Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sulit Pahami Isu Perubahan Iklim? Yuk, Kita Coba Ini!

25 Maret 2019   06:30 Diperbarui: 26 Maret 2019   17:51 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walau sejak seminggu yang lalu terjadi lebih dari 2.000 demonstrasi tentang perubahan iklim yang melibatkan jutaan murid sekolah terjadi di 125 negara di dunia, bukan rahasia lagi, masyarakat umum masih menganggap perubahan iklim sebagai suatu fiksi.

Bahkan, debat Capres/Cawapres sampai babak ketigapun belum menyentuh isu ini. Coba dengar pandangan orang, mengapa mereka tak percaya pada isu perubahan iklim. 

  • Saya tidak cukup tahu. Apa yang muncul di media adalah bahasa ilmuwan. Data juga sulit dicerna. Apa itu 'Carbon Footprint"?
  • Ah ngeri. takuti kami dengan masa depan dunia yang buruk.
  • Apakah saya bisa membantu? Isu ini terlalu besar.
  • Malas ah harus berargumentasi!. 
  • Ganti terminologi dengan 'solusi iklim'! Ini lebih memberi harapan. 

Chui-Ling Tam, dalam studi terkait perubahan iklim di Kanada, Indonesia dan Filipina "Mengapa kita perlu stop pelabelan pada mereka yang menolak isu perubahan iklim" (2018) menyimpulkan bahwa para ahli belum berhasil mengkomunikasikan isu perubahan iklim dengan baik.

Masyarakat di tiga negara itu memahami bahwa tanah dan iklim berubah. Namun demikian, banyak dari mereka 'sekadar' ketakutan dan menolak percaya. Bahkan, isu peningkaan suhu dunia sekitar 1,5 sampai 2 derajat Celsius tidak meyakinkan. Sayangnya, video the National Geographic tentang mencairnya es di Kutub Utara dan kelaparannya beruang kutub juga gagal. Kita yang tak tinggal di luar Kutub Utara sulit paham. 

Untuk mengurangi polarisasi pandangan yang berkelanjutan, Studi ini punya beberapa rekomendasi untuk mengkomunikasikan perubahan iklim. Pertama, bicaralah tentang isu yang relevan bagi orang yang kita temui. Banjir bandang. ketersediaan air, enerji alternatif, penggunaan  AC secukupnya. Semua isu relevan. Kedua, data memang baik, tetapi relevansi dan konektivitasnya dengan dan konteks lokal lebih penting.

Kisah Mitigasi dan Solusi
Di bawah ini adalah berbagai contoh solusi. Sebagian saya temui di lapang. Yang lain adalah penuturan kawan kawan yang bekerja langsung pada isu ini.

Wisata Alam Bukit Kosakora di Banjarejo Gunung Kidul (Pemerintah Desa Banjarejo, Gunung Kidul)
Wisata Alam Bukit Kosakora di Banjarejo Gunung Kidul (Pemerintah Desa Banjarejo, Gunung Kidul)
Kisah adaptasi pengelolaan air bersih dan mata pencaharian masyarakat Gunung Kidul. Peristiwa pengelolaan air di Banjarejo Gunung Kidul ini penting untuk dilihat dari sisi kerentanan dan sekaligus ketangguhan masyarakat dan perempuannya. Ini diungkapkan oleh studi "Ketangguhan yang Tersembunyi", Narasi Perempuan pada Strategi Bertahan dari Dampak Perubahan Iklim, Studi Kasus Tiga Daerah: Gunungkidul, Semarang dan Ogan Komering Ilir (Dati Fatimah, 2018).

Studi mencatat bahwa selama bertahun tahun masyarakat desa Banjarejo mengandalkan air bersih untuk minum dan untuk keperluan ternak dan memancing dari embung embung Alas Ombo, Kelis dan Sunten dan 'luweng'. Baik perempuan dan laki laki di wilayah ini sudah melakukan cara cara bertahan melalui penghematan air pada musim kemarau agar terpenuhi kebutuhan airnya.

Dalam lima tahun terakhir, air telaga hanya cukup untuk satu bulan setelah selesai musim hujan. Ini terjadi setelah terjadi pengerukan dan pembangunan tembok permanen. Juga diduga karena terdapat hilangnya kebiasaan warga memandikan ternak di telaga, sehingga proses pemadatan alami dasar telaga tidak terjadi.

Selama ini, warga percaya injakan-injakan kaki ternak yang dimandikan di telaga berkontribusi dalam memadatkan pori-pori tanah secara alami. Dengan demikian, air bisa bertahan lebih lama. Memang di 1960an pernah terjadi musim kemarau 13 bulan lamanya. 

Namun, masyarakat punya strategi bertahan. Mereka membuat tandon air besar selama musim hujan. Juga perempuan memasak, mencuci, dan mandi di sumur yang terletak di ladang ketima musim kemaru tiba. Ini untuk menekan pengeluaran pembelian air. Juga, masyarakat menetralkan air asin dengan metode tradisional, yaitu menggunakan beling yang dibakar dan kemudian dimasukkan ke dalam air.

Beberapa perempuan memanfaatkan siasa air bilasan beras untuk minuman ternak dan menyiram tanaman. Ketika pasokan air tersendat di musim kemarau, penggunaan sabun cuci piring dikurangi. Ini untuk menghemat air biasan. Tak ketinggalan, masyarakat menggali potensi wisata alam. Bukit Sosakora adalah salah satu contohnya. Ini untuk mengurangi beban alam yang dieskploitasi untuk sumber penghidupan. 

Eko Wisata Bakau Tanjung Batu (Javlec Indonesia)
Eko Wisata Bakau Tanjung Batu (Javlec Indonesia)

Kisah Masyarakat Tanjung Batu Membangun Ekowisata Bakau. Javlec Indonesia bersama masyarakat desa Tanjung Batu di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur berupaya meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan keberlanjutan bentang alam dalam rangka penurunan emisi Gas Rumah Kaca melalui pengembangan ekowisata Bakau dan usaha-usaha ramah lingkungan berbasis potensi lokal.

Upaya membangun ekowisata bakau dilakukan, dan perempuan merupakan aktor yang aktif dalam pengelolaannya. Pusat Informasi Bakau dilengkapi dengan lahan pembibitan bakau serta 'show room' cindera mata dan oleh oleh penganan khas desa Tanjung Batu dan Semanting.

Bakau kita kenal fungsinya sebagai penahan abrasi terhadap tsunami dan sebagai ekosistem penting yang mendukung berkembangbiaknya ikan dan kepiting. Pada saat yang sama, bakau juga penting sebagai penyerap emisi karbondioksida yang lebih efektif jika dibandingkan hutan hujan atau lahan gambut.

Produksi Amplang Ibu ibu Tanjung Batu (Javlec)
Produksi Amplang Ibu ibu Tanjung Batu (Javlec)
Oleh oleh seperti amplang ikan, minyak kelapa, dan bakso ikan adalah beberapa dari contoh cinderamata yang dapat diperoleh di Pusat Informasi Bakau di Tanjung Batu.

Amplang Sejahtera, salah satu cinderamata andalan berbahan baku ikan Bulan Bulan hanya ada di pesisir selatan Berau, Kalimantan Timur. Ikan Bulan Bulan ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan dan diolah oleh perempuan nelayan dengan cara traditional yang higienis.

Amplang gurih renyah yang cocok sebagai cemilan. Bakau terpelihara, ekonomi terjaga. Ini juga sebagian dari kontribusi rekan saya, Dati Fatimah. 

Kisah "Wood Pellet" (Wood Biomass Energy) sebagai Solusi Pengganti Gas Elpiji. Seorang kawan, pak Daru Asycarya dari IDEAS Semesta Energy (ISE) berbagi kebahagiaan tetang bisnis 'wood pellet' yang merupakan enerji baru terbarukan.

'Wood pellet' ini diproses dari bahan kayu Kaliandra Merah atau Kemlandingan. Kayu kayu itu dibuat bubuk gergaji terlebih dahulu, kemudian diletakkan dalam mesin pengering hingga kelembaban tinggal 10 % saja. Bubuk gergaji ditambahkan tepung tapioca untuk kemudian dibentuk dan dioven pada 180 Celcius. Kalaindra Merah dan Kemablindangan punya sifat cepat tumbuh dan sering dipergunakan untuk merehabilitasi lahan kritis.

Saat ini ISE telah menggandeng Gerbang Lestari Bangkalan di Madura. ISE juga bekerja sama dengan masyarakat Pengalengan di Bandung Selatan untuk memasok 'wood pellet' sebagai bahan bakar pengering daun teh PTPN. Juga, ISE juga bekerjasama dengan beberapa pondok pesantren.

Sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka 'wood pellet' dipasarkan berikut kompor 'wood pellet'. "Wood pellet dapat menjadi pengganti gas elpiji. Mengingat gas elpiji saat ini nyaris tanpa subsidi pemerintah, maka 'wood pellter' dinilai dapat menjadi enerji alternatif", ujar pak Daru.  Studi menunjukkan bahwa terdapat sekitar 40 sampai 50% penghematan biaya pembakaran dengan menggunakan 'wood pellet' dibandingkan dengan bahan bakar elpiji. Ini mengurangi penggunaan bakan bakar fosil.

Banyak Isu, Apa Solusinya?
Memang masih banyak isu perubahan iklim. Sementara masih terbatas solusinya. Kisah Mama Mama di Sumba Barat Daya sangat mengganggu saya. Saya menerima informasi suatu mitra program bahwa mama mama di suatu wilayah program mitra di Sumba Barat Daya dipukul suami karena tidak bisa hidangkan makanan di meja.

Memang kasus kekerasan terhadap perempuan di sana tinggi, namun rupanya ada pergerseran musim dan tim pelaksana tender bibit jagung tidak paham ini. Mama mama terlambat terima bibit jagung.

Mama tidak tanam dan tidak panen. Ini membawa dampak bukan hanya pada ketahanan pangan keluarga tetapi juga pada keselamatan perempuan. Terdapat Studi 'Pilihan Adaptasi perubahan Iklim -- Nusa Tenggara Timur" yang melibatkan 95 orang petani yang rata rata menjadi petani sekitar 25,6 tahun dan dilaporkan bahwa 97% responden merubah jadwal tanam yaitu tanam 60 hari lebih awal. Ini riil.

Peristiwa banjir bandang di banyak wilayah, termasuk di Sentani, Ngawi, Sukabumi dan lainnya mestinya juga menjadi pembelajaran mahal. Ini saya tulis pada 2 artikel saya terdahulu. Kita tidak bisa hanya mempersalahkan curah hujan tinggi. Ada persoalan persoalan lain yang perlu dipahami dan dicari jalan mitigasinya. Agar masyarakat mampu bertahan. 

Pengetahuan tradisional serta pengalaman personal masyarakat lokal dapat membantu dengan lebih baik dan kongkrit mengkomunikasikan perubahan iklim dan dampaknya pada masyarakat, baik di pesisir, pegunungan maupun di wilayah kapur. Adakah kawan kawan Kompasianer yang punya contoh lain?.

Pustaka : 1. Perubahan Iklim dan Komunikasi; 2 . Perubahan Iklim; 3) Wood Pellet 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun