoaks.

Juga dinamika bagai naik 'jet coaster' akan harapan baik dan bencana. Upaya upaya tipu daya. Dalam realita proses transportasi kartu suara yang dilakukan melalui bantuan kuda sampai gajah, diterbangkan dengan pesawat terbang dan diseberangkan melalui kapal dan sungai. Dengan atau tanpa alat transportasi yang ada. Kadang bahkan hanya dengan berjalan kaki. Dijaga oleh tentara dan warga. Ke penjuru Nusantara. Kota, desa dan pelosok negeri. 

Kartu kita diangkut gajah di Aceh Selatan (Chaideer Mahyuddin)
Kartu kita diangkut gajah di Aceh Selatan (Chaideer Mahyuddin)
Tak heran bila the Guardian dan the Economist menyebut bahwa Pemilu kita adalah Pemilu 6 jam yang terkompleks di dunia. Tentu ini relatif karena pemilu di India juga ribet.

Dan saking pentingnya Pemilu kita bagi dunia, berita hasil quick count dan exit poll sudah pula beredar di media internasional. Begitu cepat. Begitu terkini.

Observer internasionalpun berpartisipasi dalam pengawasan Pemilu di luar negri. Sebagai contoh, Rosalia Scortiono, kawan baik berkebangsaan Italia menjadi observer di Bangkok. 

Artinya, kita tidak bisa membuat cerita akal akalan lagi. Kecurangan Pemilu akan juga menjadi bagian yang akan dikomentari observer dunia.

Kecuali, kalau memang kita mau 'ngotot kawat balung wesi'. Ngotot tak terpatahkan realita. Ini berbeda dengan 'Otot kawat balung wesi" yang merupakan kekuatan Gatot Kaca yang kuat bagai otot kawat dan tulang besi. 

Staf KPU di Surabaya mengangkut dan menjaga Kartu Suara (Juni Kriswanto)
Staf KPU di Surabaya mengangkut dan menjaga Kartu Suara (Juni Kriswanto)
Lelah kita terus menerus mengulang diskusi soal metode 'quick count', 'exit poll' dan ;real count'. Itu bahasan lama sejak masa Forum Rektor di Pemilu 1999. Juga di Pemilu 2004 dan 2009 dan 2014. Bosan, kan? Tak usah lagi diperdebatkan metofologinya. Namanya survai dengan sampel tentu harus mewakili populasi. Kalau sampel diakali hanya pada wilayah yang menang saja tentu hasilnya berbeda.  Lebih baik kita tunggu hasil penghitungan riilnya. KItapun harus terus memantau. Kalau ada masalah, laporkan pada Bawaslu. Namun, pakai pengetahuan yang telah kita dapat dari guru guru kita yang telah ajarkan. Jangan dari NOL. Kita tak ingin disebut sebagai bangsa yang tak belajar, bukan? 

Tak usah kita pura pura bodoh. Almarhum ayah saya bilang, kalau kita pura pura bodoh maka kita akan jadi bodoh beneran. Bila kita pura pura tak dengar, kita bisa jadi budeg beneran. Logikanya benar. Otak kita memilah mana yang dianggap tak perlu dan kita tak mau tahu dan membuangnya dari memori. Bodohlah kita. Lupalah kita jadinya. 

Saya sengaja tak membuka WA group karena diskusinya masih terus dengan perdebatan cebong dan kampret sebelum hari pemilu ini. Sama saja. Membosankan. Melelahkan. Menyakitkan. Malulah kita ditonton masyarakat miskin yang menunggu hasil Pemilu ini dengan harapan perbaikan hidup mereka.

Sungguh malu membayangkan bahwa saat ini, mama mama di desa Kambata, Kalihi,  dan di Lewa Tidahu di Sumba Timur yang baru diterangi listrik menonton perkembangan hasil Pemilu dengan penuh harapan. Bahwa hidup mereka akan lebih baik  atau paling tidak sama baiknya dengan simbok simbok di Jawa dan emak emak Betawi yang mereka tonton di televisi. 

Melihat realita dan dinamika Pemilu kita, saya tertunduk dan malu pada diri sendiri, tentang betapa naifnya saya akan luasnya samudera kita dan ratusan juta nyawa manusia yang ingin mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan. Tentang betapa biaya, baik biaya pendanaan berupa anggaran pemerintah, donasi korporasi maupun sumbangan sukarela warga. Juga biaya yang tidak dapat dinilai dengan uang berupa caci maki, perpecahan, permusuhan dan fitnah serta kemarahan yang keji.

Sayapun dibuat sadar untuk kesekian kali, bahwa kita sebangsa bersaudara. Sebagai saudara, kita lakukan apapun. Seabagai saudaraku kita membagi minum ketika anda haus di tengah perjalanan. Sebagai saudaraku, kita membagi uang ketika anda sedang urgen membutuhkan untuk bayar sekolah anak. Sebagai saudara, kita  membela dan ikhlas mempertaruhkan nyawa ketika ia tahu bahwa anda dalam bahaya. 

Padahal saudara kita tak selamanya seiman dengan anda, dan tak sepaham dalam politik dengan anda. Bolehkah kita sudahi semua keriuhrendahan yang ada selama ini? Tidak perlu kita ikuti gaya warga dunia lain yang terus bertengkar. Bagaimana bila kita jadikan kerukunan kita sebagai model dunia. Agar Bhinneka Tunggal Ika tidak tergantung sepi mati di kaki Garuda Pancasila.  

Meski pendek dan sederhana, saya berdoa sebisanya dan semampu saya. Semoga apa yang kita perjuangkan dan kita perdebatkan janganlah jadi sia sia. Apalagi membawa korban lebih banyak. 

Anggaplah semua itu adalah keinginan mempertahankan persaudaran sebagai bangsa yang berbagai dan ingin tumbuh setara. Jauhkan kami dari mereka yang mengaku membela kita tetapi kalkulator di kantongnya menghitung dan merampok harta kita. jauhkan bangsa ini dari para koruptor politik, korporasi dan pemeintah yang menggerogoti pembayaran pajak kita . 

Kepada siapapun yang menjadi pemenang Pemilu kali ini -- Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR RI, Anggota DPD, dan DPRRI -- dengar suara sederhana kami. Dengar dan perhitungkan kepentingan kami - kepentingan orang biasa yang tak mimpi soal milyaran ataupun triliunan rupiah. Namun, kepentingan untuk hidup dalam kehormatan warga bangsa. Kami hanya ingin uneg uneg kami didengar dengan sesungguhnya. 

Dengar Kebutuhan bangsa ini. Dengar persoalan kami. Persoalan pengungsi. Persoalan mereka yang tak bertanah tapi harus hidup. Persoalan mereka yang terpencil. Persoalan mereka yang mungkin masih tak sanggup makan.

Kami berharap jangan tutup pintu kantor anda. Jangan tutup dialog kita. Jangan kau tutup mata anda. Atas persoalan persoalan yang masih ada. Memang banyak pekerjaan rumah. Ini Indonesia nyata. Bukan cerita dongeng soal semua yang serba baik dan sukses. Memang ini perjuangan bersama. 

Bagi yang tidak terpilih dalam proses demokrasi ini, mohon tahan emosi dan kembali kepada kedewasaan berdemokrasi. Bangsa kita telah lelah dengan dinamika kealpaan, kesengajaan pada kekacauan, dan juga kekerasan serta pemaksaan kehendak.

Sudah cukup kekacauan yang terjadi dalam revolusi kemerdekaan, kekerasan dengan pembunuhan dalam peristiwa 1965, dan juga kekerasan dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan seksual di tahun 1998. Sudah cukup. Jangan buat tragedi lagi. jangan menyayat dan melukai tubuh, pikiran, dan ingatan kami

Ini demi generasi muda yang terlahir kini. Kembalilah kita pada kewarasan. Apa yang terjadi bukanlah kekalahan. Banyak tugas kita sebagai bagian dari masyarakat dan bagian dari keluarga. Turut serta benahi negeri. Hadir dalam partisipasi kemasyarakatan. Raih mimpi mimpi pribadi. Hidup kita bukan hanya untuk Pemilu 1/4 hari.

Bagi para elit politik negeri dan juga Kompasianer serta media - bantulah kami dan kita untuk menyudahi caci maki dan dusta. Demi negeri dan bangsa ini. Demi anda juga. Ingatlah bahwa andapun punya keluarga dam generasi muda yang harus anda lindungi. 

Bosan kami dengan segala sumpah serampah Pengkampretan dan Pencebongan. Kami percayakan suara yang kami tadi berikan untuk kebaikan bangsa kepada kalian yang terpilih. Jadikan kami bangsa yang terhormat dan bermartabat serta rukun damai. Aamiin YRA.

Pustaka : 1. Pemilu Indonesia di the Guardian. 2. Pemilu Indonesia di the Economist, 3. Capres yang menolak diajari demokrasi, 4. Pemilu Indonesia yang Paling Kompleks

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun