Memang peneliti teori evolusi dari kacamata antropolog mengidentifikasi bahwa rasio jenis kelamin yaitu jumlah penduduk laki laki yang lebih tinggi daripada jumlah penduduk perempuan menyebabkan sering terjadi pertengkaran untuk memperebutkan laki laki. BTW, penduduk laki laki Indonesia lebih banyak dari perempuan lho. Ada beda sekitar 2 juta orang. Namun, ditemukan bahwa agresi di antara anak laki laki untuk memperebutkan anak perempuan juga terjadi, seperti juga agresi di antara anak perempuan yang memperebutkan anak laki laki. Studi terkait 'intrasexual competition' menunjukkan perbedaan intensitas dan dampak dari keduanya.Â
Secara teori, diasumsikan terdapat hambatan perempuan untuk lakukan kekerasan antar perempuan karena budaya bahwa perempuan tidak melawan. Namun, dari sisi budaya, terdapat aspek 'role model' yang biasanya didapat dari orang tua, ibu dan perempuan sekitarnya. Â
'Role model' di masa kini tidak hanya orang tua. Lingkungan dan juga media menjadi 'role model' yang secara voluntir namun intensif menawarkan opsi opsi yang menjurumuskan. Kita lihat saja tontonan di televisi, baik tontonan lokal maupun impor. Kompetisi perempuan untuk memperebutkan laki laki menjadi tontonan sehari hari.
Di Amerika, studi "The Evolutionary Psychology of Women's Aggression" (Anne Cambell), 2013, menunjkukan bahwa anak perempuan ditahan karena pelanggaran kecil (33%) dan pelanggaran besar (25%). Â Juga terdapat ucapan dan sebutan sebutan yang muncul dari mulut anak perempuan, yang sering kali mengadopsi apa yang dilakukan laki laki atau anak laki laki kepada perempuan. "Payah, "Pelacur', "Lonte', "Sundal', "Culas' adalah contoh itu.
Studi itu menggarisbawahi interpretasi sosiolog atas kejadian pertengkaran dan kekerasan antar anak perempuan dalam konteks reputasi seksual untuk mendapatkan pacar merefleksikan hegemoni laki laki serta internalisasi anak anak perempuan terkait penggunaan perempuan sebagai obyek.
Anak anak perempuan sering memiliki persepsi bahwa mereka perlu memuaskan selera dan keinginan anak laki laki, dari sisi tampilan dan respon seksualitas. Ini mengalahkan persepsi anak perempuan yang menghargai keberadaannya. Maskulinitas media dan media sosial mendorongnya pula.Â
Muncul pertanyaan, mengapa persetujuan anak laki laki terkait apa yang harus dilakukan anak perempuan menjadi penting di antara anak anak perempuan? Mengapa aspek reputasi seksualitas menjadi sangat efektif untuk memicu pertengkran. Terdapat pendekatan yang evolusioner yang perlu menjadi perhatian agar hal ini tidak menjadi kesadaran yang salah.
Kita perlu arif menyikapi situasi yang terjadi. Mempersalahkan hanya kepada tersangka yang notabene masih anak anak adalah tak adil.Â
Coba kita reflektif. Apakah kita sebagai bagian dari masyarakat sosial telah memberikan contoh kebaikan dan relasi yang saling menghargai? Apakah kita menggunakan pendekatan dialogis ketika terdapat masalah? Apakah kita bersaing sehat? Apakah  kita menonjolkan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam pemecahan masalah dan kompetisi? Pemilu kita ini kan contohnya. Duh politik lagi, kan?!
Sikap saling hormat dan menghargai sebagai manusia setara adalah penting. Tidak ada gunanya mempertontonkan model rebutan harta, rebutan posisi dan kursi jabatan, rebutan laki laki, rebutan perempuan dengan cara cara yang selama ini dipertontonkan di depan layar kaca dan di media. Kita guru mereka. Kita digugu. Kita ditiru.
Pustaka : 1. Kekerasan Seksual; 2. Rebutan Cowok; 3. Berita Audrey