Ketika saya melakukan pengumpulan data tentang kegiatan masyarakat petani gula kelapa di ladang gambut di desa Basawang, Satiruk, Hantipan, Bapinang Hilir, di sebalik Danau Sampit Kalimantan Tengah, saya makin menyadari betapa perubahan iklim telah menyebabkan petani kelimpungan.
Petani hafal bahwa kelapa memproduksi bunga dengan jumlah dan kualitas nira yang tinggi ketika matahari bersinar dan angin bertiup kencang. Namun, dengan iklim yang tidak pasti, dengan indikasi musim kemarau yang lebih panjang tapi lembab menyebabkan penurunan produksi nira secara dramatis.Â
Kualitas yang rendah dari nira tentu membuat petani gundah. Petani harus menghasilkan lebih banyak nira agar kandungan gulanya memadai. Sebagai akibat dari hujan yang lebih banyak dan musim yang lebih panjang, produksi nira berkurang.Â
Produksi gula kelapa menurun sekitar 30%. Ini mengakibatkan pendapatan petani yang memiliki pohon kelapa berkurang sekitar 55%. Sementara, untuk petani penyewa lahan kebun kelapa alami kerugian sekitar 60%. Perempuan yang mengolah nirapun butuh jam kerja lebih lama untuk hasilkan gula. Ini juga biaya waktu ekstra yang sering tidak dihitung.Â
Persoalan dan perhitungan di atas konsisten dengan studi yang dilakukan Sanathani Ranasinghe "Study Potential Impacts of Climate Change on Coconut" yang menyimpulkan bahwa pohon kelapa yang terkena panas atau air berlebihan mengalami stress sehingga bunga kelapa tidak menghasilkan sukrosa yang memadai.Â
Kita baru membicarakan akibat perubahan iklim dengan musim hujan dan kemarau yang ekstrim pada kehidupan petani. Juga kita menyaksikan makin banyak wilayah Indonesia yang terkena banjir bandang, banjir laut, dan banjir rob, yang sebelumnya tidak terjadi.Â
Di tahun 2019 ini saja, kita telah mengalami cuaca ekstrim. Banjir di pantai Losari Makassar yang juga melanda 5 kabupaten di sekitarnya. Banjir di Ngawi pada awal Maret ini dan bertahan selama beberapa hari. Banjir di Nabire di awal tahun 2019. Banjir di wilayah Jakarta yang dekat pantai.Â
Data juga menunjukkan bahwa cuaca ekstrim melanda belahan dunia lain. Hujan besar yang ekstrim. Panas atau dingin yang ekstrim. Karena pentingnya peringatan dini akan adanya cuaca ekstrim dan banjir banjir yang merugikan, informasi dan analisis memadai dapat ditemukan di website BMKG.Â
Ingatkah kita bahwa di masa sekolah kita belajar bahwa musim penghujan di Indonesia pada umumnya adalah antara bulan September sampai Maret, sementara musim kemarau adalah mulai April sampai dengan Agustus. Apakah saat ini kita bisa melakukan perkiraan seperti itu? Coba perhatikan, saat ini kita ada di bulan Maret, dan prakiraan cuaca kita masih menujukkan kemungkinan akan adanya hujan yang lebat di bulan ini sampai April mendatang (BMKG, 2019).
Kita baru saja mendiskusikan kondisi perubahan iklim. Lalu, apa itu cuaca dan apa bedanya dengan iklim?
Sementara itu, faktor faktor yang menyebabkan perubahan atmosfir adalah tekanan udara, temperatur, kelembaban, kecepatan dan arah angin. Secara bersama, mereka menentukan cuaca akan seperti apa, pada suatu saat di suatu lokasi.
Bagaimana dengan iklim? Cuaca mengacu pada situasi atmosfir pada jangka pendek. Sementara, iklim mengacu pada kondisi cuaca dalam jangka panjang di suatu tempat. Wilayah yang berbeda dapat memiliki iklim yang berbeda.Â
Untuk mendeskripsikan iklim, kita bisa menyampaikan tentang rata rata temperatur pada musim yang berbeda, bagaimana kecenderungan tiupan angginya, seberapa banyak curah hujan dan juga seberapa ketebalan dan lamanya salju. Kita bisa melihat ini dalam periode tertentu, misalnya dalam 30 tahun.
Ini juga sering disebut sebagai efek rumah kaca. Uap yang terperangkap di atmosfer kemudian mempengaruhi ekosistem, meningkatkan permukaan air laut, mengakibatkan cuaca ekstrim, dan kekeringan.
Meningkatnya kejadian kejadian ekstrim telah dicatat membawa kerugian, seperti pada contoh yang dihadapi petani gula kelapa di wilayah Danau Sampit. Erik Franklin, pakar perubahan iklim dari Lembaga Biologi di Universitas Hawaii, Amerika Serikat, menyebut setidaknya empat bencana yang dapat terjadi karena perubahan iklim. Mereka adalah kelombang panas, kebakaran hutan, hujan lebat, dan ombak besar yang menghantam kawasan pantai.Â
Sementara itu suatu peneitian yang dilakukan  Bobby Corrigan, seorang pakar tikus dari Cornell University, Amerika Serikat menyebutkan  bahwa terdapat peningkatan populasi tikus yang disebabkan oleh perubahan iklim. Kenaikan suhu global sebesar 2 derajat Celcius pada akhir akhir ini mendorong berkembang biaknya tikus dengan lebih cepat.Â
"Hewan pengerat seperti tikus memiliki masa kehamilan yang sangat cepat, yaitu 14 hari. Tikus juga hanya membutuhkan waktu satu bulan setelah dilahirkan untuk bereproduksi. Ini artinya, satu tikus hamil dapat menghasilkan 15.000 hingga 18.000 tikus baru dalam waktu kurang dari satu tahun. Perubahan iklim ternyata tidak hanya berdampak pada bentang alam kita, tetapi juga dapat menyebabkan ledakan populasi tikus.".Â
Ilmuwan memprediksi bahwa atmosfer yang makin panas dapat menahan kelembaban, dan karenanya curah hujan meningkat sekitar 7% untuk tiap derajat celcius dari temperatur yang meningkat. Ukuran ukuran persis dari dampak ini secara global masih sulit untuk dipresentasikan. Namun demikian, hitungan volume curah hujan meningkat sekitar 1 sd 2% per peningkatan temperatur.
Terdapat bukti bukti bahwa wilayah yang lembab akan menjadi lembab dan basah. Wilayah sub-tropis yang kering akan menjadi lebih kering. Untuk wilayah Eropa secara keseluruhan, terjadi kondisi musim dingin yang lebih basah, namun juga musim panas yang makin kering dan panas di Eropa Tengah dan Selatan.
Pejabat Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup RI menyebut bahwa dalam satu tahun terakhir terjadi peningatan air laut hingga 10 sampai 25 cm. Jika kita tak mengendalikan pemanasan global atau perubahan iklim, permukaan air laut akan terus meningkat hingga sekitar 95 cm. Inti tentu juga memicu banjir dan rob ke daratan.
Jadi, perubahan curah hujan adalah hanya salah satu dari beberapa faktor penting yang mengindikasikan dampak dari perubahan iklim. Adanya perubahan iklim membuat curah hujan menjadi lebih sulit untuk diperkirakan. Ketika hutan digunduli dan daerah resapan air berkurang ditambah pengelolaan sampah kita buruk, wajar bila kita terkena banjir yang tak terkendali.Â
Nah, pemahaman kita yang baik tentang kaitan perubahan iklim, perubahan cuaca ekstrim, termasuk peningkatan curah hujan yang meningkat tidak biasa perlu dibangun. Ini agar kita siap menghadapinya dan secara kolektif, bersama masyarakat juga memahami upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi efek rumah kaca.
Pustaka : 1. Climate Change, 2. Poster, Â 3. Bencana dari Perubahan Iklim, 4. Tikus Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI