Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Sudah Saatnya Keluar dari Bias Generasi dan Rangkul Caleg Milenial

13 Maret 2019   14:30 Diperbarui: 14 Maret 2019   12:19 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan April ini akan menjadi momen penting dalam Pemilu di Indonesia. Ini akan menjadi Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif yang akan mendapat partisipasi generasi Y, milenial. 

Generasi ini akan hampir sama banyaknya dengan generasi baby boomers. Dengan mulai masuknya generasi milenial ke lapangan kerja dan juga dunia politik, makin terasa bahwa generasi sebelumnya adalah generasi yang lebih tua.

Adalah sesuatu yang wajar bila di dalam lingkungan kerja kemudian muncul bias pada generasi yang berbeda. Coba kita lihat beberapa artikel yang beredar tentang pandangan dan narasi yang kurang mendukung generasi milenial untuk masuk ke lapangan kerja atau ke politik.

Topik yang ada pada umumnya menunjukkan harapan atau ekspektasi tinggi dengan sederetan persyaratan atas kualitas untuk sukses, berikut keraguan baby boomers terkait keberhasilan generasi milenial untuk mencapainya. 

Dalam bisnis, kita memiliki anggapan bahwa generasi milenial cepat sukses mendapatkan profit, namun mereka dinilai tidak sabaran dan tidak ingat pentingnya keberlanjutan. Mereka akan berpindah pada jenis bisnis lain. Padahal, bagi milenial ini bisa saja ini dimaknai sebagai cepatnya melihat peluang.

Tsamara Amany, Ketua DPP PSI (Instagram)
Tsamara Amany, Ketua DPP PSI (Instagram)
Di bidang politik, ada ketidakpercayaan bahwa generasi milenial dapat dengan tajam melakukan analisis sehingga kemungkinan untuk melakukan tugas politik secara efektif diragukan. Terlebih, dalam politik, milennial dianggap grusa grusu. 

Dari kacamata atau perspektif lain mungkin bisa dimaknai sebagai adanya pandangan dan cara berpikir yang berbeda antara baby boomers dan milenial terkait prioritas, cara pengambilan keputusan, penggunaan media kampanye.

Sebetulnya, semakin kita menyadari bahwa kita memiliki bias, semakin cepat kemungkinan kita akan berkaca dan melihat kelebihan generasi milenial dengan lebih obyektif. Adalah wajar bila generasi milenial lebih bebas atau liberal, sekaligus berani dan percaya diri. 

Data Supas 2015 (Katada.com)
Data Supas 2015 (Katada.com)
Pertama, mereka adalah orang muda yang punya kecenderungan untuk berdiri pada keberpihakan atas isu sosial dan ekonomi. Privatisasi pendidikan pada masa mereka bersekolah membuat biaya pendidikan sangat mahal yang dibayar oleh orang tua mereka, baby boomers. Mereka belum mengenal subsidi dan segala macam kartu bebas biaya pendidikan.

Kedua, kelompok milenial yang berusia di bawah 30 tahun adalah plural dari sisi demografi dan sejarah Indonesia. Mereka berada pada usia ketika sejarah diskriminasi rasial yang dipolitisir ada. Coba tengok tahun antara 1990 sampai kini. Berapa kasus SARA dipakai dalam politik. 

Ketiga, kelompok milenial laihr ketika isu kesetaraan, baik itu kesetaraan perempuan dan laki laki, maupun kesetaraan kelompok dengan disabilitas, atau bahkan keadilan yang diperjuangan oleh LGBT sudah berkembang di tingkat nasional dan global. 

Mereka lahir pada saat tuntutan untuk membangun empati dan berbagi kue pembangunan didengungkan. Dan yang lebih penting, meski mereka tidak menyebut diri mereka sebagai kelompok yang demokratis, mereka pada prinsipnya menjalankan prinsip itu.

Generasi milenial mungkin menjadi generasi yang paling sebal dengan hipokritnya orangtua mereka, generasi saya. Di mata milenial, banyak generasi baby boomers yang meneriakkan soal pentingnya norma agama tetapi menjadi pelanggar terbesar darinya.

Rasa percaya diri mereka juga lebih besar dari baby boomers, khususnya terkait penguasaan teknologi yang merupakan keunggulan kompetitif dalam lingkup pekerjaan. 

Juga, dari tingkat pendidikan, mereka adalah dari kelompok umur dengan rata-rata pendidikan tertinggi. Kecil kemungkinan mereka buta huruf. Jadi, wajarlah bila suara merekapun cukup lantang. 

Di dunia pendidikan tinggi, misalnya, 53% dosen di Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta adalah dari generasi milenial (Statistik Pendidikan Tinggi 2017). Jumlah dosen lulusan S3 dari generasi milenial pun mulai ada dan meningkat, yaitu 992 orang atau sekitar 3% dari keseluruhan dosen dengan S3. Kita belum memotret keseluruhan kondisi pendidikan generasi milenal. 

Mereka saat ini sudah mulai berbuat. Di seluruh dunia, kontribusi kelompok muda, dari generasi milenium dan bahkan generasi pasca milenium nyata pada upaya dan isu sosial. Ini pernah saya tulis dalam artikel berjudul Ketika Anak Muda Bisa Mengubah Dunia, Umur Berapa Mereka Boleh Punya Hak Suara? 

Saat ini, milenial sudah merasa bertanggung jawab untuk menjadi bagian dari perubahan sosial. Sementara itu, mengingat usianya, generasi baby boomers sedang sibuk mempersipkan masa pensiunnya.  

Hal ini membuat kita perlu memahami kelompok milenial yang ada di deretan partai politik, termasuk dengan kemunculan PSI. Juga, kita dapat memahami bila PSI menyuarakan keras atas ketidakadilan dalam kasus kasus intoleransi. 

Mungkin kita bisa mempertimbangkan pandangan rekan Kompasianer Fantasi yang memberikan catatan pada artikel berjudul Ah, Mbak Grace Natalie, Kok Mbak "Offside" Sih?

Sebagian masyarakat mungkin melihat apa yang disampaikan oleh Grace adalah suatu liberasi yang revolusioner, atau malah sesuatu yang segar dan berani. Boleh jadi, isu isu yang diangkat adalah isu yang sebagian dari kita juga ingin bicara, tetapi tidak sampai. 

Tidak sampai karena memiliki kekhawatiran untuk berhadapan dengan banyak pihak dari generasi baby boomers, generasi saya yang mungkin masih di persimpangan jalan pada isu isu itu, atau bahkan masih intoleran.

Jadi, milenial bukanlah hanya kelompok yang hanya dendam karena biaya hidup dan pendidikan tinggi, tetapi mereka bisa terhitung sebagai kelompok revolusioner terkait hak-hak sipil yang dasar. 

Bila dilihat dari partai PSI yang dipimpin dan beranggotakan milenial, kita perlu memberikan apresiasi pada keberagaman latar belakang mereka. Bahkan, barisan pimpinan partai ini adalah kelompok yang dulu kecil kemungkinannya memimpin partai. Perempuan, dari berbaurnya kalangan etnis minoritas dengan berbagai kalangan yang pluaral dari latar belakang agama dan suku yang beragam.  Ini seharusnya dirayakan.

Persoalan peraturan yang diskriminatif, misalnya, itu area yang menjadi kegelisahan feminis sejak lama. Studi diadakan, upaya didorong dan diadvokasikan, tetapi jumlah kebijakan dan Perda yang bias, tidak adil serta diskriminatif bukan berkurang.

Bagi kelompok yang alami ketidakadilan, perjuangan PSI adalah angin segar. Bagi baby boomers yang berpikiran pro-statusquo, ini dianggap 'terlalu kiri'. Malah, dianggap anti agama. 

MTV di Amerika pernah melakukan survei terkait pandangan milenial terkait rasisme. Adalah menarik melihat bahwa sekitar 89% responden dari generasi milenial ditemukan lebih toleran, plural, dan memiliki komitmen untuk mendukung adanya kesetaraan dan keadilan. 

Namun, bagi baby boomers menganggap seakan milenial mengidap buta warna dan tidak paham soal rasisme  Padahal, ada sekitar 37% yang mengatakan bahwa di dalam keluarga mereka mendiskusikan soal ras. Bagi milenial, ketidakadilan ras harus diselesaikan. Bukan hanya menjadi diskusi dan berkembang terus sebagai bias. 

Terdapat beberapa contoh legislator dan aktivis milenial di Amerika yang bisa menjadi panutan. Di antaranya adalah Julie Emerson dari partai Republik dan juga Niraj Antani, anggota senat termuda di Ohio.  Mereka muda dan melakukan perubahan juga terobosan. 

Julie Emerson, Legislator Milenial Parta Republik (Medium.com)
Julie Emerson, Legislator Milenial Parta Republik (Medium.com)
Milenial cenderung lebih mandiri atas pandangan dan pendapatnya. Oleh karenanya, mereka memilah antara isu dukungan mereka pada kandidat presiden dan atas pandangan yang mewakili. Ini nampak pada kasus PSI baru baru ini.  

Caleg dari generasi milenial adalah mereka yang akan menjadi daya tarik bagi pemilih yang juga generasi milenial. Bila caleg dari generasi milenial juga 'dipreteI' nilai-nilainya, bukan tidak mungkin kita kehilangan pula jumlah besar dari calon pemilih. 

Pada saat yang sama, akan sulit bagi calon pemilih di kalangan milenial untuk mempertimbangkan baby boomers sebagai caleg karena keberpihakan baby boomers pada kebijakan yang adil pada milenial juga terbatas. 

Di Amerika, Trump membangun bias pada generasi milenial. Ini Trump sebarkan melalui Facebook, yang kita tahu pengguna mayoritasnya adalah  baby boomers. Ini tentu membangun jarak dan kesenjangan antar-generasi. 

Bias generasi ini akan membawa kerugian. Di sektor tenaga kerja ini berarti ada biaya tinggi yang muncul dari tiadanya kontribusi generasi milenia pada produktivitas kerja. Di sektor politik, kita akan mengalami kerugian dari terhambatnya proses reformasi dan keadilan sosial di masyarakat.

Adalah suatu keberuntungan bila Pemilu kali ini kita memiliki keberbagaian caleg karena ini akan membawa darah baru dalam politik di Indonesia. Pemilu yang inklusif akan menjadi kekayaan sistem politik kita. 

Untuk itu, kita perlu menyemangati, mendukung, dan merangkul generasi milenial yang berupaya menjadi kelompok yang mau memikirkan bangsa dan negaranya. Selamat datang wahai generasi milenial dan pasca milenial dalam perubahan sosial di Nusantara.

Pustaka 1. Tingkat Pendidikan, 2. Bias, 4 Uneducated Millenial in Politics 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun