Pasar tradisional merupakan indikator kegiatan ekonomi lokal. Itu saya percaya. Oleh karenanya, saya mencoba sebisa mungkin untuk mampir ke pasar tradisional yang ada di kota kota atau desa desa yang saya kunjungi. Ini juga saya lakukan di Manokwari, Papua Barat, satu dari lima provinsi termuda di Indonesia.Â
Pasar yang saya maksudkan adalah Pasar Wosi di Manokwari. Lokasi pasar Wosi ada di tengah kota, sehingga akses masyarakat ke pasar cukuplah mudah. Banyak barang dijual di pasar Wosi.Â
Sayur mayur, daging, ikan, bahan sembako dan keperluan sehari hari, seperti beras, gula, kopi dan lain sebagainya. Mama-mama menggelar dagangan hasil buminya. Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastic, koran atau koran.Â
Tampak berbagai jenis sayur, cabai, ubi kayu, pisang ditumpuk dan dikelompokkan. Masing masing diberi harga Rp. 3000-Rp. 5000. Sementara ubi kayu juga dijual sudah diikat-ikat. Buah buahan seperti pisangpun juga demikian.
Bila kita amati, terdapat perbedaan atas apa yang dijual di pasar. Barang barang seperti sayur sayur segar biasa dijual mama mama Papua. Adalah beruntung bisa membeli sayur mayur yang dijual mama mama Papua. Biasanya sayur berdaun lebar segar. Juga sayur sayuran masih organik. Hanya saja, jumlah sayur dijual pada umumnya tidaklah dalam jumlah banyak.Â
Di bagian lain, terdapat barang barang jualan seperti beras dan barang barang kelontong dijual ibu ibu non Papua yang biasanya berasal dari Makassar dan Surabaya. Ini tentu menarik. Barang barang yang awet seperti beras dan barang kelontong membutuhkan modal dan modal biasanya dimiliki oleh pedagang non Papua.
Alhasil, produk pertanian seperti wortel, bawang audn, bawang merah, kacang tanah dan kentang didatangkan dari Manado dan Surabaya. Hal ini sangat berpotensi mematikan kegiatan pertanian masyarakat asli di Papua Barat.Â
Modal dalam kegiatan usaha tani sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan pertanian seperti belanja teknologi, upah tenaga kerja dan biaya transportasi untuk pemasaran. Keterbatasan akses terhadap permodalan lebih disebabkan oleh mekanisme peminjaman modal usaha dari perbankan yang rumit menurut standard mama mama Papua. Selain itu, kemampuan baca tulis petani, khususnya mama mama adalah terbatas. Â
Hal ini mendorong petani untuk mencari alternatif lain untuk mendapatkan modal melaui tengkulak yang sebagian besar adalah berasal dari etnis Bugis Makasar. Aspek kelembagaan pada dasarnya sangat diperlukan untuk menyokong kegiatan pertanian terutama dalam hal menaikan posisi tawar petani. Kelembagaan ini penting untuk memobilisasi kekuatan kolektif yang pada akhirnya menaikkan posisi tawar petani untuk menghadapi pesaing di pasar maupun untuk mendapatkan modal usaha taninya.