Meski hanya berbekal kamera HP yang sederhana, merekam petak petak sawah dari kejauhan cukup menyenangkan. Â Peta petak sawah dan kebun biasanya saya dapatkan ketika berjalan di area persawahan atau kebun sayur di wilayah Pariaman (Sumatera Barat), Magelang, Boyolali dan Dieng. Atau saya dapatkan ketika saya naik Kereta Api Parahyangan dari Jakarta ke Bandung. Atau juga saya foto ketika sedang ada di udara, di atas Yogyakarta, Jakarta dan juga Praya Lombok.
Dari kejauhan, petak petak sawah dan kebun itu menghasilkan gambaran peta peta warna warni. Petak petak itu berbentuk segi empat, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, atau bahkan tidak beraturan. Di wilayah wilayah tertentu bahkan petak petak sawah membentuk sarang laba laba. Ada warna hijau, kuning, dan coklat kemerahan yang merata dalam kotak. Â Ada pula warna yang berselang seling. Namun, di balik peta peta itu, tentu ada cerita dan situasi yang menarik untuk kita pelajari.
Hal pertama yang mungkin perlu diketahui adalah bahwa sawah menjadi berpetak karena dipisahkan oleh pematang, bedengan, galengan atau sengkedan. Selanjutnya, tentu kita perlu memahami alasan di balik petak petak sawah atau kebun itu.
Petak tanah akan menyerap air yang jatuh dari langit dan mengalirkan sisanya secara pelan ke petak yang lain. Ini menstabilkan aliran air irigasi serta mencegah jebolnya lahan sawah. Â Ini berlaku untuk sawah yang ditanam padi maupun tanah pertanian untuk tanaman semusim yang sering disebut sebagai tegalan.Â
Kedua, luas sawah dan tanah tegalan yang makin sempit. Pesatnya industrialisasi dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya konversi atau alih guna lahan sawah secara cepat. Sayangnya konversi lahan sawah tidak dapat dikembalikan setelah menjadi perumahan dan kawasan industri, sehingga proses ini cenderung membawa kemorosotan kualitas lingkungan.
Selain persoalan industrialisasi, lahan sawah dan kebun sering mengalami pemecahan, yang menurut istilah Mubyarto (1995) sebagai fragmentasi, sejalan dengan adanya proses waris kepada anak, secara turun temurun. Memang, luas tanah sawah di Indonesia makin menyusut. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa luas lahan baku sawah pada tahun 2017 luas sawah adalah 7,75 juta hektar, pada pada tahun 2018 menjadi 7,1 juta hektar. Â Secara rata rata, masing masing petani memiliki tanah seluas kurang dari 1 hektar. Secara ekstrim, bila dibagi jumlah penduduk maka hanya ada sekitar 300 m tanah pertanian per kapita. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk menahan atau menyetop adanya konversi tanah sawah. Padahal aturan bisa dibuat. Kabupaten Magelang yang memang penghasil padi, misalnya, menetapkan bahwa lahan basah (sawah) hanya bisa dijual kepada sesama masyarakat desa dan tidak boleh dijual kepada pendatang. Ini membatasi adanya konversi.Â
Dari berbagai bentuk penggunaan lahan pertanian, lahan sawah yang terbanyak mengalami konversi. Terutama ini terjadi di sekitar pusat pembangunan perkotaan dan permukiman.
Itulah sebabnya mengapa hamparan seperti garis dengan warna berbeda, yang nampak dari atas atau udara. Disebut sistem Surjan karena menyerupai motif kain surjan khas Jawa Tengah. Bagian bawah yang ditanami padi disebut ‘Tabukan’, sementara bagian atas disebut sebagai ‘Guludan’.  Sistem Surjan sudah dikenal lama. Biasanya, sebelum petani menanam sayuran, mereka menggunakan lahan untuk tanaman umbi-umbian, seperti talas, singkong dan tanaman labu.Â
Tanaman umbi-umbian dan labu dahulu ditanam dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sebagai bahan pangan alternatif selain beras, terutama pada saat musim paceklik. Tanaman ini dipilih karena mereka relative tahan terhadap kekeringan. Bedengan atau galeng bisa juga ditanam pohon pepaya. Pada beberapa lahan, sistem Surjan juga menerapkan penggunaan dengan diseling kolam ikan atau lele.