Saat itu saya ada di ibu kota lama Thailand di Ayutthaya, kota tua Siam dan sekedar berjalan di area di Wat Ratchaburana. Karena memang area Ayutthaya adalah dalam konservasi UNESCO sebagai wilayah warisan, maka saya bisa menemukan banyak kuil tua yang terawat.
Sambil memotret beberapa obyek di wilayah kuil Wat Ratchaburana, saya menemukan beberapa hal yang menarik. Seorang biksu muda berdoa, berjongkok dan kemudian ia berjalan dengan payung membawa gadgetnya, sebuah ipad. Pemandangan itu sangat menarik dan kontras.Â
Saya menyebutnya indah. Baju katun warna coklat sederhana yang menyelimuti badan biksu, payung biru kehitaman dan ipad warna perak. Melenggang pelan. Tanpa beban. Ekspresi teduh. Â Ia juga beberapa kali melakukan swafoto. Saya berijin turut memotretnya. Ia tidak keberatan. Tetap natural. Tidak berpose. Tetap seperti tadi. Tapi indah. Rejeki saya.
Alhasil saya dapatkan foto menarik pada hari itu. Foto sempat saya kirimkan ke National Geographic Indonesia dan diterbitkan di salah satu edisinya. Rejeki saya yang selanjutnya. Ucap syukur, tentu.Â
Setelah saya baca beberapa berita, saya temui juga catatan tentang biksu biksu yang sangat melek gadget di Tibet. Adalah hal biasa menyaksikan biksu dengan membawa HP. Chinadaily.com pun memberitakan tentang Champa Kalsang, seorang biksu dari biara Tibet yang memiliki akun twitter dan aktif di beberapa media sosial.
Ia pun menayangkan foto keponakannya yang baru lahir di media sosia. Iapun sering memuat tayangan swafoto. Memang para biksu penuh dengan kegiatan doa, belajar dan membaca kitab kitab. Namun, kuil dan biara tidak bisa menceraikan para biksu dari modernitas.
Ketika terdapat bencana di China, beberapa biksu juga menayangkan berita tentang itu dan memberikan doa untuk keselamatan masyarakat di sekitar wilayah bencana dan mengirim secara khusus doa bagi mereka yang menjadi korban dan meninggal. Tidak lupa mereka memasang foto sang Buddha.
Mereka berpendapat bahwa media sosial membantu mereka memahami apa yang terjadi di dunia, dan menolong sesama selagi bisa. Bagi biksu di Tibet, gadget juga membantu mereka menyebarkan cerita budaya dan kehidupan di biara kepada masyarakat. Menyebarkan berita baik, intinya. Artinya, media sosial membuat kerja biksu menjadi lebih efektif.
Bahkan mereka telah berhasil mengadakan kegiatan penggalangan dana untuk menolong warga miskin agar dapat ditindaklanjuti tim kesehatan dan kedokteran untuk melakukan operasi tengkorak seorang bayi berusia setahun dari keluarga miskin. Dana dapat digalang selama lima hari dengan perolehan dana mencapai kurang lebih Rp 40 juta.