Artikel 16 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia mencantumkan soal hak untuk menikah. Pertama, perempuan dan laki laki dewasa, tanpa membedakan ras, warga negara atau agama, memiliki hak untuk menikah dan menemukan keluarga. Mereka berhak untuk memiliki hak yang sama untuk menikah, dalam masa pernikahan, dan ketika terpaksa harus berpisah. Kedua, pernikahan harus terjadi hanya ketika mereka dan para pihak sadar secara penuh untuk melakukannya.
Bisa dicek pada perempuan, sebetulnya, apakah hati kecil mereka menerima untuk memiliki 'saingan' dalam pernikahan. Sementara begitu banyak studi menunjukkan bahwa perempuan sakit hati dan merasa diperlakukan tidak adil ketika perempuan kedua, ketiga atau ketujuh hadir dalam perkawinan mereka. Dari kacamata laki laki sih, legitimasi apapun bisa dibuat ketika laki laki menghendaki berpoligami.
Tulisan Urpan Murniasari "Monogami Yes, Poligami No" yang ada pada Mubadalahnews.com yang dikelola oleh kelompok muslim, perempuan dan laki laki, yang sensitif pada persoalan gender mengatakan bahwa banyak di antara kita yang memainkan ayat ayat untuk mengesahkan poligami. Kadang kadang pemilihan ayatnyapun tidak sesuai konteks.Â
Tulisan tersebut mengatakan pula bahwa poligami yang saat ini marak terjadi tak lebih hanyalah akal akalan suami yang tidak mensyukuri istrinya dan mengutamakan nafsunya saja. Poligami bisa menjadi bibit perselisihan, penganiayaan, kedzaliman, dan ketidakadilan.Â
Sekiranya pembaca ingin menelusur lebih dalam, silakan untuk mengunjungi pustaka yang telah saya terakan. Atau, saya bisa memperkenalkan anda pada sahabat saya, Dr Kyai Haji Husein di Cirebon.
Hal yang saya sayangkan, dan mungkin juga akhirnya disadari oleh Vincentia Tiffani adalah bahwa 'guyonan' politik dan keinginan dipoligami ini disampaikan oleh Vincentia yang merupakan warga milenia yang seharusnya berpikir kritis dan menolak untuk jadi corong dan guyonan politik. Vincentia yang cerdas tentu paham bahwa poligami pada dasarnya menyakiti perempuan lain. Tentu ini bukan suatu promosi yang berkemajuan bagi perempuan muda sepertinya.Â
Vincentia telah memohon maaf dan mengatakan bahwa pada awalnya ia melakukannya sebagai guyonan dan juga pertanyaan itu adalah titipan panitia. Namun, pada akhirnya, seperti pernyataan Vincentia, ini menjadikan dirinya pada posisi tidak diuntungkan. Tentu saja. Di mata perempuan lain, ia jadi nampak jahat. Di antara kawan milenial, dia tampak bodoh.Â
Untuk Vincentia, maafkan saya menjadikanmu kisah dalam artikel ini. Â Namun kau tahu bahwa sayapun tak pasang fotomi karena sata tak hendak jadikanmu korban kedua kalinya. Terima kasih kau telah membuat pernyataan. Itu baik bagimu.Â
Secara pribadi, saya tidak harus menulis lebih panjang. Dalam konteks jelang Pemilu, saya hanya bisa katakan pada para pihak peserta Pemilu  'STOP gunakan perempuan sebagai mainan politik. Siapapun tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan perempuan sebagai obyek guyonan politik. Tidak lucu itu!
Pustaka : 1) Poligami No; 2) Poligami dari Perspektif HAM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H