Pasar terapung yang berkembang di banyak wilayah dunia seperti di Myanmar, Kepulauan Solomon, di Indonesia dan di Thailand adalah menarik. Sejarah merekapun beravariasi antara bentukan pasar apung tradisional, komodifikasi pasar apung tradisional yang berkembang menjadi moderen sampai pasar apung yang memang dikonstruksi dengan pendekatan modern.
Satu pasar apung yang saya hendak diskusikan adalah Damoen Saduak di Thailand. Ada banyak hal yang saya belajar dari tujuan wisata yang satu ini.
Untuk menuju ke lokasi Damnoen Saduak, saya sengaja berangkat dari Bangkok jam 6 pagi karena diperlukan waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke lokasi. Ini untuk memastikan saya tidak kesiangan karena lokasi dikenal sangat ramai.
Ketika memasuki pintu masuk wilayah kanal, saya melihat beberapa orang sedang mencuci beberapa perabotan makan di sungai itu di rumah apung mereka. Namun, memasuki pasar apung, sudah nampak kesibukan jual beli yang menarik. Saya mencatat beberapa kesan dan fakta tentang Damnoen Saduak.
Pertama, Damnoen Saduak adalah pasar terapung terbesar dan tersibuk di Thailand. Setidaknya terdapat 12 pasar terapung yang diperkenalkan berbagai biro perjalanan di Thailand. Sebut saja Khlong Lat Mayom dan Aphawa yang berlokasi di Bangkok. Juga, Bang Nam Pheung, Taling Chan, Tha Kha, Bhangkla, Bangkoi, Bang Nok Kwaek, Muang Baron, dan Damnoek Saduak yang berada di luar Bangkok.
Jumlah kanal di Damnoen Saduak adalah lebih dari 200 buah. Jumlah kanal ini jauh lebih banyak dari kanal kanal di pasar lainnya. Ini tentu membuat pasar menjadi mengular luar di kanal kanal itu.
Perempuan yang mendayung sampanpun terdiri dari berbagai kelompok umur. Dari usia muda, setengah umur dan bahkan mendekati lansia. Hal ini berbeda dibandingkan dengan pasar apung manapun di dunia, juga di Indonesia yang terdapat cukup banyak laki laki.Â
Perempuan-perempuan mendayung 'sampan', sebutan untuk perahu kecil yang rupanya memiliki kata yang sama dengan apa yang kita miliki dalam bahasa Indonesia. Perempuan juga berjualan makanan dan buah buahan di dalam perahu.
Ada 'Phak Thai', sup Tomyam dan sup ikan yang dapat kita beli di sampan. Memang ada beberapa laki laki penjual suvenir yang ada di daratan kanal, namun wajah pasar apung di sepanjang kanal adalah wajah perempuan. Perempuan menjual topi topi cantik, perhiasan, kain tenun dan banyak suvenir dari Thailand yang lain.
Sayapun sering beruntung bertemu dengan perempuan pengayuh sampan yang sudah setengah baya, tetapi tetap cantik langsing dengan menggunakan topi anyaman bambunya 'ngob'.
Soal tawar menawar paket wisata dan barang barang, baik makanan dan suvenir mungkin memang melelahkan bagai beberapa wisatawan.Â
Beberapa wisatawan barat yang memang tidak terbiasa melakukan tawar menawar merasa tertipu dengan harga harga yang ada di pasar terapung ini.
Harga paket wisata untuk mengendara sampan memang bisa dibedakan antara sampan dayung dan perahu bermesin. Namun variasi harga yang ditawarkan tanpa standard. Untuk sampan, misalnya, harga yang ditawarkan adalah antara 200 sd 500 Baht per orang untuk dua jam. Sementara, untuk perahu bermesin bisa ditawarkan antara 1.500 sd 2.000 Baht per orang.Â
Ada keuntungan dan kelebihan antara pilihan berkeliling dengan sampan atau perahu motor. Dengan sampan tentu kita akan bisa lebih santai. Juga, kadang kita beruntung mendapatkan pengayuh sampan yang cantik. Dengan perahu bermesin tentu lebih tenang ketika memasuki sungai besar di pintu utama, tetapi membuat sesak di kanal. Juga, polusi udara yang diciptakan oleh asap buangan bahan bakar perahu bermotor sangat mengganggu.
Ini ada di iklan iklan untuk tujuan wisata pasar terapung ini. Jepretan pada adegan film yang diakhiri dengan Roger Moore yang terapung di air ada dalam brosur brosur. Â Ini bisa dikatakan film James Bond pertama yang dilakukan di Thailand karena pengambilan gambar James Bond 'Tomorrow Never Dies' juga dilakukan di Thailand.
Studi dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial pada Universitar Kasetsart Bangkok, Thailand pada 2017 menunjukkan bahwa sejarah konstruksi identitas dari pasar terapung ini penting untuk dipahami. Identitas masyarakat di sekitar Damnoen Saduak terbangun atau dibangun karena proses dan waktu.Â
Identitias Pertama. Pada tahun 1866, upaya pembangunan jalur transportasi air sungai dilakukan antara Sungai Tha Chin dan Sungai Mae Klong, juga dari sungai Tha Chin ke Paak Klong Bang Nok Khwaek menjadikan kanal sepanjang 32 kilometer. Jalur transportasi ini kemudian diberi nama Damnoen Saduak karena lokasinya ada di kabupaten Damnoen Saduak.
Pembukaan kanal ini dilakukan pada 25 Mei 1868. Kanal memberikan mata pencaharian bagi masyarakat pekebun, pada umumnya perempuan, yang hidup di Damnoen Saduak.
Para perempuan pekebun memanfaatkan air dari kanal untuk mengairi kebun. Peerempuan perempuan membawa produknya, buah buahan dan sayur ke masyarakat luar melalui kanal. Itulah sebabnya, masyarakat mengenalnya sebagai pasar apung.Â
Gabungan antara sejarah kanal, perjalanan raja Chulalangkorn dan manisnya buah buahan serta keramahtamahan petani membuat wilayah ini menjadi wisata favorit.
Awalnya banyak pasar terapung ada di sini, namun kondisi berubah dan menyisakan satu pasar utama di tahun 1971. Damnoen Saduak akhirnya dikenal sebagai kehidupan masyarakat lokal yang berbeda dengan kehidupan kota dan kehidupan masyarakat pasar terapung di kanal Damnoen Saduak menjadi identitas baru.
Perempuan pedagang di pasar apung memiliki identitas yang semakin kuat dengan identitas budaya lama, dengan sering memakai 'Ngop', baju petani berwarna biru gelap dan topi pandan.Â
Identitas Ketiga adalah identitas masyarakat yang dikonstruksikan untuk industri sektor wisata sejak 1977 sampai sekarang. Aspek penting yang merubah identitas adalah adanya pembangunan jalan besar yang di sebelah kanal dilakukan oleh pemerintah. Ini menyebabkan adanya area bisnis baru di luar kanal yang diisi orang luar wilayah juga membuka usaha penjualan suvenir. Hal ini tentu juga mempengaruhi bagaimana pasar terapung beroperasi.
Kunjungan ke pasar terapung dibatasi oleh paket paket, misalnya paket 2 jam dengan rute yang juga ditetapkan perusahaan pengelola wisata. Walaupun ciri khas dan budaya pendayung dan penjual di pasar terapung dipertahankan, tetapi mereka dalam dikte pasar.
Coba kita dengar pandangan seorang anggota masyarakat yang telah setengah umur yang dikutip oleh studi ini "Banyak wisatawan. Seperti juga kalau kita sedang ke luar negeri. Semuanya serba terbatas waktunya. Akhirnya, kita hanya bisa tinggal selama 40 menit di suatu tempat. Ini persis terjadi di kanal ini. Untuk itu, kita akhirnya harus menggunakan perahu bermotor".
Perubahan perubahan di atas tentu mempengaruhi konstruksi sosial masyarakat di sekitar Damnoen Saduak. Terdapat dampak positif dari rekonstruksi serta komodifikasi sosial, misalnya dikenalnya wisata Damnoen Saduak di seluruh dunia. Juga perempuan tetap aktif dalam sektor ekonomi.
Sementara pasar terapung membawa dampak negatif ketika merubah banyak hal, termasuk hubungan persaudaraan dan kekeluargaan di antara pendayung sampan dalam perdagangan. Tentu keberterimaan masyarakat setempat yang akan mempermudah transisi ini. Upaya pelestarian budaya yang unik yang berbalap dengan industrialisasi tentulah tak mudah.
Apa yang terjadi dengan Damnoen Saduak bisa saja terjadi di wisata di Indonesia, mengingat Indonesia juga menggalakkan wisata pasar terapung. Setidaknya kita punya tujuh pasar terapung. Pasar Muara Kuin, Pasar Lok Baintan dan juga Pasar Siring Piere Tendean, semuanya ada di Kalimantan Selatan.
Pasar Terapung Langkat di Sumatera Utara, Pasar Ah Poong di Jawa Barat, Pasar Terapung Lembang, Jawa Barat dan pasar Apung Nusantara di Malang, Jawa Timur.
Untuk itu, kita perlu belajar tentang bagaimana agar transformasi ekonomi dan sosial atas nama idustri wisata, seperti di pasar terapung, tidak menyebabkan dampak negatif pada kehidupan masyarakat sekitar di Indonesia.Â
Pustaka
Studi Damnoen Saduak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H