Ada yang menarik dari debat Cawapres semalam. Beberapa kali, Cawapres 02, Sandiaga Uno, menggunakan 'story telling'. 'Story telling' pertama adalah tentang Ibu Lies yang tidak dapat mengakses BPJS. Begini narasinya "Pada (permasalahan) kesehatan, saya ingat kisah Ibu Lis di Sragen yang mana pengobatannya harus disetop karena BPJS tidak lagi meng-cover. Hal ini tidak boleh terjadi lagi".
Juga, Sandiaga menggunakan 'story telling' lain terkait Salsabila dari Pamekasan yang mengeluhkan kurikulum yang terlalu berat. "Prabowo-Sandi berkomitmen PR terbesar kita adalah meningkatkan kualitas guru kita. Kita tingkatkan kompetensinya, kita pastikan kesejahterannya. Kurikulum, Ananda Salsabila Umar di Pamekasan menyatakan kurikulum kita terlalu berat, dan banyak sekali mata pelajaran yang dia tidak minati".
Dan, Sandi tidak lupa membawa cerita soal istrinya Mpok Asia dan Sulaeman anak bungsunya ketika menjawab pertanyaan Maruf soal sedekah putih dalam kaitannya dengan 'stunting'. Cawapres 02 membagi cerita soal kehamilan Asia kala ia berumur 42 tahun dan air susunya berhenti pada usia bayi 6 bulan. Untuk itu dia berpikir bahwa sedekah ASI aka berguna bagi bayi bayi untuk mencegah 'stunting'. Namun ini dibantah Cawapres 01 mengingat stunting perlu dicegah bahkan sebelum bayi lahir. Juga, menurut Cawapres 01, 'stunting' bukan hanya masalah ASI tetapi juga menyangkut masalah sosial.
Cawapres 01, Ma'ruf Amin membawa cerita tentang optimisme dan harapan. Ini dibangun dalam narasi pidato dan debat, baik dalam debat pertama antara Jokowi dan Prabowo dan dalam debat ketiga antara Maruf dan Sandiaga. Ma'ruf dalam pidatonya semalam juga menyebutkan soal harapan yang harus dimiliki anak anak Indonesia yang harus percaya bahwa negara memikirkan biaya sekolah dan masa depan anak anak Indonesia. Juga ia mengakui bahwa usianya sudah lanjut. "Saya sudah tidak muda lagi. Kalau diberi kesempatan memimpin bangsa ini, kami akan bersungguh-sungguh. Hasilnya bukan untuk kami tapi untuk generasi yang akan datang", demikian Maruf Amin.
Dari pengalaman kampanye politik Pilpres di Amerika, kisah cerita dianggap memenangkan suara. Analis mengatakan bahwa Hillary Clinton bisa berbicara dalam bentuk cerita secara perorangan 'one on one'. Hillary tidak memasukkan kehidupan dan cerita pribadi kepada publik. Dan, kurangnya narasi dalam kampanyenya dianggap menjadi sebab kekalahannya yang terbesar.
McKinon mengatakan lagu bahwa 'story telling' politik bukan tetang kebijakan, kredibilitas atau kualifikasi. Ini soal bagaimana masyarakat berkomunikasi dengan kandidat, dan sebaliknya.
Pada akhirnya, politisi menyadari kekuatan cerita. Mereka memasukkan cerita ke dalam kampanyenya. Pada tahun 1990an, narasi yang dibawab oleh Bill Clinton adalah soal pertumbuhan ekonomi. Di tahun 2000an, George W Bush menggunakan narasi soal perlindungan kepada rakyat Amerika. Kampanye Obama dibangun dari cerita tentang harapan dan perubahan.
Adalah menarik bahwa karena ‘story telling’ adalah cerita dongeng, beberapa pendekatan menggunakan 'jargon':
- Kekuatan baik melawan kekuatan jahat. Ini seperti ditunjukkan oleh Trump yang melihat ‘Washington’ sebagai figur jahat;
- Trump juga menggunakan kalimat kalimat langsung seperti “ Saya akan bangun tembok dan Mexico harus merasakan akibatnya”.
- Trump juga membawa orang Amerika tentang “Amerika akan dibawa ke masa kebesaran lagi”
- Adanya cerita cerita lama yang diangkat, misalnya Trump mengangkat Abraham Lincoln.
Kampanye dengan menggunakan narasi biasanya memenangkan kampanye dengan beberapa alasan. Pertama, pemilih sibuk dan tidak punya waktu untuk mengecek detil. Kedua, masyarakat malas dengan kampanye yang tidak persuasive. Ketiga. Narasi membuat pemilih ingat alasan untuk mendukung kandidat tertentu. Intinya, kampanye dengan menggunakan narasi akan membuat informasi dan pesan lebih lama mengendap di kepala calon pemilih. Oleh karenanya, mengapa orang menyukai opera sabun dan telenovela dan sinetron. Mereka suka cerita.
Namun demikian, kampanye dengan narasi dan cerita harus punya substansi. Narasi yang efektif perlu kejelasan, dan bukan hanya kesederhaan. Dengan demikian, pesan dalam kampanye dengan menggunakan narasi perlu memastikan bahwa apa yang disampaikan telah merupakan paket yang singkat, padat, dan lengkap. Tujuan akhir dari kampanye dengan narasi adalah membuat calon pemilih mengiyakan untuk membangun kesepakatan bersama.
Lebih dalam lagi, analis memberikan rekomendasi tentang bagaimana 'story telling' yang memenangkan kampanye. Walaupun suatu kebijakan dan isunya kompleks, tapi pesan yang dapat diingat dan menyentuh calon pemilihlah yang memenangkan kesepakatan itu. Di Amerika, dinilai bahwa partai republik lebih pintar memuat cerita tinimbang partai demokrat.
Sebagai penasehat kampanye Geoge W Bush dan juga Clinton, McKinnon mengatakan bahwa kampanye dengan cerita bukan tidak memiliki sisi gelap. Calon pemilih juga perlu memiliki kecerdasan dan menyadari mana cerita yang bohong dan manipulatif dan mana cerita yang merupakan agenda yang akan dilaksanakan sebagai komitmen.
Bagi saya secara pribadi, saya berharap pemenang Pemilu bukanlah mereka yang hanya pintar membuat 'story telling' yang fiktif, tetapi mereka yang mampu merangkai rencana kerja dan mimpi serta jejak kerja ke dalam 'story telling' yang bermakna. Pada akhirnya, harapan saya adalah 'story telling; yang disampaikan akan menjadi cerita perubahan, bukan sekedar cerita dongeng atau 'fairy tale' belaka.
Bagaimana menurut kawan kawan K?
Pustaka : Story Telling 1, Story Telling 2, Story Telling
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H