Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Apa yang Saya dan Perempuan akan Dapatkan dari Pemilu 2019?

16 April 2019   03:53 Diperbarui: 16 April 2019   08:19 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi theconversation.com

Perempuan dalam Pemilu Presiden 

Pemilu sudah di depan mata. Tinggal 1 hari lagi. Di saat inilah, saya merenung. 

Saya bertanya pada diri saya "Apa yang akan saya dapatkan sebagai perempuan dari Pemilu ini?" Dan, mau tak mau, saya juga bertanya dalam konteks lebih luas "Apa yang kami dapatkan sebagai perempuan Indonesia dari Pemilu ini?

Untuk Pemilu Presiden, dari sisi keterwakilan perempuan dalam 'pencapresan', tampaknya kami perlu menunggu kehadiran capres atau cawapres di Pemilu 2024. Bagaimana dengan substansi dari kebijakan dan program kedua paslon ? 

Kebijakan publik dan program harus menguntungkan saya dan perempuan. Bukan berarti ini soal keuntungan duit dari pembangunan (dan itu terserah pada masing masing individu), tetapi bagaimana kebijakan dan program akan merubah kualitas hidup saya dan perempuan lain, khususnya dari kalangan miskin beserta keluarganya. 

Saya telah menuliskan beberapa hal dan juga soal partisipasi perempuan di artikel ini.  Untuk itu, ijinkan saya tidak mengulangnya.

Perempuan dalam Pemilu Legislatif? 

Dari sisi kuantitas, persentase perempuan sebagai calon legislatif adalah 40% dari Daftar Calon Tetap (DCT) dari total caleg DPR yang berjumlah 7.968 calon dan caleg DPD berjumlah 807 calon (Sekretariat Kabinet, Maret 2019).

Persentase 40% caleg perempuan ini adalah tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Kita memahami bahwa terdapat kuota 30% dari yang ditetapkan dalam Undang Undang Pemilu dan Undang Undang Partai Politik.

Apakah ini sudah prestasi? Kita masih harus lihat bagaimana hasilnya nanti.

Apakah akan diperoleh jumlah kursi yang lebih tinggi dari Pemilu sebelumnya? Seperti kita ketahui, kursi perempuan di legislatif dari hasil Pemilu 2004 adalah 11%, dari Pemilu 2009 adalah 17,9% dan dari Pemilu 2014 menjadi 17,3%. 

Terima kasih pada berbagai lembaga perempuan yang bekerja keras untuk mendorong dan mengajak partai untuk memenuhi minimal kuota 30 % perempuan yang ditetapkan oleh Undang Undang Pemilu dan Undang Undang Partai Politik. 

Bagaimana dengan substansi Caleg perempuan ini? Kita perlu memantau kapasitas dalam menjalankan 3 peran utama legislator, yaitu kapasitas menyusun perundangan, kapasitas menyusun anggaran, dan kapasitas melakukan pengawasan. Apakah partai masing masing telah memberikan bekal memadai? 

Dari pengalaman yang lalu, termasuk dari studi yang saya lakukan, hampir semua anggota DPR yang baru memasuki masa tugasnya, baik perempuan maupun laki laki pada umumnya tidak paham 3 tugas utama mereka. Biasanya, diperlukan paling tidak satu tahun pertama masa tugas bagi mereka untuk memahaminya. 

Ada hal lain yang menarik soal substansi. The Policy Analyses of Conflict (IPAC) menyampaikan "If the 212 movement reinvented Muslim political identity in majoritarian terms, it also activated women's political agency along conservative lines: mothers must mobilize against Jokowi in order to protect their children from un-Godly communism, homosexuality, and other moral threats associated with Jokowi's camp". 

Dalam terjemahan umumnya "Selain gerakan 212 menghidupkan kembali politik identitas dalam arti luas, ini juga mengaktivasi agenda perempuan dalam politik dalam garis yang konservatif. Kaum Ibu harus memobilisasi diri melawan Jokowi yang disebutkan untuk melindungi anak anak dari ancaman Komunis tak berTuhan, homoseksualitas, dan ancaman moral yang berhubungan dengan kelompok kelompok pendukung Jokowi". Ditambahkan oleh laporan itu bahwa sebetulnya pemikiran seperti itu sebetulnya telah berkembang sejak Pilkada DKI 2017.

Mengapa Feminis Disalahartikan? Ada Laki Laki Feminis Lho

Dyah Ayu Kartika melalui newmandala.org menyampaikan bahwa Pemilu 2019 menggarisbawahi tumbuhnya pengaruh caleg caleg perempuan yang anti pemikiran dan keberadaan feminis yang sebetulnya telah lama memiliki kepemimpinan perempuan yang kuat dan bekerja memberdayakan perempuan selama bertahun tahun di akar rumput.

Kita ingat beberapa nama seperti Ibu Aisyah Ammini dari PPP, Ibu Tuti Alawiyah, Ibu Siti Nordjanah dari Muhammadiyah? Mereka hanya sebagian dari individu dengan pemikiran feminis. 

Dan, seperti yang kita duga, banyak pemahaman yang salah tentang apa itu feminis. Feminis diartikan sebagai perempuan pemberontak yang tidak mau mengurus rumah dan anak, misalnya. Atau feminis diartikan sebagai kelompok perempuan yang melawan suami dan laki laki. Lha ya salah kaprah.

Kita gunakan saja acuan yang populer yaitu Wikipedia "Feminis adalah kelompok yang memperjuangkan hak perempuan berdasarkan kesetaraan perempuan dan laki laki." Oleh karenanya, feminis bukan hanya perempuan. 

Terdapat laki laki yang juga feminis. Untuk memudahkan kita melihat siapa itu feminis laki laki, di antara Kompasianer, saya melihat kawan kita pak Felix Tani dan Bobby Steven adalah dua laki laki feminis yang ada di Kompasiana. 

Masih banyak rekan Kompasiana lain yang saya tidak sebutkan di sini, yang memiliki pemikiran dan spirit keadilan. Mereka menulis tentang banyak hal yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki laki, agar dunia ini bisa menjadi tempat yang nyaman bagi keduanya.

Di luar Kompasiana, saya bisa menyebutkan laki laki feminis, antara lain KH Dr Husein, KH Dr Quraish Shihab, KH Dr Nasaruddin Oemar, KH Dr Maruf Amin dan juga almarhum Gusdur.

Walau kita telah berjuang lama dan perempuan dilindungi oleh Piagam Persatuan Bangsa Bangsa. Masih terdapat banyak isu ketidakadilan gender yang berakar kuat dalam budaya kita. Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, terbatasnya akses pada air, tanah, teknologi, waktu, ilmu pengetahuan, pendidian, kesehatan, keuangan, infrastruktur, di samping partisipasi perempuan yang rendah dalam politik. 

Mungkin anda ingat kalangan DPR yang mana yang menolak disyahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual? Pada saat yang sama, kita terus menemukan bahwa korban perkosaan terus meningkat dan pelaku gentayangan. pakah ini tidak mewakili keresahan kita sebagai perempuan? 

Dalam hal perbedaan pandangan antara Caleg perempuan yang konservatif dan mereka yang telah bekerja lama di akar rumput, upaya untuk menjembatani dialog di antara keduanya adalah penting, karena pada akhirnya mereka akan bertemu dalam diskusi di ranah kongkrit.

Pemunculan Gerakan dan Gelombang Perempuan yang Baru (tapi dengan nilai lama dan konservatif?)

Terdapat hal baru. Peran 'emak emak' sebagai relawan dan peserta kampanye pada Pemilu 2019 sangat signifikan. Peran 'emak emak' ini diakui oleh Capres 02, Prabowo dalam debat putaran kelima. Emak emak' ini berpanas di bawah matahari, bekerja keras dan semangat melakukan kampanye dari pintu ke pintu.

Yang menarik, Tirto.id memberitakan bahwa meski Prabowo dan Sandi mengklaim berada di pihak emak-emak, mereka tidak secara eksplisit memasukkan isu gender dalam visi-misi mereka. Jadi, apa alat tagih perempuan?

Secara pribadi, saya risih ketika terminologi 'emak emak' muncul dalam politik. Saya kuatir terminologi 'emak' yang kita hormati nantinya jeblok karena dipolitisasi.

Dicatat oleh Dyah Ayu Kartika bahwa, "Emak-emak' dari Partai Keadilan Sosial (PKS) pada kampanye di beberapa wilayah, seperti di Bekasi, bahkan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Dan, sebutan 'the power of emak emak' mewakili gambaran peran perempuan akar rumput yang menjadi mesin kampanye untuk Paslon Capres dan Cawapres Prabowo dan Sandi", demikian tulisan itu. 

Yang menarik tetapi aneh, gerak kerja 'Emak emak' ini pada umumnya dikaitkan dengan dukungan kepada politikus senior laki laki, tetapi bukan dukungan pada politis perempuan. Tiadakah pemimpin perempuan di antara 'emak emak' itu? Juga, dicatat bahwa banyak perempuan muslim konservatif melakukan kampanye dengan cara cara baru dan unik dalam Pemilu 2019. Mereka  menggunakan medsos dan majelis taklim dalam kampanyenya. 

Dalam kampanyenya, perempuan pekerja migran diharapkan untuk tidak meninggalkan suami dan keluarganya. Untuk itu, mereka mengatakan bahwa ijin kerja ke luar negeri seharusnya hanya diberikan kepada laki laki.

Ini tentu cukup menggelisahkan. Risiko dari implementasi pemikiran tersebut adalah akan ditemukan peningkatan jumlah perempuan pekerja migran tanpa dokumen. Artinya mereka akan lebih tidak terlindungi.

Penggunaan argumentasi ketahanan keluarga yang mengadvokasi agar perempuan tidak bekerja di ruang publik, melainkan kembali ke rumah agak sulit dipahami.

Selama ini berbagai pihak memperjuangkan keadilan ruang dan kesempatan bagi perempuan dan laki laki, agar keduanya bisa berperan aktif di dua wilayah kehidupan -- ruang publik dan keluarga. 

Seperti yang saya sampaikan di artikel saya beberapa hari yang lalu tentang Partisipasi Perempuan di Ekonomi adalah Tanggung Jawab Bersama, biasanya perempuan akan dianggap penyebab anak yang nakal, tidak berprestasi atau 'gagal'. Perempuan bekerja dipersalahkan ketika generasi muda bangsa ini menjadi berantakan. Mengapa tidak didiskusikan begitu banyak anak anak yang berhasil padahal ibunya bekerja, atau bahkan menjadi orang tua tunggal. 

Dyah Ayu Kartika menyampaikan bahwa nilai nilai konservatif ini akan cukup menyebar luas karena terdapat caleg perempuan, Azizah, misalnya, yang tentu memiliki banyak konstituen karena ia pernah menjadi Ketua PKK ketika sang suami, yang merupakan mantan Walikota Depok Nur Mahmud Ismail,

Kita baru membicarakan pandangan Caleg perempuan. Tentang bagaimana pandangan Caleg laki laki tentang keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki laki akan saya serhkan penilaiannya pada anda. 

Nilai nilai yang kita bicarakan di atas menjadi penting untuk diamati dan dipahami. Ini situasi yang berbeda dibandingkan dengan Pemilu 2004 dan 2009, serta 2014.

Pada ketiga Pemilu tersebut, Caleg perempuan dari partai manapun bersatu dan diharapkan memiliki pandangan yang progresif untuk memajukan perempuan dan negaranya. Juga mereka memiliki program 'women vote women'. 

Jadi, seberapa perempuan pemilih di Indonesia akan mendapat manfaat dari Paslon Capres Cawapres serta Caleg Caleg, baik Caleg perempuan maupun Caleg laki laki di Pemilu 2019 ini? Seberapa aspirasi serta suara kita sebagai perempuan didengar dan dipertimbangkan oleh mereka yang kita pilih itu? 

Sebagai perempuan, saya mengingatkan diri saya sendiri akan perlunya menghitung manfaat Pemilu 2019 bagi saya dan perempuan lainnya. Apakah saya hanya akan menyoblos? Apakah saya hanya jadi mesin untuk memenangkan Pemilu 2019 bagi paslon dan Caleg tertentu? Ataukah saya akan menjadi pemenang, berdaya, dan berkemajuan?

Pada akhirnya, semuanya adalah pilihan kita. Pilihan itu tentu juga berdasar pemahaman dan keyakinan kita tentang daya tagih kepada Paslon Capres dan Cawapres serta Caleg Caleg yang ada dan kita akan pilih. 

Hasil Pemilu 2019 sudah semestinya untuk semua. Bukan untuk golongan atau kelompok tertentu saja. Ya, saya memang seorang perempuan. Ya, saya warga Indonesia yang ingin ada perubahan pada nasib perempuan.

Pustaka : Nilai dari gerakan baru; 2) Mengapa Orang Benci Feminis; 3) Apa yang dimenangkan perempuan dari Pemilu 2019; 4) Perempuan baru merasakan adil kotak suara 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun