Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

"Lifechanger Concert 2019", Kerja Kemanusiaan Sambil Berdendang

4 Maret 2019   20:43 Diperbarui: 4 Maret 2019   20:43 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gempa Sulawesi Tengah 2018 (Reuter)

Ribuan Keluarga Penyintas di Lombok, Palu dan Donggala Masih ada di Tenda

Masih ingat gempa Lombok dan Palu yang terjadi di tahun 2018? Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada akhir 2018 adanya 515 orang meninggal, 431.416 orang luka luka, dan 76.765 rumah hancur di Lombok. 

Sementara itu, 2.101 orang korban meninggal, 1.373 orang hilang, 2.549 orang luka berat, 8.130 luka ringan dilaporkan di Sulawesi Tengah. Sementara 1.724 gedung sekolah hancur total, 206.219 orang menjadi pengungsi, tanpa rumah kediaman.

Gempa Sulawesi Tengah 2018 (Reuter)
Gempa Sulawesi Tengah 2018 (Reuter)
Tentu saja bencana alam ini menggugah berbagai dukungan, baik secara perorangan maupun secata kelembagaan, dari dalam maupun luar negeri. Pada fase tanggap bencana, berbagai lembaga telah memberikan bantuan dalam bentuk pertolongan pertama, dukungan logistik berupa makanan, penampungan sementara, dan bantuan air bersih, disamping layanan kesehatan. Namun demikian itu tidak cukup!. Dukungan pada fase pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana tidak kalah pentingnya.

Catatan empiris atas gempa Lombok menunjukkan bahwa sekalipun bencana sudah berlangsung 5 bulan atau lebih, masih banyak masyarakat penyintas yang masih tinggal di pengungsian. 

Di Aceh, pada Desember 2017 atau 13 tahun sesudah peristiwa Tsunami, media massa masih melaporkan adanya penyintas yang masih tinggal di tenda pengungsian. 

Pertama, hal ini karena mereka belum memiliki rumah tinggal. Pengalaman menunjukkan, dibutuhkan waktu antara 6 sampai 12 bulan bagi penyinyas untuk bisa membangun hunian permanen. Kedua, karena penyintas masih trauma berat dan belum berani untuk tinggal di dalam rumah. Terlebih lagi, gempa Lombok masih terus dirasakan bahkan sampai akhir tahun 2018. Sementara di Palu, masih banyak pengungsi masih di tenda pada akhir Februari 2019 atau 5 bulan setelah bencana.

Tinggal di tenda pengungsian terlalu lama pada realitanya tidak memberikan keamanan dan kenyamanan. Coba kita dengar pengalaman penyintas dari wilayah Sembalun, Lombok Timur "Ketika siang hari, kami kepanasan di dalam tenda. Sementara, di malam hari kami kedinginan karena suhu di sini sampai sekitar 9 C. Karena musim hujan masih ada sampai dengan Februari ini, tenda kami kebanjiran. Sampah di mana mana. Lalat masuk tenda dan kami kerepotan menyimpan makanan agar tidak dihinggapi lalat". 

Penyintas juga melaporkan alami penyakit penyakit menular massal seperti penyakit mata, batuk pilek dan penyakit kulit seperti scabies. Bahkan berbagai persoalan sosial bermunculan. Studi di Lombok dan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa kelompok perempuan dan anak anak terekslusi atau tersingkirkan dari berbagai layanan dan kegiatan di pengungsian.

Di Lombok Utara dan di Lombok Tengah bahkan dilaporkan adanya kasus pelecehan, kekerasan seksual, dan bahkan perkosaan terjadi di dalam tenda. Hal ini tentu jelas helas telah melanggar hak asasi manusia. Aksi nyata harus dilakukan segera untuk menyetop kejadian kejadian tersebut. 

Urgen: Huntara Terintegrasi dengan Layanan Kesehatan dan 'Trauma Healing'! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun