Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Prestasi KPK yang Dilupakan, Korupsi Gagalkan Demokrasi

4 April 2019   12:11 Diperbarui: 6 April 2019   14:39 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persepsi Indeks Korupsi (CPI) 2018 dan Debat Capres Soal Korupsi

Persepsi Indeks Korupsi (CPI) 2018 yang diumumkan oleh Transparency International (TI) pada awal 2019 memunculkan kesimpulan tentang sulitnya menghalau korupsi, yang pada akhirnya menggerogoti demokrasi secara global. Merosotnya skor maupun ranking beberapa negara yang proses demokrasinya merosot seperti Amerika menjadi sorotan. Patricia Moreira, Direktur Pelaksana TI pun menyampaikan dalam peluncuran laporan CPI“ Kegagalan sebagian besar negara untuk mengendalikan korupsi telah terbukti berkontribusi pada krisis demokrasi di seluruh dunia” (TI, Januari 2019).

Pada peluncuran CPI 2018, TI mengulas tentang kaitan korupsi dengan demokrasi. Misalnya, negara negara yang menerapkan demokrasi penuh memiliki skor rata rata 75. Negara dengan demokrasi yang masih lemah mencapai skor rata rata 49. Negara yang baru mempraktekkan beberapa elemen demokrasi memiliki rata rata skor 35. Sementara rejim otokratik hanya memiliki rata rata skor 30 an. Secara global, laporan TI ini juga memasukkan aspek lemahnya masyarakat sipil dan persoalan kebebasan press dunia sebagai bagian dari melemahnya demokrasi.

CPI 2018, Transparecy International
CPI 2018, Transparecy International
Perdebatan muncul pada analisis yang mengikuti laporan CPI 2018. Apakah mayoritas negara diaggap gagal untuk mengkontrol korupsi? Laporan CPI sendiri menuliskan bahwa hanya 36 negara yang secara statistik signifikan. Dari yang siginifikan secara statistik, terdapat 20 negara membaik sementara 16 negara menurun. Indonesia adalah 1 dari 164 negara yang studinya dianggap tidak signifikan secara statistik. Beberapa analis melihat CPI sangat bermanfaat dan membantu, namun belum mampu untuk menerangkan perubahan perubahannya karena jangka waktu yang pendek. 

CPI dan Korupsi di Indonesia 

Bagi Indonesia, yang untuk kesekian kalinya turut serta menjadi salah satu negara yang dinilai TI, menunjukkan adanya penurunan posisi dalam peringkat CPI 2017 ke CPI 2018. Peringkat Indonesia turun dari 86 ke 89, meski skornya meningkat dari 37 menjadi 38. 

Dalam debat Capres yang terakhir, turunnya peringkat Indonesia pada CPI 2018 dikomentari beberapa kali. Juga soal korupsi di tubuh elit negeri (maksunya OTT pimpinan partai P3) yang terhubung dengan skandal jual beli jabatan. Sayang sekali, tak ada diskusi mendalam mengomentari soal korupsi.

Memang, tingginya jual beli jabatan disebut mencapai 90% disebut oleh Ketua Komisi Aparat Sipil Negara (KASN),  Sofian Efendi. Ini mencuat dalam dua hari ini. Ia mengatakan bahwa tender dan rekrutmen pejabat telah dilakukan terbuka dan transparan di tingkat nasional, namun belum di tingkat daerah.  Menanggapi pernyataan Sofian Efendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) Syafruddin membantah.  Ia mengatakan jual beli itu ada sekitar 10 persen (Detik, 4 April 2019). Tentu penghitungannya tak semudah itu. 

Wawan Syatmiko, peneliti TI Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia memiliki upaya positif antikorupsi yang telah dilakukan oleh Pemerintah, KPK, kalangan bisnis dan juga masyarakat sipil. Global Insight Country Risk Ratings dan Political and Economy Risk Consultancy yang menjadi dasar penyusunan CPI 2018 mencatat bahwa peringkat Indonesia diuntungkan oleh adanya kemudahan berusaha dan perizinan yang ramah investasi. 

Sementara itu, the World Economic Forum, Political Risk Service, Bertelsmann Foundation Transformation Index, Economist Intelligence Unit Country Ratings, World Justice Project – Rule of Law Index yang melaporkan maraknya praktik korupsi dalam sistem politik membuat posisi ICP stagnan. Sementara itu, laporan IMD World Competitiveness Yearbook dan Varieties of Democracy menurunkan ICP.  

ICP mencatat adanya lingkaran setan antara korupsi dan demokrasi di Indonesia. Perbaikan pada sistem politik yang kebal korupsi akan menghasilkan demokrasi yang berkualitas. Demikian, pandangan Wawan Syatmiko. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun