Â
Pagi pagi jam 7.00 saya sudah siap untuk berangkat ke TPS. Walaupun saya penghuni desa di kaki Gunung Merapi, saya memutuskan untuk mencoblos di TPS di wilayah penerbit KTP saya di Jakarta. Saya siapkan dan cek KTP dan surat undangan Pemilu. Pak RT kami, Bapak Irfan, sempat mengkonfirmasi telah dikirimkannya surat undangan melalui WA. Â Beruntung sekali kami memiliki Pak RT yang muda dan efisien.Â
Jam 7.30 saya sudah berangkat menumpang Grab menuju TPS. Saya bertanya kepada bapak Pengemudi, memastikan bahwa ia tidak kehilangan kesempatan menyoblos karena mengantar saya. "Saya sudah rencanakan jam 11.00 pulang ke rumah, bu. Pagi pagi saya cari duit dulu". Aman.
Setelah mobil bergerak, sang bapak pengemudi bertanya lagi kepada saya "Bu...ini kan sudah dekat masa coblos. Boleh saya tahu ibu pilih siapa?". Sambil mencoba melihat wajah si bapak yang saya perkirakan berusia sekitar 60 tahunan, sayapun jawab "Nah..kan sudah dekat masa coblos. Bapak dulu cerita dong". Si bapak "Saya pilih yang sudah jelas kerjanya. Jelas baiknya. Tulus. Bu...". Saya langsung paham.
Namun, saya lalu terkejut ketika sang mengemudi sesenggukan menangis. Waduh...kenapa nih. Bingung juga.Â
"Saya kasihan lihat jagoan saya dihina. Dikata-katain dengan kasar. Saya kan lihat di Facebook, bu. Ya perempuan. Ya laki laki. Komentar tidak sepantasnya. Fotonya dibuat meme meme ga jelas. Dibuat seperti monyet. Ada juga fotonya yang ditempel di badan orang telanjang. Dikata-katain dengan kalimat yang kasar. Seakan jagoan saya bodolah. Leletlah. Lambatlah. Lha saya yang orang susah ini sudah merasakan manfaat pembangunan kok, bu. BPJS itu berguna banget untuk orang seusia saya. Saya yakin, mereka yang hina hina itu tidak pernah menggunakan jasa BPJS", sang Bapak terguguk. " Anak saya suka tunjukin juga dari HP nya. Maaf ya bu. Saya emosi", ia melanjutkan. Mata saya basah. Saya memang mudah cengeng. Â
Sang Bapak masih melanjutkan kalimatnya " Saya percaya pada orang baik, bu. Dia didzolimi. Orang yang baik tapi didzolimi itu insya Allah dipiih Allah, bu". "Aamiin", saya tak sadar menjawab. Sang Bapak menoleh ke belakang ke saya, tersenyum dan cepat berkata "Nah ibu gantian cerita. Ibu pilih siapa?".
Mengingat sang bapak Grab tulus dan memang ia yang mengajukan pertanyaan, saya jawab "Insya Allah, saya pilih yang ga gebrak gebrak meja". Sang bapak Grab tertawa lebar "Oh iya bu. Itu apa ga malu ya gebrak gebrak di mimbar dipandang banyak orang. Cuma cari viral". Duh...senang saya lihat dia tertawa. Selanjutnya, kami berbicara soal jalanan Jakarta yang sepi seperti masa masa libur lebaran.
"Kasih bintang lima ya bu", kata si Bapak Grab ketika kami tiba di TPS di Kompleks Billy & Moon di Jakarta Timur sekitar jam 8:15. Saya beri ia jempol saya sambil tertawa, tanda setuju.
Lokasi TPS berada yang berada di halaman Kantor RW Billy & Moon dan bersebelahan dengan lapangan tenis itu sudah ramai. Terdapat 9 TPS di area ini. TPS 191 sampai 199. Saya segera menuju TPS 199. Warga sudah berkumpul. Sebagian mengantri. Beberapa orang tampak berjongkok di depan papan yang ditempeli informasi foto dan informasi Capres Cawapres dan Caleg. Saya putuskan tidak melihat dinding itu. Saya sudah punya gambaran tentang siapa yag saya pilih. Seorang bapak dengan kursi rodanya mengobrol dengan sesama warga. Ibu sepuh dengan alat bantu jalannya 'walker' diiringi seorang perempuan muda, berjalan menuju tempat pendaftaran.Â
Antrian belum panjang. Tambak warga sudah Saya hanya butuh 10 menit mengantri dan mendaftar di buku daftar hadir. Saya sempat bertukar urutan antrian dengan sepasang suami istri agar mereka bisa bergabung dengan keluarganya. Tampaknya mereka kakek nenek dari anak kecil yang turut bersama pasangan yang ada di depan saya.
Okay, kembali ke liputan di TPS. Tampak warga antri tertib memasuki kotak satu persatu. Petugas begitu apik memantau jalannya proses pemilu. Saya hitung, rerata warga memerlukan waktu sekitar 2,5 sampai 3,5 menit untuk mencoblos. Memang terdapat seorang ibu sepuh, usia di atas 70 tahun yang memerlukan waktu lebih dari 7 menit di ruang suara. Dan, iapun mengangkat tangan minta ditolong. Petugas mendekati si ibu dan menanyakan kebutuhannya. Ia rupanya tidak bisa mengembalikan lipatan kartu suaranya. Petugaas sempat berkonsultasi dengan wakil dari Bawaslu terkait siapa yang boleh membantu pemilih ketika ada masalah di ruang suara. Ibu wakil dari Bawaslu menjawab "wakil keluarga bisa bantu'.Â
Giliran sayapun tiba. Saya ambil tumpukan dengan empat kartu. Saya periksa terawang (dari halaman belakang) di depan petugas. Aman. Saya masuk ruang suara. Saya coblos satu persatu. Saya lipat dan masukkan ke dalam kotak suara. Saya selesaikan cukup cepat. Saya cek 'timer' saya yang menunjuk angka 2.38,17. Dua setengah menit saya perlukan untuk gunakan hak suara saya. Rasanya lega.
Saya berkeliling meja meja dagangan yang ditata ibu ibu jual di meja meja bazaar di area sekitar TPS. Mpek mpek tentu enak dinikmati setelah nyoblos. Sejauh ini damai.Â
Kita tunggu hasilnya. Doa saya semoga Indonesia menjadi tempat yang nyaman untuk kehidupan kita semua. Damai Indonesia.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H