Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Divide et Impera" dan Marah-marah Politik

9 April 2019   21:17 Diperbarui: 10 April 2019   16:13 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: jarogruber.blogspot.com

Mengapa Jadi Marah Marah Politik? 

Mengapa kita begitu mudah marah kalau disentuh soal pilihan politik kita? Mengapa kita menjadi defensif? Yang jelas, diskusi soal politik tak akan ada habis habisnya pada jelang Pemilu kali ini. Artikel, humor, puisi, atau prosa yang kita baca sering menunjukkan banyak benci, banyak marah.

Saya pernah menuliskan soal Lelah Politik, Lelah Media di Kompasiana pada awal tahun.  Memang lelah. Itulah yang saya rasakan.  Tentu saya harus membuat keputusan untuk diri saya sendiri. Saya coba membicarakan hal lain di luar soal politik. Namun, repot juga. Semua sisi kehidupan kita akan menyentuh soal politik, namun tentu kita tak perlu marah marah. 

Beberapa kali saya membaca pesan kawan lama yang menuliskan kemarahannya tentang salah seorang Capres. Saya hampir tak percaya membaca tiap kata yang ia ungkapkan. Kebencian yang mengerikan karena seakan ia ingin mencabik cabik dan bahkan meniadakan Capres yang ia bicarakan.

Sedihnya, ini tidak hanya terjadi pada satu dua orang saja. Seakan berjamaah, kebencian dan kemarahan itu diluapkan. Ini membuat saya makin tidak ingin membaca pesan atau tulisan yang berisi pro kontra dan perdebatan. Apalagi media menyulut membuat kolom atau rubrik pro dan kontra. 

Di masa yang lalu, mungkin ini penting, tetapi pada saat ini, di saat masyarakat terbelah, mungkin media perlu juga reflektif dan memperbaiki diri. Ada dosa media yang mungkin tidak terkalahkan karena media juga hidup dari semua kehebohan politik. 

Sebetulnya siapa sih yang kita marahi? Siapa musuh kita? Apakah orang orang yang berbeda pandangan politiknya dengan kita? Ataukah Caleg tertentu yang kita tidak suka? Ataukah  Capres tertentu yang kita tidak suka? Apakah begitu 'personalized' sehingga  kemarahan kita bisa begitu tertuju secara khusus kepada salah satu Capres itu?

Kemarahan Politik dan Divide Et Impera
Kita tahu ribut ribut dan perpecahan masyarakat ini terjadi di semua wilayah yang sedang melakukan Pemilu di seluruh dunia.  Ini terjadi secara bersamaan.  

Bukan hanya di Indonesia, di Amerikapun tensi masyarakat tinggi. Emosi yang dilampiskan dengan kasar dan sering dilampiaskan dalam bentuk kekerasan. Seperti situasi antara hidup dan mati. Seperti dalam peperangan. Ini terjadi dan dipertontonkan pada saat jelang Pemilu, juga setelah Pemilu. Setelah Pemilu terjadi, masyarakat masih gelisah. Ini persis seperti yang terjadi di Indonesia. Ketika Pemilu 2014 selesai, perdebatan tidak selesai. Acara televisi terus mempertontonkan debat. Terus dan terus. 

Studi yang dilakukan New York Time menunjukkan bahwa responden tidak suka melihat perkembangan itu. Mereka melihat politik telah merubah kepirbadian orang Amerika.

Lalu, bagaimana dengan kita? Kita mengetahui bahwa perilaku dan kepribadian kita makin buruk selama Pemilu, tetapi kita tetap melakukannya? Studi menunjukkan bahwa orang sudah lelah berdebat, tetapi masyarakat tidak kuasa untuk bisa menghentikannya. Saya kira ini mengerikan. Ada perangkap yang kuat di antara perdebatan itu. Di antara kita. 

ilustrasi: jarogruber.blogspot.com
ilustrasi: jarogruber.blogspot.com

Para ahli melihat beberapa hal. Saat ini volume dan gelombang informasi begitu besar mengalir bebas untuk dinilai dan dipilih publik. Udara kita penuh suara dan berisik. Dan, saat ini orang Amerika untuk pertama kali dipimpin oleh orang yang berapi api berisik. Iya, oleh Trump. Ini membuat masyarakat dalam gelombang emosi turun naik tak henti hentinya, kata Jon Meacham, ahli sejarah dan penulis buku "The Soul of America,".

Ia melihat negara Amerika begitu dilukai dan trauma oleh perang dunia. Ku Klux Klan dan juga Perang Vietnam. "Saat ini, Trump menaikkan metabolism tubuh dan emosi kita melalui cara cara memecah belah. Saat ini, perpecahan itu terbagi dalam kelompok yang banyak, berdasar agama, ras, gender, pendidilan, dan lain lain".

Survai yang dilakukan oleh Pew di bulan Maret yang lalu mengatakan bahwa sejak Pemilu dan bahkan sesudah kemenangan Trump sebagai presiden, banyak masyarakat yang menjadi makin gelisah dengan kalimat kalimat yang diucapkan oleh Trump. Artinya, setelah pemilu masyarakat masih juga gelisah. 

Indonesia pernah punya sejarah kelam pasca kemerdekaan. Peristiwa 1965 yang memakan ribuan korban, peristiwa 1998 yang membawa ratusan korban kekerasan seksual adalah juga contoh dari sebagian peristiwa berlatar divide et impera pada kelompok tertentu. 

Walau kita khawatir itu juga akan terjadi di Indonesia, namun, mudah mudahan suasana bisa menjadi lebih baik.  Terutama bila kita sebagai bagian dari masyarakat melakukan kontribusi aktif untuk hal yang positif. Kita selalu berharap untuk tidak alami perpecahan seperti di Amerika. Kalau di jaman Belanda kita mengenal devide at empera, mengapa kita saat ini tenang tenang saja ya.

Peneliti Amerika itu katakan, musuh bersama kita bukan lagi manusia, calon presiden, calon legislatif, tetapi politik pecah belah itu sendiri. Politik devide et empera yang merusak kita.

Terminologi divide et impera dipakai sejak Raja Philip II dari Macedonia. Ia adalah ayah dari Alexander the Great pada 300 SM. Meski demikian, ini juga dipakai oleh Julius Ceasar, Napoleon Bonaparte, dan didokumentasikan oleh sejarawan moderen.

Politik divide et impera atau politik pecah belah atau politik adu domba ini adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan. Masyarakat dipecah belah menjadi kelompok kecil untuk lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Awalnya divide et impera adalah strategi bangsa kolonialis pada abad 15. Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, dan Perancis menggunakan strategi ini untuk mencari sumber kekayaan alam di wilayah tropis. Selanjutnya 'politik ini' mengalami perkembangan. Ini bukan hanya sebagai strategi perang tetapi juga merupakan strategi politik.

Di Indonesia, di masa penjajah Belanda kita mengenalnya sebagai politik yang dibuat oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Snouck Hourgronje lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 dan meninggal di Leiden pada usia 79 tahun.  Ia memecah belah masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Aceh untuk alasan menguasai Aceh sebagai wilayah koloni. Di masa kini, strategi divide et empera ditunjang kuat dengan politik identitas dan hoaks dan lain lainnya. Dan, ternyata memang lebih mengerikan. 

Banyak kawan Kompasiana, termasuk pak Felix Tani pernah menulis soal divide et empera dalam konteks media. Juga pak Giri Lumakto menulis dalam konteks media sosial.  Tulisan ini hendak mengerucutkan apa yang terjadi dengan divide et impera di masa jelang Pemilu. Menurut saya, musuh kita bukan pandangan yang berbeda, bukan pula salah satu Capres, namun politik divide et impera itu sendiri. Keserakahan dan kekuasaan itulah yang membuat divide et impera jadi subur. 

Kok mau sih dipecah belah? Kita tetap perlu terus pada pendirian kebenaran, tapi kita cari cara positif salurkan enerji kita

Bagaimana Solusi kita untuk terhindar dari kemarahan politik akibat politik pecah belah itu ya ? Kita cari cara positif untuk menyalurkan energi kita:

  1. Identifikasi sumber kemarahan kita. Tanya diri kita apakah ada hal spesifik yang membuat kita marah? Apakah kita sedang mumet? Tidak sehat? Atau kita tidak suka pada oerang tertentu yang ada sebagai calon presiden? Buat daftar. Mungkin anda akan mendapatkan daftar berisi 1) tak punya uang, 2) masuk angin, 3) Istri punya pacar lagi, 4) Anak nakal main game terus. 5. Biaya hidup naik. 6) Harus bayar BPJS dan asuransi. Dan lain lain
  2. Klarifikasi alasan alasan yang membuat kita marah. Bila hal hal di atas adalah sebab kemarahan kita, ambil waktu untuk mengidentifikasi lebih lanjut apa sebab khususnya? Apakah persoalan yang menjadi kekuatiran kita didiskusikan di publik? Apakah ada yang tidak pas di media? Apakah karena ada pernyataan atau tulisan seseorang yang membuat kita marah?  Pada akhirnya, tidak adil melampiaskan semuanya ke politik. 
  3. Tidak perlu mencoba membuktikan bahwa kawan anda atau lawan bicara anda salah. Sudahlah, itu tak ada gunanya. Ia sudah punya pertimbangan kuat. Nanti malah anda mengusiknya. Itu bisa jadi pemicu pertengkaran.
  4. Kalaupun terdapat berita atau pernyataan kawan yang anda nilai sebagai ‘hoax’, daripada anda defensif dan katakan “wah ga benar itu”, lebih baik anda coba tanya ke kawan tersebut “dari mana informasi itu didapat?"
  5. Kitapun mencoba membuka hati dan mencoba mendengarnkan. Karena kita berbeda pandangan dengan dia, belum tentu ia tidak cukup informasi. Mungkin coba dengarkan apa yang jadi alasan pertimbangan pilihan politiknya.
  6. Kita coba saling menghormati. Membicarakan politik akan mudah memicu kebencian. Kita harus tetap tenang, meski ada perbedaan pendapat. Bila perlu, tarik napas panjang ya. Toh kita selalu diajarkan sejak kecil untuk berbuat baik dan santun pada sesama. Itu perlu kita praktekkan lagi.
  7. Jaga emosi ketika marah. Ketika marah, kita bisa saja jadi emosi dan lupa situasi. Kita harus hindari bersikap emosional. Tak ada gunanya.
  8. Coba berpikit positif. Mencoba untuk tidak menganggap orang lain buruk.
  9. Puasa medsos. Sudah pernah? Saya nyaris tidak nyalakan TV. Saya tidak cek FB dalam waktu yang lama. Saya cek Instagram hanya sesekali. Saya masih buka Linkedin karena ini banyak berperan dalam pekerjaan. Intinya, saya coba kurangi komunikasi melalui media sosial. Coba kurangi pemakaian Facebook, Instagram, Twiter anda. Ini akan mengurangi stress kita juga. Kurangi baca berita. Terlalu banyak berita dan membaca berbagai berita dari pihak pihak yang terus berdebat tak akan ada hentinya. Pilih dan baca tulisan yang mungkin merangkum kondisi dan situasi. Misalnya majalah atau tabloid mingguan atau bulanan? Tempo? Kontan ? (Bukan iklan).
  10. Coba komunikasi dengan kawan kawan yang berbeda. Upayakan berbicara tentang topik yang berbeda. Ngopi? Olah raga bersama? Mengapa tidak? 

Pustaka 1) Pecah Belah; 2) Divide et Impera; 3) Kendalikan Marah;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun