Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Permen Telur Cicak Nyata Adanya di Dalam Rasa dan Nostalgia

26 Februari 2019   08:45 Diperbarui: 26 Februari 2019   12:55 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bila banyak Kompasianer memendam rindu pada kekasih dan seseorang, saya memendam rindu pada Permen Telur Cicak. Rindu pada Permen Telur Cicak membawa saya pada beberapa rindu yang lain. Entah mengapa, Permen Telur Cicak mengingatkan pada rindu atas sesuatu yang sederhana, yaitu kesederhanaan itu sendiri.

Saya sudah menyukai Permen Telur Cicak sejak masa SD. Namun permen ini punya jejak kuat pada masa SMP saya. Masa bersama sahabat saya, Rarah Ratih Adji Maheswari. Duduk sebangku selama 3 tahun berturut turutpun tetap membuat kami berangkat dan pulang sekolah Kami bersama. Juga melakukan kegiatan ekstra kurikuler karatekapun kami lakukan bersama. Sudah tentu, kami berjalan kaki bersama untuk melakukan ekstrakurikuler itu.

Ketika kawan kawan kami yang lain diantar dan dijemput dengan mobil keluarga untuk ke sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, kami berjalan kaki. Dan dalam perjalanan kaki itulah, kami sering mampir suatu toko yang terletak sekitar 100 meter jelang sampai di sekolah. Di toko itu kami biasa membeli Permen Telur Cicak. Tidak banyak. Biasanya masing masing satu kantong plastik kecil berisi sekitar 30 butir Permen Telor Cicak. Hal ini berjalan selama tiga tahun. 

Dik Yayah memang sahabat yang tidak biasa. Hampir dikata, kami tidak pernah bersilang pendapat. Tidak pernah. Kalaupun kami punya pendapat berbeda, kami tetap bisa menerima. Ihlas saja. Mungkin kawan kawan sekolah melihat kami sebagai kawan yang tak terpisahkan. Mungkin unik. Mungkin aneh. Tapi, sudah jelas tidak biasa. 

Dik Yayah adalah putri seorang Guru sederhana. Ia sahabat yang menjadi idola keluarga. Kakek nenek saya sangat sayang padanya. Juga ayah ibu saya.

Pasalnya, selain cerdas, dik Yayah memang sangat santun. Kakek nenek kami sangat 'merestui' persahabatan kami. Kami berdua selalu berbahasa Jawa kromo inggil satu sama lain. Itu terjadi sejak perkenalan pertama hingga dik Yayah dewasa dan mendapatkan gelar doktor untuk bidang kerja kedokteran hewan dari Perancis, sampai meninggalnya di tahun 2014 karena sakit kanker.

Dik Yayah tidak pernah mendiskusikan soal sakitnya, sehingga sayapun tak pernah mengetahuinya. Kami hanya terhubung melalui HP. Ia selalu mendiskusikan foto yang saya ambil. Atau menceritakan putra kembarnya. Dik Yayah meninggalkan kami semua dengan kehilangan yang sangat.

Sampai sampai, mahasiswa dik Yayah yang sangat kehilangan dosennya akhirnya berkenalan dengan saya. Kami terhubung untuk hanya sekedar bercerita tentang dik Yayah. Bagi kawan kawan, hal ini bisa juga dibilang aneh. Atau mungkin unik. Tak tahulah. Saya hanya memaknainya sebagai persahabatan yang sederhana. Sesederhana Permen Telur Cicak kegemaran kami berdua. 

Dik Yayah sering bermalam di rumah keluarga kami di perkebunan. Biasanya, saya harus menyembunyikan anjing kami, Leika, agar tidak mengendus dik Yayah. Dik Yayah memang sangat takut dengan anjing. Sering kali saya harus menyelamatkan dik Yayah yang terpaksa harus naik meja karena dikejar Leika. 

Namun, hal ini tidak mengurangi frekuensi kehadiran dik Yayah di rumah kami. Dan ritual penyelamatan hampir selalu terjadi. Berulang. 

Setelah dik Yayah berpulang, saya barulah memahami bahwa ia dirindukan oleh banyak orang. Mahasiswa mahasiswa dik Yayah pernah menghubungi saya melalui Facebook hanya untuk berkenalan dan mengetahui lebih lanjut tentang siapa dik Yayah. Itu karena kami sama sama merindukan kehadirannya.

Dik Yayah tidak pernah menceritakan sakitnya. Bahkan saat saat terakhir ia sakit dan dirawat di rumah sakit, ia tak pernah bercerita. Ia terus menanyakan atau mengomentari foto foto yang saya bagi kepadanya. Paling paling, ia bercerita soal anak kembarnya. Hanya itu. Dik Yayah meninggalkan kami dengan cara sederhananya. Sesederhana Permen Telur Cicak. 

Travel Kompas
Travel Kompas
Permen Telur Cicak bisa dikata masuk dalam kategori kudapan sederhana dan paling murah di semua lini masa. Di kala SMP di tahun 1970an, harga sekantong kecil Permen Telur Cicak hanyalah sekitar Rp 10 sampai 25,- saja. Saat inipun, harga yang dibandrol pada Permen Telur Cicak di Bukalapak atau Tokpediapun hanyalah Rp 10.000,- untuk satu kemasan sekitar 100 sampai dengan 150 gram. Artinya, memang permen ini permen murahan. Namun, yang murahan ini menempel di lidah dan hati saya.

Bentuknya memang mirip telur cicak kecil-kecil. Makanya, masuk akal bila kita menyebutnya Permen Telur Cicak. Permen Telur Cicak memang biasa saja. Ketika kita makan, rasa balutan gula dengan pewarna makanan warna warni akan langsung terasa di lidah.

Nah, bagian dalamnya adalah yang saya suka. Kacang kedelai yang telah disangrai. Tidak lunak, cukup keras sebetulnya, namun mulut saya menerima apa adanya. Menerima setiap butir dengan warna warna berbeda.

Walaupun Permen Telur Cicak enak dimakan dengan cara memasukkan permen permen itu bersama sama ke mulut, saya memilih memakannya satu persatu.

Saya paham rasa Permen Telur Cicak sama, meski untuk warna warna jelas yang berbeda. Namun, saya menikmati tiap butirnya, tiap warna yang ada. Satu persatu. Entah mengapa. 

Permen Telur Cicak, tentu saja, tidak akan pernah mengenyangkan. Sugesti bahwa kacang kedelai mengandung cukup protein itulah yang mungkin membuat saya tidak terlalu merasa terlalu bersalah untuk mengunyahnya.

Memang, saya harus melupakan jumlah kandungan gula yag menyelimutinya. Juga pewarna makanan yang membuatnya jadi menarik.

Namun, bila saya diminta memilih antara 'cheese cake' atau Permen Telur Cicak. Saya akan memilih permen ini. Bila ada Permen Telur Cicak, semua makanan lain tak akan saya toleh. Ibaratnya, gajah di pelupuk mata tak nampak, sementara Permen Telur Cicak yang kecil itu saya dapat melihat dan merasakannya dengan mudah.

Kerinduan pada Permen Telur Cicak pernah saya salurkan pada saat memotret dengan tema. Kala itu saya masih sedikit aktif mengirim foto foto untuk rubrik Klinik Fotografi Kompas. Dan saya mencoba menjadikan Permen Telur Cicak sebagai 'model' foto ketika tema 'Samar' dipilih Kompas.

Saya sengaja memilih mainan gajah dan Permen Telur Cicak sebagai properti. Mainan gajah yang terbuat dari plastik saya letakkan di latar depan dan hanya bayangan.

Sementara si Permen Telur Cicak saya letakkan di latar belakang dengan lensa pembesar ada di depannya. Tidak istimewa. Sederhana sekali. Tapi hasilnya lumayan. Foto itu menjadi salah satu yang terpilih untuk dimuat di Klinik Fotografi Kompas. Judul foto itu mirip dengan judul artikel ini. 

Pernah saya penasaran tentang cara pembuatan Permen Telur Cicak ini. Saya coba 'google'. Cukup lama saya melakukan itu. Dan, saya tidak menemukannya.

Namun, saya yakin cara pembuatannyapun sangatlah sederhana. Informasi tentang Permen Telur Cicak yang saya temukan hanya terbatas pada memori dari para penulis tentang Permen Telur Cicak yang berada di antara 5 atau 10 kudapan jadul masa sekolah. Atau informasi tentang di mana kita bisa membelinya secara 'online', melalui Bukalapak dan Tokopedia, atau di toko Camal Cemil di wilayah Kemang Jakarta. Di Magelang, saya masih cukup mudah mendapatkan Permen Telur Cicak ini. Toko oleh oleh Lezat di Magelang selalu memiliki stoknya.

Namun, resep permen ini belum juga saya temukan hingga kini. Ke mana saya harus bertanya? Bila anda adalah Kompasianer yang menemukan resep untuk membuat Permen Telur Cicak, mohon bagi ya.

Permen Telur Cicak memang permen sederhana yang saya rindukan. Rindu sensasi manis warna warninya, juga rasa kedelainya. Rindu pada keserhanaan rasa dan harganya.

Bagi saya, merindukan Permen Telur Cicak sama rindunya dengan persahabatan sederhana dengan dik Yayah. Rindu pada persahabatan yang apa adanya. Alfatihah untuk dik Yayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun